Langit Batavia merunduk kelam, awan-awan pekat berarak di langit seperti perut raksasa yang hendak muntah hujan badai. Hujan gerimis turun tanpa jeda, menciptakan suara monoton di atas atap rumah-rumah tua, di jalanan berbatu yang berkilauan basah, dan di gang-gang sempit yang seakan mengurung kota dalam kabut rahasia yang tak terungkap. Satrio berjalan cepat menyusuri lorong-lorong gelap, napasnya berat, langkahnya kaku. Setiap sudut, setiap bayangan terasa mengintai, mencengkeram lehernya dengan jemari tak kasat mata. Ia tahu, ada mata-mata Rangga yang mengawasinya, menunggu celah, mengintip setiap desah napasnya untuk dilaporkan ke telinga yang salah.
Di pasar, hiruk-pikuk manusia menebar kabut samar. Bau ikan asin, rempah-rempah, dan keringat bercampur dengan aroma ketakutan yang tak terlihat. Satrio berhenti sejenak di antara kerumunan, matanya liar menyapu wajah-wajah asing. Seorang pria paruh baya bersorban lus