Di bawah langit Batavia yang kelabu, Satrio Kusumo pulang dari Belanda dengan harapan besar, hanya untuk mendapati kotanya telah berubah menjadi panggung rahasia, pengkhianatan, dan luka lama yang belum sembuh. Pertemuannya dengan Sekar Puspita—perempuan memesona dengan masa lalu kelam—membuka pintu cinta yang manis sekaligus berbahaya. Di balik hubungan mereka, tersembunyi kebenaran pahit: ayah Sekar adalah pengkhianat yang menghancurkan keluarga Satrio. Di antara kerumitan cinta dan dendam, muncul Citra Anindita, gadis sederhana yang mencintai Satrio dalam diam. Namun, cinta itu harus terhempas saat Rangga Adibrata, sahabat Satrio yang menyimpan ambisi gelap, menjadikan Citra korban intrik. Diculik dan dibuang, Citra menghilang dari kehidupan Satrio. Sekar, yang diliputi rasa bersalah dan pengkhianatan dari Rangga, akhirnya hancur dan menghilang dalam arus sungai. Satrio, kehilangan cinta dan kepercayaan, mengasingkan diri. Bertahun kemudian, ia menerima kabar bahwa Citra masih hidup—namun sekarat. Ia menemuinya di biara, hanya untuk mendengar kata cinta terakhir yang tak pernah sempat terucap. Citra mengembuskan napas terakhir dalam pelukannya. Dengan hati hancur dan jiwa yang sunyi, Satrio kembali berjalan sendiri. Tidak ada kemenangan, hanya jejak luka dan dosa yang tak terhapuskan. Kisah cinta mereka berakhir dalam tragedi, tetapi kenangannya tetap hidup—membayangi langkah-langkah yang tak pernah sampai pada damai.
Lihat lebih banyakDengan penuh rasa syukur dan penghormatan, saya mempersembahkan kisah ini kepada para pembaca yang telah bersedia meluangkan waktu dan hati untuk menyelami perjalanan panjang yang tertuang dalam Dosa dalam Cinta. Sebuah kisah yang lahir dari refleksi atas cinta yang tak terungkap, pengorbanan yang tak dihargai, dan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Sejak awal, cerita ini bukan hanya tentang dua hati yang saling bertaut, tetapi juga tentang bagaimana cinta bisa menjadi sumber kebahagiaan sekaligus kehancuran. Cinta tidak selalu berakhir dengan kebersamaan, seperti yang sering kita harapkan. Ada kalanya, cinta justru menjadi pengikat yang menyeret seseorang ke dalam kegelapan, membawa mereka ke jalan yang penuh duri dan penyesalan.
Melalui perjalanan Satrio Kusumo, seorang pria yang harus menghadapi kenyataan pahit tentang pengkhianatan dan kehilangan, serta Citra Anindita, seorang wanita yang mencintai dalam diam tetapi justru harus membayar harga yang paling mahal, saya ingin mengajak para pembaca untuk melihat bahwa tidak semua cinta berakhir dalam pelukan. Kadang, cinta adalah pengorbanan. Kadang, cinta adalah kehilangan. Dan kadang, cinta adalah sesuatu yang harus dilepaskan demi kebahagiaan orang lain, meski hal itu menyisakan luka yang tak terobati.
Saya percaya bahwa setiap kisah memiliki jiwanya sendiri, dan setiap karakter dalam buku ini hadir bukan hanya sebagai tokoh rekaan, tetapi sebagai cerminan dari emosi manusia yang nyata. Sekar Puspita, yang penuh ambisi dan ketakutan akan masa lalu, adalah potret dari seseorang yang berusaha keras mengendalikan hidupnya tetapi justru terjebak dalam rencana yang ia buat sendiri. Rangga Adibrata, dengan kelicikannya yang terselubung di balik sikap bersahabat, adalah gambaran dari pengkhianatan yang sering kali datang dari orang yang paling kita percaya.
Namun, lebih dari sekadar tokoh dan alur cerita, kisah ini berbicara tentang takdir. Takdir yang tidak bisa dilawan, tidak bisa diubah, tetapi bisa dihadapi dengan keberanian. Kita semua memiliki masa lalu yang tak bisa kita hapus, keputusan yang kita sesali, dan perasaan yang kita harap bisa kita buang, tetapi pada akhirnya, semua itu tetap menjadi bagian dari diri kita.
Dalam menulis cerita ini, saya merenungi banyak hal tentang cinta, pengorbanan, dan perjalanan manusia dalam mencari kebahagiaan. Saya bertanya-tanya, apakah cinta yang tulus selalu membawa kebahagiaan? Ataukah cinta terkadang justru membawa lebih banyak penderitaan daripada yang bisa ditanggung oleh hati?
Saya ingin pembaca merenungkan sendiri makna cinta setelah membaca kisah ini. Apakah cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan mati-matian, ataukah kadang cinta justru harus dilepaskan demi sesuatu yang lebih besar? Apakah cinta sejati adalah tentang memiliki, ataukah tentang merelakan?
Pada akhirnya, Dosa dalam Cinta bukan hanya tentang kisah Satrio dan Citra, atau Sekar dan Rangga. Ini adalah tentang kita semua, tentang bagaimana kita pernah jatuh cinta, bagaimana kita pernah dikhianati, bagaimana kita pernah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan sesuatu yang akhirnya tetap pergi.
Saya berharap bahwa kisah ini bisa menyentuh hati, membangkitkan emosi, dan membawa pembaca ke dalam perenungan yang mendalam tentang kehidupan dan cinta itu sendiri.
Terima kasih kepada semua yang telah mendukung proses penulisan cerita ini—kepada sahabat, keluarga, dan para pembaca yang selalu percaya pada kekuatan sebuah kisah.
Semoga kisah ini bisa menjadi pengingat bahwa cinta, dalam segala bentuknya, tidak selalu berakhir bahagia, tetapi selalu memiliki makna yang mendalam bagi mereka yang mengalaminya.
Selamat membaca, dan semoga kisah ini beresonansi di hati Anda.
Dengan penuh rasa hormat,
Penulis
Langit di atas Batavia yang telah runtuh tidak lagi menunjukkan arah. Matahari tenggelam di balik reruntuhan kabut, dan laut, yang dahulu menjadi cermin bagi cahaya surga, kini hanya genangan gelap yang menelan semua bayangan. Sebuah desa kecil berdiri di ambang kehancuran dan kebangkitan, sunyi namun tak pernah sepenuhnya tidur. Di bawah pohon beringin yang tak lagi rimbun, di tengah tanah yang pernah terbelah oleh kutukan dan darah, seorang lelaki duduk bersila dalam diam.Satrio.Tubuhnya tua, tidak hanya oleh waktu tetapi oleh semua beban yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Di dadanya, bekas luka lama—luka dari perang, dari cinta, dari pengkhianatan—masih terasa berdenyut. Namun tidak lagi panas. Tidak lagi memohon untuk diperhatikan. Luka itu kini hanya menjadi tanda, bahwa ia pernah bertarung, dan meski kalah dalam banyak hal, ia tidak pernah sepenuhnya menyer
Langit di atas Batavia pagi itu memerah seperti luka yang baru menganga. Matahari menggeliat di balik kabut yang berat, memancarkan sinar samar yang terpecah di antara retakan awan, menciptakan semburat jingga yang pucat. Angin membawa aroma asin laut bercampur tanah hangus, bisikan masa lalu yang masih melekat di udara, seolah dunia ini belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya.Satrio berdiri sendiri di tepi pantai, kakinya terbenam dalam pasir basah yang dingin. Tubuhnya tampak renta, punggungnya sedikit membungkuk, matanya kosong menatap cakrawala, tapi di sorotannya ada cahaya redup yang tak sepenuhnya padam—cahaya seseorang yang telah kehilangan banyak, namun tetap memilih bertahan. Di dadanya, liontin lama yang tergantung pada seutas benang lusuh bergoyang pelan, memantulkan cahaya samar dari matahari yang enggan.Di pikirannya, wajah-wajah
Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser
Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.
Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen