“Please, deh, Bilqis. Jangan bersikap blo’on di depan mereka. Lu udah keterlaluan, sumpah. Kalau gak gara-gara warisan, gak pantes lu jadi Direktur.”
“Ih, No, kok, lu ngomong gitu sama gue?” Aku mencebik.
Berno menahan tubuhku saat aku hendak masuk ruangan direktur PT. Munjaya Agrikultura. Kutepis tangannya dan tetap masuk. Ia pun menggeleng sambil berdecak.
“Assalamu’alaikum.” Meski jarang sekali aku mengucap salam, kulakukan saja demi kesopanan dan itu cukup baik untuk pencitraan diriku.
“Wa’alaikumsalam. Masuk.”
Aku membuka pintu itu. Berno mengiringi di belakangku. Aroma wangi menyeruak dari ruangan yang bernuansa lembut dengan tampilan dan perabot minimalis. Sebuah globe duduk manis di atas meja direktur, diputar-putar oleh jari pria itu.
“Bu Bilqis?” tanya lelaki dengan kulit cokelat itu, Malfin. Direktur utama perusahaan itu adalah Malfin, sementara Jei adalah wakilnya.
“Bukannya meeting kita masih setengah jam lagi?” terusnya sambil mengangkat tangan dan melirik arloji.
“Emm,