H-1 pesta ulang tahun PT. Usah Kau Kenang Lagi. Semua undangan yang berjumlah sekitar seratus orang sudah disebar. Panggung sederhana sudah didirikan di lantai dasar mal Surya. Tempat yang biasnya digunakan untuk pameran otomotif dan barang elektronik itu dikosongkan khusus untuk acara kami esok.Kursi-kursi berlapiskan kain putih disusun formasi melengkung di depan panggung. Dua meja raksasa panjang menyambut di belakang, nantinya akan jadi tempat aneka makanan, mulai makanan ringan hingga yang berat. Mulai dari makanan yang bisa dikantongi atau pun yang tidak.Tak lupa, teh botol Sastro selalu sedia. Sudah disiapkan ber-box-box untuk kepuasan para tamu. Di kiri-kanan panggung bunga hias telah ditata rapi. Tulisan “Selamat Ulang Tahun ke-16 PT. Usah Kau Kenang Lagi” menjadi latar panggung, merah menyala.“Semua undangan udah lu pastiin datang?” tanyaku pada Berno sambil mematau tim event organizer bekerja men-setting tempat itu. Tanganku di pinggang.“Udah. Terutama mertua lu sama Mi
Mobil berhenti di depan rumah pukul 23.19WIB tepat. Kuketuk pintu rumah Bude beberapa kali.“Iya, sebentar.” Bude membukakan pintu. “Jadi nginap sini?”“Iya, Bude.”“Masuk.”Aku mencium tangan Bude dan masuk, lalu menuju kamar yang memang sudah seperti milikku sendiri.“Langsung tidur, ya, Bil!” titah Bude, disusul dengan bunyi pintu kamar.Setelah membersihkan diri, aku merebahkan tubuh ke atas ranjang. Tanganku berkelana pada layar ponsel pintar, membuka notifikasi di media sosial dan tak lupa, aplikasi obrolan. Kembali ratusan obrolan tak terbaca masuk dan kusisir satu per satu, yang penting saja. Terutama keluarga Azmi yang ricuh.Suara pintu kamar diketuk.“Bil?”“Iya, Bude?” Aku langsung bangun dari ranjang dan membukakan pintu.“Ada yang kirim ini.” Bude mengulurkan rangkaian bunga dibalut plastik. Ada kartu ucapan selamat malam terselip di bunga itu. Bunga warna kuning cerah berkelopak panjang.“Bunga?”“Bukan, ini rumput. Ya bunga lah, Bilqis.” Bude menoyor bahuku saat aku me
[Ngapain kamu sebar-sebar brosur gituan, Kak?] lanjut Mita dalam pesan ponsel app hijau. Sepertinya emosinya sedang meledak-ledak karena kubuka rahasia besarnya. Bahwa selama ini ia adalah seorang ayam kampus dan hanya aku yang kebetulan tahu, Azmi mungkin, entahlah.[Brosur apa?] Aku berpura-pura polos, rajin menabung dan tidak sombong.[Brosur ayam kampus itu. fitnah!]Sementara grup Whatsapp keluarga Azmi yang baru dipenuhi chat. Ada lebih dari seratus obrolan yang masuk di grup itu. Tentu saja aku masih bisa tahu karena masih terkoneksi dengan akun Azmi yang kusadap lalu. Mita ngamuk di dalam grup itu, dan ditanggapi oleh semua keluarga. Ibu mencak-mencak. Romi dan Ayu jadi provokator. Azmi? Tak banyak bicara. Kembali ke chat Mita padaku.”Hahaha.” Kubalas dengan tawa.[Jahat kamu, Kak Bilqis!]”Kamu duluan yang bilang aku wanita panggilan seharga kacang rebus. Emangnya kamu kira aku gak tahu apa? Kalian semua ngomong jelek di belakangku, ‘kan?”[Mana ada, Kak. Mana buktinya kalau
“Ini adalah lokasi penampungan bibit. Sebelah sana perkecambahan.” Aku menunjuk sebuah greenhouse di sudut tanah lapang yang kami sewa itu.Jei dan Malfin mengangguk mendengar penjelasanku.“Wah, jarang sekali Direktur baru tapi paham tentang seluk-beluk bisnisnya.” Jei memuji, tangannya tetap berada di dalam saku celana. Sesekali ia membetulkan posisi topi pelindung panas di kepalanya.Hari ini kami memantau proyek pembibitan sawit untuk penanaman massal belasan ribu hektar dari PT. Munjaya Agrikultura. Malfin terlihat berjongkok nun di sana bersama para buruh, memastikan bibit yang mereka tanam sambil sesekali bergurau, mengakrabkan diri.Jei kembali bertanya, “Apa bunga-bunga di sana itu sengaja untuk memperindah tanah lapang ini?”Nun jauh di pinggir sana pula, sekelompok bunga daisy merah berjejer cantik. Aku menggeleng tanda tak mengerti apakah itu ditanam sengaja atau dengan sendirinya tumbuh.“Memangnya kenapa?” tanyaku heran, menyeka rambut tersenyum malu-malu kucing, padahal
Tiga sekeluarga itu–Azmi, Mita dan Ibu mereka–membuatku murka bukan kepalang. Mereka tak ubahnya parasit yang hinggap di inang lalu menggerogoti inangnya. Aku adalah inang itu. Dan kini berani-beraninya mereka memojokkanku seolah-olah aku salah.Padahal, jelas-jelas ini semua akal licik Azmi. Suami tak beradab dan tak tahu diri, kalau pun itu pantas disebut suami karena beberapa hari lalu ia terucap kata cerai.“Aku masih suamimu, Bil.”“Jangan mimpi, Azmi!” Setelah terucap kata cerai itu tak sudi lagi aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’.Ibu dan Mita ikut memberondongku dengan peluru yang mereka lontarkan lewat mulut-mulut embernya. Mereka kita aku gentar? Atau takut? Sertifikat rumah sudah dibalik atas namaku. Rumah ini sudah milikku.“Kalau kalian gak mau keluar, aku yang akan mengusir kalian secara paksa!” Aku muntab.Azmi, Mita dan Ibu mereka–Saniah namanya–harus mengulum bibir rapat-rapat. Diam seribu bahasa. Tak memiliki senjata lagi untuk ditembakkan.“Bil?” Suara Azmi berge
“Masih nyangkut, Lit?” Aku kembali dari minimarket dan apotek di depan rumah sakit.“Ekk, masih, ekk.”“Aku ada ide. Kali ini aku yakin berhasil, Lit. Pertama, kamu minum susu yoghurt ini dan biarkan biji itu tertelan. Jangan ditahan sama-sekali.” Aku meletakkan sekotak susu bergambar sapi goyang ngebor tulalit. Mungkin filosofinya adalah dengan meminum itu semua urusan jadi lancar, termasuk sesuatu yang nyangkut di tenggorokan.“Ekk, terus kalau gak bisa keluar, gimana?” Lita menunjukkan wajah cemasnya, takut kalau rencanaku tak berhasil.“Tenang.” Aku menepuk bahu Lita pelan sambil mengangguk sangat meyakinkan. “Aku sudah beli ini di apotik.” Tanganku mengangkat sebuah botol kecil berisi cairan yang tak lain adalah obat pencuci perut.“Dengan ini, semua isi perut bisa dikeluarkan. Bahkan sekaligus usus-ususnya. Eh, maksudku kotoran yang ada di usus.”“Ekk, baik.”“Telan aja biji kelengkengnya. Minumlah.” Kusodorkan yoghurt ke Lita. Ia meraih dengan cepat dan meminumnya hingga tetes