Bilqis Elfath bukan hanya dikhianati suaminya tapi teman baiknya sendiri. Ternyata selama ini dia lah yang tertipu. Hingga ia jatuh ke titik kecewa dan pertemuannya dengan Jei dan Malfin menjadi kekuatan baru. Siapkan tisu!
View MoreAku menikah hanya karena surat wasiat Papa yang melatar belakangi kenapa aku harus tersesat dalam keluarga toxic ini.
"Bilqis!" Lagi-lagi Ibu mertuaku sudah merepet-repet, padahal matahari juga belum muncul pagi itu. "Ibu minta uang untuk bayar arisan, dong." Aku adalah wanita karier di mata mereka. Ya. Karierku, yang mereka tahu dan kuingin tetap itu yang mereka yakini, adalah pegawai kontrak biasa di perusahaan. Padahal sebenarnya aku seorang Direktur di perusahaan warisan almarhum Papa. "Bu, uangku pas-pasan ini." Aku beralasan. Bukan apa-apa, aku yakin Ibu hanya ingin belanja alias shopping barang-barang di toko online yang membuatnya lapar mata. Sejak kemarin ia selalu meminta uang dengan alasan bayar arisan. "Azmi, istri kamu pelit. Makanya Ibu bilang dari dulu juga apa. Wanita macam dia jangan kamu jadiin istri." Ibu menunjuk ke mataku langsung. Seperti itulah ibu mertuaku. Mulailah ia mengadu pada Azmi. Lakukan saja kalau memang itu berhasil. Takkan semudah itu, Bu. "Eh, Bil, kenapa gak kasih aja sih gaji kamu ke Ibu?" Azmi suamiku bergabung ke ruang tengah. Aku yang memantau berita saham terbaru pagi ini jadi kehilangan mood gara-gara dua anak-beranak itu. "Gajiku pas untuk kebutuhan sebulan, Mas. Kamu juga 'kan cuma kasih uang lima ratus ribu ke aku. Jadi aku harus pake gajiku untuk kebutuhan rumah tangga kita." Santai saja kujawab dua orang rewel bin bawel itu. "Udahlah, minta dua ratus ribu aja, deh." Ibu mertuaku memang tak tahu diri. Sebenarnya mudah saja bagiku memberi permintaan Ibu yang hanya Rp. 200.000. Itu kecil sekali dibanding profit perusahaan yang masuk sekitar Rp. 10.000.000 kalau dihitung harian. Akan tetapi, biarlah itu tersimpan di rekening rahasiaku. "Gak ada, Bu. Semua uang udah dipake belanja bulanan. Bayar listrik, air, juga pake uangku semua 'kan?" "Itu kan bakti kamu pada suami dan mertua." Aku tak acuh. Lebih baik aku menenggelamkan diri di majalah ekonomi ter-update. Kaki kusilangkan sambil duduk santai di atas sofa. TV tetap kubiarkan menyala. Melihat tingkahku yang sok dingin itu, Ibu duduk di sampingku. Ia toyor badanku penuh emosi. "Kalau diajak ngomong itu jangan cuek kenapa!" Emosi Ibu meletup-letup. Aku hanya menatapnya dingin. Mana mau aku kalah mental dengan mertua galak. Pun malas aku meladeni kompor meleduk. "Bilqis, tolong lah, kasih Ibu uang." Rayuan maut Azmi keluar. Begini jurus andalannya kalau ada udang di balik bakwan. "Udah, ah, aku mau kerja." Aku melengos meninggalkan mereka yang memasang tatapan geram. Aku tak peduli. Sama sekali. Mengapa tidak Azmi yang memberi ibunya sendiri? Padahal uang gajinya masih tersisabanyak. Ia hanya menumpuk tabungan saja. "Bilqis! Bilqis!" teriak Azmi menahanku. Aku tetap berlalu untuk bersiap berangkat kerja. *** Kali ini di grup W******p keluarga pasti lebih geger lagi. Aku yang semalam menyadap W******p suamiku, tentu saja dengan mudah mengetahui percakapan mereka. Ternyata mereka sering membicarakanku di belakang. Mulai saat ini, semua pesan yang masuk ke ponsel Azmi juga masuk ke ponselku. [Si Bilqis ngeselin banget hari ini, sumpaaah! Gak sabar untuk kick dia dari rumah!] ketik ibu mertuaku membuka percakapan grup w******p pagi itu saat aku sudah berangkat kerja. Aku yang berada di ruang direktur keuangan sambil memeriksa dokumen yang harus kutanda-tangani, entah kenapa langsung membuka W******p saat notifikasi masuk. Keningku mengernyit saat kubaca namaku disebut. Tak sia-sia w******p Azmi kusadap. Aktivitas mereka yang terpantau jadi hiburan tersendiri bagiku. [Usir, Bu! Usir!] Kakak iparku, Ayu, memanas-manasi. Ia sejak awal memang tak pernah ramah padaku. [Jangan kasih ampun. Lagian Azmi mau-maunya nikah sama Bilqis.] Romi suami Ayu itu pun menimpali. Seru sekali keluarga mereka. Ah, tunggu tanggal mainnya saja. [Aku juga udah muak sama si Bilqis sombong itu. Lihat mukanya aja mau muntah, uuwek.] Adik Azmi yang bekerja di minimarket ikut bersuara. Haha. Permainan semakin seru. Silakan hina aku sesuka kalian sebelum kalian mati kutu! Aku membiarkan mereka menikmati tiap hinaan yang mereka lontarkan. Lagian, tiap mereka berghibah soal diriku, aku yang panen pahalanya. Sementara mereka ibarat memakan daging busuk. [Jangan diusir dulu, Ibu masih mau morotin uangnya Bilqis.] Nah, ketahuan kan niat Ibu sebenarnya memang menguras gajiku. Untung saja aku mengaku pada mereka gajiku sedikit. Nanti akan kubuat mereka terpana melihat apa yang kumiliki. Akan kubuat mulut-mulut nyinyir itu terbungkam. Aku heran, kenapa ada satu spesies yang kompak sama-sama super sombong minta ampun. [Aku sudah punya calon istri lain ... kick aja Bilqis aku ga peduli. Bodo amat!] pesan dari Azmi masuk di grup itu. Dahiku mengkerut. Calon istri lain? Oh, rupanya dia mau bermain-main denganku. Mau berkhianat dan main serong rupanya. Apa itu alasan mengapa dia tak mau menyentuhku selama ini? Jadi, pernikahan kami memang benar-benar terlalu dipaksakan. Karena adanya perjanjian Papa dan ayahnya Azmi. Tiada cinta sama sekali di antara kami. Namun, karena ada indikasi selingkuh darinya, awas saja. Meski pun tiada rasa cemburu, tetap saja aku pantang dikhianati di belakang. Baiklah, aku harus mencari tahu lebih dalam. [Mbak Nera, ya, Mas?] ketik Mita, adik Azmi. [Ya. Aku mau nikah sama Nera.] [Nah, gitu dong cepet tinggalin Bilqis.] [Ngapain pertahanin perempuan macam dia.] [Buang aja ke tong sampah. Atau lempar ke sungai Batanghari sekalian,] [Anggap aja sepah tebu!] Hinaan dan cacian terus dilayangkan untukku sepanjang hari. Sakit hati? Sebagai orang normal, tentu saja ada rasa sakit. Namun, mengapa pula harus peduli? *** Sementara itu di chat yang berbeda. Sebuah kontak dengan tulisan "Chayank" masuk ke pesan WA Azmi yang telah kusadap. Langsung kulihat photo profilnya. Seorang wanita dengan rambut pirang sedang tersenyum. Jangan-jangan dia yang bernama Nera. Baiklah. Aku sudah menyiapkan ide untuk mempermalukan mereka berdua. Azmi dan Nera, siap-siap saja kalian terkenal karena terpampang di baliho raksasa milikku. Sedang tersenyum menyeringai karena membayangkan rencana yang akan kubuat, tiba-tiba ponselku bergetar. "Bil, lu udah baca email gue?" Berno asistenku menelepon. "Belum, No. Ada apa?" "Gue kirim bukti bahwa papa lu itu ditabrak, Bil. Kayanya disengaja. Gue yakin papa lu nggak kecelakaan biasa. Gue udah teliti." "Makasih, No. Ntar Gue cek." "Ya dah. Gimana sadapan W******p suami lu yang songong itu?" "Haha. Berhasil. Ini gue mau main-main sama mereka. Kirain mereka gue bodoh apa. Lihat aja permainan gue." "Ingat, Bil. Tujuan utama lu mau nikah sama Azmi itu apa. Bukan untuk main-main. Lu mau mengungkap kecelakaan bokap lu, kan? Sekalian membalas mereka." "Iya-iya. Tenang aja." "Oke. Jangan lupa cek email." Berno hendak menutup teleponnya, segera kutahan. Ada hal yang aku ingin ia lakukan. "Apa lagi, Bil?" Ia kesal. "Lu cariin siapa cewek selingkuhan suami gue, ya. Terus gue minta elu melakukan satu hal lagi, bisa?" "Apa lagi, sih, Bilqis?" keluh Berno karena pekerjaannya bertambah. "Gue bakal kasih elu bonus gede, deh, akhir bulan." "Wih, beneran nih?" "Iya." "Ya dah, apaan?" "Lu cetak baliho gede yang gambarnya suami gue sama selingkuhannya. Tapi, lu tulis dah di bawah fotonya: Dijual Murah! Seekor Suami dan Selingkuhannya!" "Gila lu?" "Hahaha." "Gak mau gue.” "Kalau gitu kemasin barang-barang lu, deh." "Eeeh, Bilqis, bukan gitu, ya. Tapi ini urusan rumah tangga lu, ya. Gue gak mau ...." "Pokoknya kalo elu gak mau lakuin, gue pecat. Haha." "Egois, lu!" "Hahaha." Telepon kututup sepihak. Bersambung …. Kira-kira bakalan kejang-kejang nggak ya kalau azmi tahu siapa Bilqis sebenarnya… Jangan lupa tinggalkan komentar dan lovenya kakak…Mobil merah yang kami naiki sampai dengan elegan di sebuah café mewah di kota kami. De’Leon, begitu tulisan di depan café itu, dengan tampilan minimalis ala eropa dan gambar menu-menu Perancis di sebagian dinding.Harusnya ini adalah momen paling menyenangkan bagiku: menaiki mobil sport keren dengan orang tampan sejagad raya. Namun, hatiku tak begitu menyenangkan, menerka-nerka siapa gerangan orang yang akan kami temui.“Jei, siapa yang akan kita temui, ibu kamu?” Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Ayo, Jei, jawab saja kalau itu ibumu. Jangan jawab hal yang kutakutkan.Jei membukakan pintu mobil.“Nanti kamu akan tahu sendiri, sebentar lagi. Aku mohon, Bil, tolong jelaskan sedetailnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku gak mau dia salah paham. Kamu ngerti ‘kan maksudku, Bil?”Aku mengangguk. Jei kemudian mengajakku masuk ke café itu disambut oleh pelayan rapi. Aroma khas memanjakan hidung. Sedap sekali. Di meja nomor 27 itu kami duduk dan tiada sesiapa pun. Orang yang dimaksu
TANGAN Mita gemetar higga tampak kertas fotokopi itu bergetar pula. Matanya sibuk menggerayai permukaan kertas. Bu Saniah heran dan mengkerut keningnya. Suasana mendadak tegang dan sunyi, sayang tiada bunyi jangkrik yang berkerik-kerik.“Ini-ini ….” Mita berujar tapi tak kuat, tersekat.“Ada apa, Mit?” Bu Saniah bergabung dan ikut melihat fotokopi sertifikat itu.“Ini palsu, ‘kan? Ini buat-buatan kamu aja ‘kan Kak Bilqis? Segitunya kamu mau menghancurkan keluargaku, ini pasti palsu. Kak Azmi, katakan ini palsu, Kak. Katakan.” Mita beralih pada Azmi yang masih bersungut.Azmi tak menjawab. Bergeming.“Atau perlu kutunjukkan yang asli?” ancamku pelan saja. “Maksudmu apa, Kak?” Mita memelototkan mata.“Aku bisa buktikan dengan pengacara, saksi bahkan di bawah payung hukum yang sah. Pokoknya, Aku mau kalian pergi dari sini, itu aja. Aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi. Dari pada aku selalu emosi dan terus buat dosa, mendingan kalian kuusir. Maaf, jangan tersinggung.” Aku mengangkat
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
PLAK!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Saniah, keras sekali dan tak berbalas. Padahal tadinya Bu Saniah mantan mertuaku itu yang hampir menamparku. Namun, nyatanya tangan Lita yang menamparnya."Jangan sentuh sahabat saya, Bu." Lita menatap Bu Saniah dengan tajam, setajam silet, tetapi bukan acara gosip artis."Heh. Beraninya nampar saya kamu, ya!" ujar Bu Saniah memegangi pipinya. Puluhan pasang mata memperhatikan.Drama apa lagi?Sekonyong-konyong Bu Saniah melayangkan tangan ke pipi Lita. Lita mengelak dan hanya menyentuh dagunya. Beberapa lelaki bagian keamanan kemudian mendatangi mereka dan memisahkan. Bu Saniah diseret ke belakang."Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi." MC di panggung harus menenangkan kembali para undangan yang masih riuh."Lit, kamu kembali duduk aja. Aku gak apa-apa," pungkasku. Padahal dalam hatiku sedang bertanya-tanya."Oh, ya, dah, aku duduk lagi." Lita lalu kembali ke tempat duduk istimewanya. Sama seperti kursi para petinggi perusahaan. Tida
“Oom-oom.” Mita menyeret manajer keuangan perusahaanku, Samian Palupi. Lelaki yang diseret tampak risih dan tak senang. Sebentar-sebentar ia melepas tangan Mita yang memegangi lengannya.“Ada salah satu staf rendahan di perusahaan ini yang sering jahat sama aku, Oom,” adu Mita. Perempuan berambut lurus itu lantas menunjuk-nunjuk ke arahku.“Pecat aja dia, Oom!” Mita merengek macam anak kecil bibirnya mencebik sehingga kelihatan semakin ‘dower’.Aku menggelengkan kepala, tetapi bukan karena terbawa irama musik dari panggung, bukan! Pecat saja kalau berani. Malah sebaliknya, aku yang akan memberhentikan lelaki macam Samian dari perusahaanku.“Eeh, Mita, jangan pegang-pegang tangan Oom gini di tempat umum. Nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Samian itu berusaha melepas tangan Mita yang terus mengupil di hidungnya. Eh, maksudnya terus menarik lengannya.Sementara Mita terus berusaha menggandeng Samian dan menyeret ke arahku. Samian menolak, tentu saja karena tahu kalau wanita yang dimaks
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments