Sahira berusaha melepas ikatan tangannya, hingga tak memerhatikan posisinya. Dia menahan napas, tubuhnya menegang saat kursi yang mengikat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke samping. Dia terpelanting, bahunya menghantam lantai keras dengan suara berdentum yang menggema di ruangan sunyi itu.
Gubrak!
“Akhhh!”
Rasa nyeri langsung menjalar dari bahu hingga ke punggungnya, tapi itu bukan yang paling menyakitkan. Perutnya tiba-tiba terasa melilit tajam, seperti ada sesuatu yang mencengkeram organ dalamnya dengan kasar. Sahira menjerit tertahan, giginya menggigit bibir bawahnya sampai hampir berdarah.
“Akhh, sakit!”
Tidak … bukan sekarang .…
Matanya melebar saat merasakan sesuatu yang hangat dan basah mengalir di antara pahanya.
Dengan napas terengah, dia menunduk—dan seketika wajahnya memucat.
“Da-darah?”
Warna merah pekat itu begitu kontras dengan kulitnya yang pucat dan rok putih yang sekarang ternoda.
Jantungnya berdebar kencang, rasa panik langsung menyergapnya. Tangannya,