“Kamu sedang mencoba menggodaku, Dira?”
Sontak Dira terjingkat kaget. Ia sedang berdiri membelakangi Alif. Seluruh bagian belakang tubuhnya terekspos, bahkan hanya panty yang menempel di tubuhnya saat ini.
Dengan gerak cepat Dira meloloskan baju tidur ke tubuhnya dan membalikkan badan. Matanya membola saat melihat Alif sedang berdiri bersedekap di depan pintu menatapnya.
“Mas Alif ngapain ke sini?”
Alif tidak menjawab hanya menghela napas sambil berjalan mendekat.
“Menurutmu mau apa?”
Dira tidak bisa menjawab hanya diam sambil menatap Alif dengan bingung. Matanya mengerjap berulang dengan tangan yang menyilang di depan dada. Saat ini dia sudah memakai baju tidur dengan tali spaghetti dan potongan leher rendah. Parahnya lagi, dia sudah melepas bra-nya.
Tentu saja Dira tidak mau Alif berpikir kalau dia sedang memanfaatkan kesempatan. Apalagi ucapan Alif barusan.
Mereka saling diam berhadapan. Perlahan mata Alif melirik Dira dan gadis itu semakin rapat menutup dadanya. Alif tersenyum menyeringai.
“Aku ngantuk. Minggir!!”
Alif langsung menyingkirkan tubuh Dira dan tanpa berkata apa-apa lagi pria tampan itu seketika ambruk di kasur. Dira hanya bengong melihat ulahnya.
“Ngapain dia tidur di sini?” batin Dira.
Seolah mendengar ucapan Dira, Alif langsung melempar satu bantal ke arah Dira. Karena ia melempar tanpa melihat tak ayal bantal itu mengenai muka Dira kemudian jatuh ke lantai.
“Nih!! Kamu tidur di sofa saja!!”
Dira terdiam, dengan cemberut memungut bantal di lantai. Dira langsung berjalan ke sofa, mengatur bantal lalu mengambil selimut di lemari. Selang beberapa saat dia sudah meringkuk di atas sofa.
Sesekali Dira melirik kasur tempat Alif terbaring. Pria itu terpulas masih mengenakan pakaian lengkap. Bahkan Alif sengaja menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut seolah takut dilihat Dira.
“Dasar orang aneh!! Pasti dia takut ketahuan, makanya tidur di sini,” gumam Dira.
Sebuah senyuman terukir di wajah cantik Dira. Ia akhirnya paham mengapa Alif memilih tidur di kamarnya. Bukankah sekarang ada mertuanya. Pasti Alif tidak mau membuat kedua orang tuanya curiga jika mereka tidur pisah kamar.
Sebelum subuh, Dira sudah bangun. Ia membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan pagi. Lama kelamaan Dira sudah terbiasa dengan aktivitas hariannya ini. Dia juga bisa memanage waktu hingga tidak bertabrakan dengan yang lain.
“Dira, kamu semua yang menyiapkan ini?”
Tiba-tiba suara Widuri menyeruak di belakang Dira. Dira menoleh sambil tersenyum menjawab pertanyaan mertuanya.
“Iya, Bunda. Mas Alif bilang gak suka makan di luar. Itu sebabnya Dira usahain masak di rumah setiap hari.”
Widuri mengangguk sambil menatap Dira dengan lembut.
“Iya, Bunda tahu itu. Maksud Bunda, kamu yang membersihkan rumah juga. Sejak kemarin Bunda gak lihat ada art di sini.”
Dira terdiam, menelan ludah sambil berpikir keras. Alif memang sengaja tidak mau menggunakan art. Bukankah dia di sini untuk menjadi pembantu, bukan sebagai istrinya.
“Eng … ada kok, Bunda. Kebetulan saja art kami sedang izin pulang kampung. Ada saudaranya yang nikah.”
Akhirnya Dira terpaksa mengarang cerita. Semalam suaminya terpaksa tidur sekamar dengannya agar mertuanya tidak curiga. Rasanya tidak pantas jika sekarang Dira malah berkata jujur mengenai pernikahannya dengan Alif.
“Oh begitu. Bunda pikir, kalian tidak pakai art. Kasihan kamunya nanti.”
Dira hanya tersenyum sambil meringis.
Tak berapa lama Alif sudah datang bersama Emran. Selanjutnya mereka terlihat menikmati makan pagi bersama.
Hanya dua hari Widuri dan Emran menginap di rumah Alif, setelahnya mereka memutuskan pulang. Banyak hal yang harus mereka kerjakan di kota asalnya.
Dira lega begitu tahu mertuanya sudah pulang. Itu artinya dia bisa bebas menguasai kasurnya malam ini. Ia juga tidak perlu mendengar suara dengkur Alif setiap malam.
Malam ini Dira baru saja selesai melakukan rutinitasnya sebelum tidur. Ia sudah bersiap tidur dan hendak masuk ke dalam selimut saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
Dira melotot saat melihat Alif kembali masuk ke kamarnya. Bukannya Widuri dan Emran sudah pulang, kenapa suaminya malah masuk ke kamarnya lagi?
“Sini!! Aku mau bicara!!!”
Alif langsung duduk di sofa, menepuk sofa sebelahnya sambil meminta Dira mendekat.
Dira urung masuk ke dalam selimut. Ia turun dan berjalan menghampiri kemudian duduk di sofa.
Sofa di kamar ini tergolong kecil dan hanya muat dua orang. Kemarin saja saat Dira tidur di sofa, ia harus menekuk tubuhnya agar cukup. Alhasil saat bangun pagi, badannya pegal semua. Namun, Dira yakin kedatangan Alif di kamarnya bukan untuk membahas itu.
“Mas Alif mau ngomong apa?” tanya Dira.
Alif langsung menoleh, tatapan matanya sangat tajam dan langsung menembus sampai ke punggung Dira. Dari dulu sampai sekarang pria satu ini memang selalu membuat Dira berdebar tak karuan.
Alif berdecak sambil menghembuskan udara dengan kasar. Dari jarak yang tidak jauh, Dira bisa mencium aroma mint yang keluar dari mulutnya. Belum lagi parfum maskulin yang belakangan ini dikenal Dira. Benar-benar membuat Dira terbang melayang dan traveling dengan benaknya sendiri.
Belum ada kalimat yang keluar dari bibir Alif. Ia hanya diam sambil mengamati Dira. Jantung Dira semakin berdebar tak karuan.
Apa ada yang salah dengan bajunya? Bukankah hari ini dia pakai piyama yang tertutup dan tidak menunjukkan lekuk tubuhnya sama sekali. Namun, kenapa mata Alif seakan sedang menelanjanginya?
Alif membuka suara dan langsung berkata, “Ayah dan Bunda minta cucu!!”