Alif terlihat kesal. Ia bersungut-sungut sambil berjalan mendahului ayah dan bundanya. Widuri hanya mengulum senyum melihat ulah putranya.
“Alif memang sering gak sabaran, Dira. Kamu harap maklumi, ya?”
Dira hanya tersenyum meringis mendengar ucapan mertuanya.
Selanjutnya mereka berempat sudah duduk di ruang makan, terlihat asyik menikmati makan malam. Alif dan Dira duduk bersebelahan dengan Widuri dan Emran duduk di depan mereka.
“Hmm … ternyata benar kata Alif, masakanmu enak, Dira.”
Lagi-lagi Widuri memuji Dira. Tentu saja Alif kesal apalagi namanya diikutsertakan.
“Udah deh, Bun. Makan aja jangan pakai ngobrol.”
Emran tersenyum mendengar ucapan Alif. Sepertinya putranya tidak mau menunjukkan perhatiannya ke Dira. Bisa jadi karena pernikahan mereka terjadi di luar prediksi membuat Alif belum bisa menunjukkan perasaannya.
Emran memaklumi, dia juga pernah di posisi seperti ini sebelumnya.
“Lif, habis makan ada yang mau Ayah omongin.”
Alif hanya menganggukkan kepala. Alif yakin kedatangan ayahnya ke sini selain mengunjunginya pasti ingin bertanya tentang perusahaannya. Emran telah berhasil mendirikan perusahaan property.
Bahkan perusahaan property tersebut berperan besar dalam pembangunan kota-kota di negeri ini. Beberapa karya Alif juga diabadikan menjadi mall, hotel, bahkan gedung perkantoran. Itu sebabnya Emran mempercayakan perusahaan ini pada putra sulungnya.
“Ayah mau ngomong apa?” tanya Alif.
Mereka berdua kini sudah berada di ruang kerja Alif. Emran duduk berhadapan dengan putranya sambil menatap dengan kagum.
“Banyak yang mau Ayah omongin, termasuk keputusan Ayah terhadap perusahaan property ini.”
Alif mengernyitkan alis dan menatap Emran dengan tajam.
“Memangnya apa keputusan Ayah?”
Emran menarik napas panjang, menyandarkan punggung ke sofa sambil menautkan kedua tangan.
“Tempo hari Ayah sudah membicarakan hal ini dengan Alisha dan Alvan, juga dengan bundamu. Mereka setuju jika perusahaan property ini kamu yang mengambil alih sepenuhnya.”
Alif tampak terkejut. “Bukannya selama ini seperti itu, Yah?”
“Memang benar, tapi kepemilikannya masih punya Ayah.”
Alif tercengang. “Maksud Ayah, Ayah menghibahkan perusahaan ini untukku?”
“Iya. Ayah akan mengganti status kepemilikannya.”
Alif masih belum percaya dengan ucapan ayahnya. Namun, ia tidak bisa menutupi kebahagiaannya. Bahkan matanya terus berbinar karena kesenangan.
“Memang masih ada nama Alisha dan Alvan di sana sebagai pemilik saham. Namun, saham terbesarnya adalah milikmu.”
Alif tersenyum sambil menggelengkan kepala seolah tidak percaya dengan ucapan ayahnya.
“Lalu bagaimana dengan Alisha dan Alvan? Mereka menyetujuinya?”
“Iya. Kamu tahu sendiri dua adikmu itu tidak suka berkecimpung dalam hal ini. Mereka sudah asyik dengan dunianya sendiri.”
Alif tersenyum dengan kepala yang mengangguk. Ia tahu jika Alisha sangat suka memasak, bahkan ia sempat mengambil jurusan Culinary Arts sampai keluar negeri. Alisha juga punya sebuah restoran di Australia.
Sementara Alvan, dia lebih suka menghabiskan waktunya dengan melukis dan bermain musik. Alvan sering melakukan pameran lukisan bahkan karyanya pernah dipamerkan di luar negeri.
“Aku sama sekali tidak keberatan jika Alisha dan Alvan juga menyetujui, Yah.”
Emran manggut-manggut sambil tersenyum.
“Namun, tentu saja Ayah punya syarat untuk semua yang akan kamu terima ini, Alif.”
Alif terdiam, jakunnya bergerak naik turun sambil menelan saliva. Dia sudah menduga jika ayahnya akan memberi syarat.
“Memangnya apa syarat dari Ayah?”
Emran mengulum senyum sambil menatap Alif dengan penuh cinta.
“Ayah dan Bunda sudah tidak muda lagi. Kami ingin kamu bisa mengabulkan permintaan kami.”
Alif terdiam, mengernyitkan alis sambil menatap bingung.
“Beri kami cucu, maka semua yang Ayah katakan tadi jadi milikmu.”
Alif terdiam dan membeku seketika. Kenapa juga kedua orang tuanya memberi syarat sesulit ini?
“Tidak sulit, bukan?”
Kalimat itu membuyarkan lamunan Alif. Alif menghela napas sambil menatap Emran dengan kesal.
“Kenapa Ayah meminta itu padaku? Kenapa tidak ke Alisha dan Alvan?”
Emran tertawa. “Hanya kamu anak Ayah yang sudah menikah. Lagipula, kamu dan Dira pasangan suami istri. Bukankah suami istri wajar jika memiliki anak.”
Alif diam lagi dan kini menundukkan kepala.
“Ayah tahu kamu masih belum bisa melupakan Disa. Namun, Ayah yakin seiring berjalan waktu kamu pasti akan menerima Dira.”
Tidak ada jawaban dari Alif. Entah mengapa Alif merasa ayahnya tahu apa tujuannya menikahi Dira. Tak lain dan tak bukan untuk balas dendam.
Pukul sembilan malam, Dira dan Widuri sudah masuk kamar untuk beristirahat. Alif yang baru selesai berbincang dengan Emran kini berjalan berisisian menuju lantai dua rumahnya.
“Kamu gak tidur, Lif?” tanya Emran.
“Iya, ini mau tidur.”
Emran hanya manggut-manggut. Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu sudah melangkahkan kakinya menuju kamar tamu. Kamar tamu yang disiapkan letaknya tepat bersebelahan dengan kamar Alif biasa tidur.
Inginnya Alif juga melangkah ke sana, tapi kalau dia ke sana. Pasti ayah dan bundanya curiga jika dia melakukan pernikahan bohongan dengan Dira. Terlebih tadi kedua orang tuanya tahu di mana kamar Dira.
“Selamat malam, Yah."
Akhirnya Alif memilih berpisah dan melangkah menuju kamar Dira. Emran hanya mengulum senyum sambil memperhatikan putranya dari jauh. Bahkan Emran dengan sengaja menunggu hingga Alif benar-benar masuk kamar Dira.
Alif kesal dan dengan tergesa masuk ke kamar Dira tanpa mengetuk. Namun, kakinya langsung membeku begitu masuk kamar ia malah melihat Dira sedang berganti pakaian.
Dira membeku sambil berulang menelan saliva. Matanya terdiam pada satu titik menatap mata pekat nan tajam milik pria tampan di depannya. Ia tidak salah dengar, kan? Namun, kenapa Alif tiba-tiba berkata seperti itu?Alif tersenyum, kemudian sudah mendaratkan beberapa kecupan di belakang telinga Dira. Dira bergidik dan bergerak mundur mendorong tubuh suaminya.Namun, sepertinya Alif tidak mau melepaskan begitu saja. Tangannya dengan lincah merambah masuk ke balik blus Dira. Dira hanya mendesah saat tangan suaminya dengan lihai memainkan gunung kembarnya.“Bukannya aku sudah bilang, hukumanmu tidak hanya semalam. Hmm … .”Dira terdiam, tapi bibirnya dengan pelan mendesah tak beraturan. Alif tersenyum melihat reaksinya.Sekali tarik semua kancing blus milik Dira berhamburan ke kasur menyisakan bra merah yang kontras dengan kulit putihnya. Dira menunduk dan berusaha menutupinya, tapi usahanya sia-sia.Alif langsung menerjang, menindih dan membiarkan kepalanya terbenam di dada Dira. Suara le
Dira memundurkan wajahnya dan terdiam menatap Alif. Mata kecilnya mengawasi pria tampan yang berdiri sangat dekat di depannya.Secara bersamaan Alif malah mencondongkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibir Dira.Dira terdiam, matanya membola tapi sama sekali tak berani menatap pria tampan di depannya. Ia terus menunduk sambil mengatur jantungnya yang berdetak semakin cepat.“Mas … mau apa?”Akhirnya Dira memberanikan diri bertanya meski dengan napas tersenggal. Tidak ada jawaban dari Alif, malah yang ada pria itu mempererat pelukannya.Kemudian tanpa izin, Alif langsung mencium bibir Dira. Sama seperti kemarin malam, ciumannya begitu kuat, penuh tuntutan, tapi juga sarat kelembutan.Kacau balau hati Dira beradu dalam dilema antara menolak atau menikmati semua sentuhannya. Kenapa tiba-tiba Alif berubah? Kenapa tiba-tiba dia begitu menginginkannya?Tunggu dulu … apa benar pria ini menginginkannya atau hanya
Alif tidak berkomentar, hanya diam dengan jakun yang terus bergerak semakin cepat.Untuk apa Dira kecewa? Untuk apa juga mengharapkan kehadirannya?Bukankah Dira sudah tidak mencintainya. Dia kekasih Rayhan dan akan menikah dengan Rayhan nantinya. Semua yang Alif lakukan semalam adalah hukuman untuknya. Hukuman karena Dira sudah berbohong padanya soal kehamilan itu.“Apa ada yang perlu ditanyakan lagi, Pak? Mengenai Bu Dira, mungkin.”Suara Firman terdengar menginterupsi lamunan Alif. Alif meliriknya dengan tajam dan membuat Firman ketakutan. Sepertinya dia sudah salah ngomong.“Tidak ada. Pergilah!!”Firman mengangguk, kemudian sudah berjalan dengan teratur keluar ruangan Alif. Ia tidak mau mengubah suasana hati Alif yang membaik menjadi kacau.Tadi pagi, Firman sangat terkejut saat Alif datang ke kantor dengan senyum lebar dan mata berbinar. Belum lagi penampilan Alif yang terlihat beda. Rambutnya setengah ba
“Ibu sudah bangun?”Sebuah sapaan dari Firman mengejutkan Dira yang baru saja keluar dari kamar. Dira mengangguk sambil tersenyum sekilas.Firman langsung bangkit dan berjalan menghampiri Dira.“Bapak ada meeting dengan klien pagi ini, jadi tidak bisa menemani Ibu.”Dira tidak menjawab hanya diam mendengarkan. Entah mengapa Firman terus menunduk tidak berani menatapnya, seolah sedang menghindar dari melihat sesuatu. Apa mungkin ada yang salah pada Dira?“Saya diminta Bapak menyiapkan keperluan Ibu hari ini dan semuanya sudah tertata rapi di sini.”Firman langsung menyerahkan sebuah paper bag ke Dira dengan kepala menunduk sama seperti saat dia berbicara dengan Dira.“Mobil Ibu sudah terparkir di bawah dan ini kuncinya.”Seingat Dira kemarin ia meninggalkan mobilnya di rumah sakit. Alif begitu marah padanya dan langsung menariknya pulang ke apartemen. Rupanya Alif sudah menyuruh Fi
Dira belum menjawab, hanya mata kecilnya yang tampak menantang Alif penuh keberanian.Dira tidak mau membuat Rayhan dalam kesulitan. Alif pasti akan semakin murka jika tahu Rayhan bekerja sama dengannya melakukan kebohongan ini.“Dia … dia memang kekasihku.”Akhirnya Dira memilih kalimat itu untuk menyelamatkan Rayhan. Alif terlihat terkejut, tapi sebisa mungkin ia menutupinya.“Dia sangat baik dan mana mungkin berani melewati batasan kami. Aku minta maaf, Mas. Tolong, jangan libatkan Kak Rayhan dalam hal ini.”Alif tidak bereaksi hanya diam membisu sambil melihat Dira dengan sudut matanya.“Jadi benar, kamu memang akan berencana menikah dengannya?”Dira mengangguk tanpa ragu. Ia berharap, usai mendengar alasannya, Alif akan melepaskannya. Dira hanya ingin semua urusannya dengan Alif segera selesai dan bisa tuntas tanpa menyulitkan siapa pun.“Kamu menyesal menikah denganku, Dira
“Mas Alif … ,” cicit Dira.Suaranya hampir tidak keluar saat melihat suaminya telah berdiri tegak di depannya. Alif hanya diam dan sama seperti tadi tatapannya menghunus tajam ke Dira.Dira menelan saliva sambil berusaha menenangkan hatinya. Ia berharap Alif tidak mendengar semua pembicaraannya dengan Rayhan tadi. Dira berharap Alif baru saja datang, itu saja yang ia minta.“Eng … Ayah dan Bunda mana, Mas?”Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Dira berani bersuara dan kali ini mengalihkan topik pembicaraan.“Kenapa? Kamu ingin Ayah dan Bunda tahu tentang kebohonganmu?”Sontak mata kecil Dira melebar usai mendengar kalimat Alif. Ternyata harapannya tidak terwujud. Pria ini sudah mendengar pembicaraannya dengan Rayhan tadi.“Mas … aku … aku bisa jelasin semuanya.”Dira bersuara dan nada suaranya terdengar bergetar. Alif tidak berkomentar, hanya diam de