Kitab yang Menulis Sendiri
Langkah mereka menembus pintu itu bukan seperti memasuki ruangan, melainkan seperti menyusuri gagasan. Dinding di sekeliling mereka bukanlah batu atau kayu, melainkan narasi yang mengalir dalam bentuk cahaya huruf. Setiap langkah, Lena, Kai, Kapten Arya, dan Ustadz Faris seperti ditulis ulang oleh ruang itu, seakan mereka sedang berjalan di atas halaman yang terus berubah.
Namun tak satu pun dari mereka goyah.
Di tengah ruangan besar tanpa batas, berdiri sebuah kitab. Bukan terletak di atas meja atau podium, tetapi melayang di udara, terbuka, dan menulis sendiri. Tinta dari udara mengalir ke halaman kosongnya, seolah mencatat apa pun yang mereka pikirkan, rasakan, lakukan. Dan dalam detik-detik itu, semua sadar: ini bukan hanya kitab sejarah. Ini adalah kitab yang menentukan realitas dari momen ke momen.
“Ini... asalnya semua takdir,” kata Lena nyaris berbisik.
Kai maju. “Apakah ini yang disebut kitab ‘Yang Tak Pernah Selesai’?”
Kapten Arya memicingkan mata.