Matahari menyusup lewat kisi jendela kayu yang mulai lapuk. Cahaya kekuningan jatuh lembut di lantai kamar, membentuk garis-garis tipis yang menenangkan.
Seline duduk di tepi ranjang, menggulung lengan bajunya perlahan. Di hadapannya, sang ibu terbaring diam—mata terbuka sayu menatap langit-langit, tubuhnya kurus dan nyaris tak bergerak, hanya sesekali bergumam lirih yang sulit dimengerti.
“Bu, Seline pulang,” bisik Seline sambil membasahi handuk kecil dengan air hangat di baskom. “Cuma sebentar, ya… tapi aku pulang.”
Ia memeras handuk perlahan, lalu mengusap wajah ibunya dengan lembut, dari kening hingga dagu. Gerakannya pelan, penuh hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang sangat rapuh. Seline tahu ibunya tidak bisa menjawab. Tapi ia juga tahu, sentuhan itu akan sampai. Bahwa ibunya masih bisa merasakan.
Setelah mengusap wajah, Seline menyeka lengan dan leher ibunya, lalu mengganti baju tidur yang basah oleh keringat. Ia bekerja dalam diam, hanya ditemani suara detik jam dan ses