Seline menggantikan Alana mengenakan gaun pengantin sesaat sebelum pernikahan berlangsung. Awalnya, itu hanya bagian dari rencana mereka—pertukaran peran sementara untuk menggagalkan pernikahan yang tidak diinginkan. Namun, tanpa diduga, keadaan berubah di luar kendali. Dalam sekejap, Seline justru terjebak dalam pernikahan dengan Elang, pria dingin yang seharusnya menjadi suami sahabatnya. Seline justru menggantikan Alana di pelaminan dan resmi menikah dengan Elang—pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Elang, lelaki dingin dan penuh rahasia, menerima pernikahan itu dengan ekspresi datar, seolah siapa pun yang berdiri di sampingnya tidak ada bedanya. Namun, semakin Seline mencoba memahami Elang, semakin ia tenggelam dalam dunia pria itu—dunia yang penuh luka, ambisi, dan perasaan yang sulit ditebak. Di antara kebencian, keterpaksaan, dan ketidaktahuan akan masa depan, Seline harus mencari cara untuk bertahan. Apakah ia bisa menemukan celah di hati Elang yang membeku? Ataukah pernikahan ini hanya akan menjadi kesalahan yang selamanya mengikat mereka dalam ketidakbahagiaan.
View MoreSeline Agnia Yorin duduk diam di depan meja rias pengantin dengan wajah tegang. Jemarinya saling meremas di pangkuan. Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa asing, karena gaun ini bukan miliknya.
Seharusnya, yang duduk di sini dengan gaun pengantin bukanlah dirinya, melainkan Alana, sahabatnya. Namun, beberapa menit lalu, sahabatnya itu pergi, lari karena tidak ingin melanjutkan pernikahan yang didasari perjodohan ini.
“Dia gay. Tidak suka wanita. Kenapa aku harus menikahinya?!”
“Seline, tolong kamu gantikan aku.”
“Hanya sementara saja! Saat mereka tahu kamu bukan aku, pasti pernikahan ini akan dibatalkan!”
Teringat akan kalimat itu, Seline menghela napas panjang. Dia memaki kebodohannya karena tidak bisa menolak permintaan gila sang sahabat.
Akan tetapi, bagaimana Seline bisa menolak? Bukan hanya sang sahabat membutuhkan bantuan, tapi dia juga menawarkan uang delapan puluh juta untuk rencana ini.
Dengan uang sebanyak itu, Seline bisa menyelamatkan ibunya yang sedang terbaring sakit!
Namun, walau awalnya sudah menerima risiko akan hal yang mungkin terjadi, sekarang Seline menjadi semakin gugup membayangkan reaksi keluarga Alana.
Bagaimana kalau semuanya tidak berjalan sesuai rencana?
Bagaimana kalau keluarga laki-laki marah dan dia berujung dijebloskan ke penjara?
Tepat di saat Seline memikirkan hal tersebut, suara ketukan terdengar dari balik pintu.
“Al, sudah waktunya,” ucap suara seorang pria yang membuka pintu dan melangkah masuk.
Itu adalah Mario, kakak kandung Alana … sekaligus cinta pertama Seline.
Mario menghampiri Seline yang wajahnya masih tertutup kerudung pengantin. “Ayo, calon suamimu sudah menunggu.”
Saat tangan Mario meraih tangannya, Seline refleks menahannya. "T-tunggu, Kak!"
Mendengar suara Seline, Mario mematung. Itu bukan suara adiknya!
Cepat, tangan Mario menarik kain tipis yang menutupi wajah Seline dan membukanya!
"Seline?" Suaranya tercekat. "Kenapa kamu yang pakai gaun ini? Mana Alana?!"
Ekspresi Mario yang tampak marah membuat tubuh Seline gemetar. “Alana … Alana pergi. Aku diminta untuk menggantikannya sementara.”
“Apa!?” Mario langsung mencengkeram pundak Seline. “Apa maksudmu Alana pergi? Dia pergi ke mana!?”
Seline menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, tapi yang jelas, Alana bilang saat semua orang tahu aku bukan Alana, pernikahannya akan dibatalkan ….”
“Kamu—!”
Mario ingin sekali marah sekarang. Bukan hanya kepada Alana, tapi juga kepada Seline yang dengan konyolnya bersedia terlibat untuk mengacaukan perjodohan. Namun, melihat tubuh Seline gemetar ketakutan, hatinya tidak tega.
Pria itu pun menghela napas kasar dan berbalik, “Kamu tunggu di sini! Aku panggil Ibu dan Ayah dulu. Kita selesaikan ini sebelum semua semakin berantakan!"
Tidak lama, seperti ucapan Mario, pria itu kembali dengan kedua orang tuanya yang tampak panik. Di belakang mereka, kedua orang tua mempelai pria juga mengikuti.
“Astaga, Seline! Bagaimana bisa kamu melakukan ini?! Kamu sadar kan ini pernikahan, bukan main-main!?” seru Ibu Alana dengan marah.
“Tahu Alana mau kabur, seharusnya kamu tahan dan beri tahu kami, bukannya malah ikut mendukung seperti ini! Kenapa kamu bodoh sekali sih?!” Ayah Alana ikut menimpali, nada bicaranya diselimuti kekecewaan dan tuduhan.
Seline ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa mereka juga salah karena memaksa Alana menikah. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
Lagi pula, nasi sudah menjadi bubur, dan memang dirinya salah malah mendukung tindakan konyol teman baiknya.
Akhirnya, dia hanya bisa diam, menerima hujan kemarahan.
Namun, di sisi lain ruangan, ada orang-orang yang jauh lebih tenang dari dugaan Seline.
Keluarga mempelai pria.
Seharusnya, mereka ikut marah, ikut menyalahkannya. Akan tetapi, tidak. Mereka hanya duduk dengan ekspresi nyaris datar—kecuali satu orang.
Tatapan mempelai pria menusuknya, tajam dan dingin.
Seline merasa semakin tidak nyaman, dan dia pun mengalihkan pandangan.
“Kalau sudah begini, harus bagaimana, Ayah?” tanya Mario. Dia sudah berkali-kali menghubungi sejumlah kerabat dan kenalan, tapi tidak ada yang tahu Alana ke mana dan ada di mana. “Haruskah kita tunda pernikahannya?” usul pria itu lagi.
Ayah Alana menghela napas. “Kelihatannya, hanya itu yang bisa kita lakukan seka—”
“Tidak.”
Sebuah suara memotong ucapan Ayah Alana, seketika membuat seisi ruangan hening.
Seline menoleh ke sumber suara, dan dia terkejut melihat sang pengantin pria sudah berada tepat di hadapannya.
Dengan mata menusuk dan terpaku pada sosok mungil Seline, pria itu berucap, “Pernikahan ini tetap dijalankan.”
Pria itu meraih dagu Seline, lalu berkata, “Gadis ini yang akan melakukannya.”
“Aku tidak bisa menunggu terlalu lama, Elang. Perutku akan semakin besar. Aku tidak mungkin terus menyembunyikannya,” ujar Karina, suaranya datar tapi sarat tekanan.Elang menatapnya dengan rahang mengeras. “Lalu kau ingin aku melakukan apa?”Karina menegakkan tubuhnya, menatap lurus ke arah Elang. “Tanggung jawab.”“Kalau itu memang anakku, aku akan bertanggung jawab. Aku akan penuhi semua kebutuhanmu.”“Aku tidak butuh uangmu.” Karina menyela cepat. “Aku ingin kau menikahiku.”Elang menggeleng pelan. “Itu tidak mungkin. Aku sudah punya istri.”Karina menarik napas, lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia mengetuk layar beberapa kali sebelum memperlihatkan sesuatu pada Elang. “Kalau begitu, aku akan serahkan bukti ini ke media. Tapi sebelum itu… mungkin Om Mahardhika perlu tahu lebih dulu.”Mata Elang membelalak menatap layar ponsel. Foto. Video. Semua mengarah padanya. “Kau mengancamku?” tanyanya pelan, namun tegas.“Aku tidak sedang mengancam.” Karina menatapnya dengan dingin. “Ak
Elang menatap kosong gelas wine di tangannya. Sudah lama ia meninggalkan kebiasaan ini. Sejak tinggal bersama Seline, hidupnya perlahan terarah. Ritmenya jadi lebih teratur, lebih tenang. Seolah Seline adalah titik keseimbangannya. Tapi malam ini… ia tidak sanggup menahannya.Botol wine setengah kosong berdiri di atas meja dapur. Elang menyandarkan punggung di sandaran kursi, meneguk isinya perlahan. Beban yang selama ini ia simpan terasa makin menyesakkan.Sementara itu, Seline terbangun. Di tengah malam yang hening, ia meraba sisi ranjang yang masih kosong. Elang belum pulang. Atau… sudah pulang, tapi tidak masuk kamar?Akhir-akhir ini Elang memang berbeda. Lebih diam. Ada sesuatu yang seolah ditahan, tapi tak pernah diungkap. Seline bisa merasakannya—insting seorang istri yang tajam, meski ia tak bisa menunjuk pasti apa.Ia bangkit, mengambil jubah tipis lalu berjalan keluar kamar. Tenggorokannya kering, tapi langkahnya terhenti di ambang dapur saat melihat Elang duduk sendiri, dit
Pulang dari makan malam, Karina tidak membawa mobil seperti biasanya. Itu memang sudah menjadi bagian dari rencananya. Ia tahu Elang lebih suka menyetir sendiri ketimbang menggunakan sopir pribadi. Celah itulah yang ia manfaatkan.Benar saja. Saat mereka keluar dari lobi restoran, Elang mengarahkan kunci mobil ke arah parkiran. Karina mengikutinya dengan langkah tenang."Mobil saya masih di bengkel, Pak Elang. Boleh saya menumpang sampai halte terdekat?" tanyanya sopan.Meski hubungan mereka cukup dekat karena Karina adalah anak dari sahabat lama ayah Elang, tetap saja ia menjaga formalitas. Elang mengangguk singkat."Masuk."Tanpa banyak tanya, Karina duduk di kursi penumpang. Mobil mulai melaju di jalanan malam yang lengang.Beberapa menit berselang, Elang mulai merasa ada yang aneh. Kepalanya terasa berat, penglihatannya sedikit buram. Ia memijat pangkal hidungnya pelan, mencoba mengusir rasa pusing yang mulai mengganggu.'Aneh… aku tidak minum apa pun tadi,’ batinnya. Elang memang
Setelah pemeriksaan ke dokter dan konsultasi tentang program kehamilan, ada beberapa perubahan dalam kehidupan sehari-hari Seline dan Elang. Seline, yang biasanya lebih santai soal makanan, kini mulai lebih selektif. Ia rajin mencari tahu tentang pola makan sehat dan makanan yang baik untuk kesuburan.Di dapur apartemen mereka yang minimalis tapi nyaman, aroma masakan buatan Seline semakin sering tercium. Pagi itu, Elang baru keluar dari kamar, masih setengah mengantuk, saat melihat istrinya sibuk di dapur. Ia bersandar di ambang pintu, mengamati bagaimana Seline dengan serius memotong buah, wajahnya terlihat fokus."Kau masak apa pagi ini?" tanya Elang dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.Seline menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. "Smoothie buat sarapan. Banyakin serat, protein, dan vitamin biar makin sehat," jawabnya santai.Elang mengangkat alis, berjalan mendekat. "Aku suka bagaimana kau sekarang serius banget soal makanan. Tapi smoothie?"Seline menatapnya tajam. "
Sarapan pagi ini terasa berbeda. Bukan karena menu di atas meja, atau cuaca di luar jendela, tapi karena pikiran Seline yang tak henti dipenuhi kegelisahan.Ia duduk diam, menatap piring tanpa niat menyentuh makanan. Rasa lapar sama sekali tak hadir. Yang ada hanya bayangan satu garis tipis yang kembali muncul di test pack pagi ini.Di seberangnya, Elang menikmati sarapannya seperti biasa. Terlihat tenang, seolah semuanya berjalan normal. Tapi tidak bagi Seline.Dengan suara pelan, nyaris tak terdengar, ia membuka mulut."Elang… apa ada yang salah sama aku?"Elang menghentikan gerakannya. Potongan roti di tangannya diletakkan perlahan ke piring. Tatapannya beralih pada Seline, penuh perhatian.Seline masih menunduk, jemarinya menggenggam sendok erat-erat.“Aku sudah mencoba… tapi hasilnya sama. Mungkin, aku yang bermasalah.”Elang tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, sebelum akhirnya mengulurkan tangan, menggenggam jemari Seline dengan mantap."Bukan kau," ucap Elang tenang.
Pagi ini, dia kembali berharap. Seline berdiri di depan wastafel, menatap tespack di tangannya dengan jantung berdegup tak karuan. Napasnya terasa berat, seolah tubuhnya tahu lebih dulu apa yang akan terjadi sebelum pikirannya bisa mencerna. Garis satu. Lagi-lagi garis satu. Dadanya terasa sesak. Kekecewaan merayap pelan, menghimpit harapannya yang sempat tumbuh. Dia menggigit bibir, menahan rasa frustrasi yang mulai menguasai pikirannya. Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah mendekat dari belakang membuatnya terperanjat. Pintu kamar mandi terbuka, dan di sana berdiri Elang. Seline tersentak. Refleks, dia menyembunyikan tespack di balik tubuhnya. Matanya membulat, seolah tertangkap basah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.Elang, yang awalnya terlihat masih sedikit mengantuk, kini mengerutkan kening, tatapannya dengan cepat menangkap ekspresi gugup Seline. Dia melangkah mendekat, tubuhnya lebih tegap, seakan sudah bisa menebak sesuatu."Apa yang kau s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments