Seline refleks berdiri tegak. Di ambang pintu berdiri Elang. Dengan kaus hitam dan celana santai, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya datar seperti biasa. Tapi sorot matanya berubah begitu melihat siapa yang berdiri di sebelah istrinya.
Seline terdiam. Meski sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan Elang yang suka menghilang tanpa kabar lalu pulang sesuka hati, tetap saja kemunculannya kali ini membuatnya gugup. Apalagi, ia sedang bersama pria lain—Mario, yang berdiri tenang sambil membawa belanjaan.
Seline buru-buru bersuara. “Kak Rio, terima kasih banyak.”
Nada suaranya halus, tapi sarat dengan isyarat. Ia berharap Mario menangkap maksudnya: cukup sampai sini, jangan tambah canggung.
Namun baik Elang maupun Mario sama-sama tidak langsung pergi. Mereka hanya saling pandang, seakan berbicara lewat diam yang menegangkan.
Mario sempat mengalihkan pandangan ke Seline. “Aku bantu bawa ke dalam, Sel. Ini berat.”
Seline hendak menolak dengan sopan, tapi belum sempat satu suku kata