Hujan masih mengguyur pelataran rumah. Musim demi musim berganti begitu cepat. Bagai anak panah yang melesat. Begitu lah waktu. Jarum jam terus berputar.
Waktu demi waktu pun harus mengganti batrei jam yang using. Terdengar isak tangis yang begitu memekakkan telinga Aro. Namun, tidak dengan Anis. Ia hanya bersedih ketika warga desa menyiarkan emaknya yang telah meninggal.
Kini, Wanto lah yang mengurus Anis. Meskipun Wanto seorang petani, tapi mampu memberikan makanan seadanya kepada Anis. Terlebih kedua kakaknya Anis juga turut memberi makan. Mereka tidak terlalu kekurangan harta. Hari berikutnya.
Seperti biasa Aro mengendarai sepeda.
“Aro, sepedamu bagus,” ujar Anis sambil memandangi sepeda baru milik Aro.
“Iya dong. Ini kan sepeda baru. Ada keranjangnya juga,”
“Aku iri loh,”
“Kenapa iri?” tanya Aro.
“Ingin punya sepeda juga yang seperti sepeda punyamu,” jawab Anis sambil terus menonton aksi Aro yang bersepeda.
“Kamu boleh kok meminjam sepeda ini,”
“Nggak ah. Aku mana bisa n