Cari
Pustaka
Beranda / Romansa / Kutukan Mantan Terindah / Tanpa Nama Belakang

Tanpa Nama Belakang

Penulis: Syamwiek
2025-04-23 16:01:38

Pagi di proyek Bekasi terasa panas meski matahari baru naik sepenggalah. Zain turun dari mobil dengan langkah cepat, sepatu boots-nya langsung disambut tanah berdebu dan aroma semen. Dia langsung mencari kepala tukang.

“Pak Rano mana?” tanyanya pada salah satu pekerja.

“Di belakang, Pak, lagi cek plesteran,” jawab pria itu dengan suara tergesa.

Zain melangkah cepat, menyibak papan-papan triplek dan menyapa para tukang yang bekerja setengah mengantuk. Begitu menemukan Pak Rano, Zain tak langsung marah, tapi nada suaranya tegas.

“Kenapa progres lambat? Klien sudah mengeluh. Minggu ini harus ada lompatan signifikan atau kita kehilangan proyek.”

Pak Rano, pria setengah baya dengan wajah lelah, menghela napas. “Pak, tukang kita kurang. Yang biasanya ngerjain bagian atas, malah cuti mendadak. Belum lagi bahan baru datang kemarin sore. Nunggu itu bikin kerja mandek dua hari.”

Zain mengangguk. “Oke, saya akan kirim tambahan tukang dari proyek lain. Tapi tolong jaga tempo kerja. Jangan nunggu saya turun dulu baru semua bergerak.”

“Siap, Pak.”

Zain mengawasi sekeliling. Dia naik ke lantai dua proyek rumah dua lantai itu, melihat adukan semen yang belum dirapikan, besi tulangan yang belum tersambung sempurna, dan pekerja yang tampak enggan bergerak cepat. Dia mencatat semua. Dua jam penuh dia habiskan untuk inspeksi, memberi pengarahan, bahkan ikut memindahkan papan untuk memberi contoh.

Menjelang siang, dia merasa sedikit lega. Proyek itu bisa diselamatkan.

Tapi sebelum sempat menghela napas panjang, handphone-nya kembali bergetar. Kali ini dari Niko.

“Mas, kita punya masalah. Client dari proyek Kebayoran batal kerja sama. Alasan mereka—katanya reputasi kita belum cukup stabil. Tapi kayaknya ada pihak lain yang nyebarin kabar buruk soal perusahaan kita.”

Zain berhenti di tengah panasnya siang. Peluh belum sempat dia lap dari kening, masalah baru sudah mengetuk lagi.

“Siapa yang bisa sebarkan kabar itu?” tanyanya langsung lewat telepon.

“Belum tahu. Tapi yang jelas, kita butuh reputasi besar buat bersaing di tengah pemain lama. Klien yang ini lebih pilih main aman.”

Zain menahan emosi. Dia tahu permainan ini. Dunia konstruksi itu kejam. Tanpa jaringan dan nama besar, orang seperti dia cuma dianggap pendatang musiman.

“Minta waktu ketemu kliennya. Aku mau jelasin langsung.”

“Udah aku coba, Mas. Tapi mereka bilang ‘sudah diputuskan’. Nggak mau audiensi.”

Zain terdiam. Proyek Kebayoran bukan yang terbesar, tapi dia sudah hitung betul: keuntungan dari proyek itu bisa dipakai untuk bayar vendor dan menyambung napas perusahaan tiga bulan ke depan.

Dia bersandar di dinding beton lantai dua proyek Bekasi, menatap ke langit yang mendung.

Dulu, waktu di Juhar, semua ini mudah. Cukup sebut nama keluarga, maka proyek datang seperti hujan di musim pancaroba. Tapi sekarang, tanpa embel-embel ‘Juhar’ di belakang namanya, dunia memperlakukannya seperti bukan siapa-siapa.

Zain menunduk. Jemarinya mengepal.

“Kalau ini bentuk ujian, aku akan lewati,” gumamnya pelan.

Teleponnya kembali berdering. Kali ini dari Papi.

Zain menatap layar itu lama, sebelum akhirnya mengangkat.

“Zain,” suara berat Papi terdengar dingin, tegas, dan penuh tekanan. “Kamu tahu berapa proyek Juhar yang sekarang jadi rebutan? Tapi kamu malah sibuk mainan di proyek recehan yang tiap hari bikin kamu ngos-ngosan.”

“Papi, aku nggak mainan. Aku membangun sesuatu. Dari nol.”

“Dan hasilnya?” sahut Papi. “Baru hari ini kamu gagal satu lagi. Kamu kira Papi nggak tahu?”

Zain terdiam. Papi selalu tahu. Dunia bisnis sempit. Nama ‘Zain’ tanpa embel-embel keluarga, tetap jadi buah bibir.

“Kembalilah ke Juhar,” lanjut Papi. “Atau kamu akan terus seperti ini. Jatuh bangun sendiri. Dipermalukan. Direndahkan.”

Zain mengepalkan tangan. Dia tahu Papi bukan cuma menyuruh—ini ancaman.

Tapi Zain juga tahu, kalau dia menyerah sekarang, maka semua luka dan perjuangan dua tahun terakhir akan sia-sia.

“Aku belum selesai, Pi,” jawab Zain akhirnya. “Aku belum kalah.”

Ya, Zain akan membuktikannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi