Chapter: Ekstra Part 4Aku berdiri di ambang pintu dapur, mengamati keramaian di halaman belakang rumah. Aroma sate kambing dan nasi kebuli sudah memenuhi udara. Suara tawa dan obrolan para tamu bercampur dengan suara anak-anak yang berlarian. Hari ini adalah aqiqah Zivanya. Seharusnya aku merasa bahagia—dan memang begitu. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mataku mencari sosok Zain. Dia duduk di kursi kecil di sudut halaman, memeluk boneka dinosaurusnya erat-erat. Wajahnya... tidak seperti biasanya. Biasanya dia yang paling antusias saat ada tamu, berlarian kesana kemari, bercerita tentang dinosaurus kesukaannya pada siapa saja yang mau mendengar. Tapi hari ini berbeda. Aku melihat bagaimana Zivanya berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain. Para tamu antri untuk menggendongnya, mencium punggung tangannya, berkata betapa lucunya si bungsu ini. Dan aku melihat bagaimana pandangan Zain mengikuti setiap gerakan adiknya—pandangan yang perlahan berubah dari kebanggaan menjadi... kesedihan. "Zain
Last Updated: 2025-04-21
Chapter: Ekstra Part 3Langit pagi ini mendung, seakan sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku berjalan perlahan menuju taman belakang rumah, merasakan beban di perutku yang semakin berat. Minggu ke-38. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan putri kecilku. Taman masih basah oleh embun, dan bunga-bunga lavender kesayanganku bermekaran seperti biasa. Aku mengusap perutku sambil tersenyum kecil. Damai. Inilah yang kurasakan—kedamaian sebelum badai. Aku meraih ember kecil untuk menyiram bunga lavender. Tapi entah mengapa, langkah kakiku tergelincir. Seketika dunia terasa jungkir balik. Ember terlempar, air menyiprat kemana-mana dan tubuhku terhempas ke tanah dengan keras. Nafasku tertahan, rasa sakit menjalar dari pinggang hingga ke seluruh tubuh. Tanganku reflek memegang perutku yang kini terasa sangat tegang. "Mas Barra—" suaraku lemah. Panik menyelimuti diriku. Napasku mulai pendek. Aku tahu ada yang tidak beres dengan bayiku. Dari dalam rumah, kudengar langkah kaki berlari. Barra berlari keluar dengan mata
Last Updated: 2025-04-19
Chapter: Ekstra Part 2Acara ulang tahun Zain berjalan dengan lancar. Sepanjang acara wajahnya berseri-seri penuh binar bahagia. Belum pernah dia sebahagia ini— semua itu karena diulang tahunnya kali ini mendapatkan kado istimewa. Aku sempat turun sebentar saat acara tiup lilin dan potong kue. Meski kepala rasanya berputar-putar dan tubuh terasa lemas. Semua yang aku lakukan ini demi melihat Zain tersenyum lebar. Dia mulai sekolah dan kini memiliki banyak teman. Dengan bangganya aku mengatakan jika dia putraku pada semua tamu undangan. Saat itu, dia langsung memelukku erat. Usianya memang baru 4 tahun— namun Zain sangat peka dengan perasaan orang disekelilingnya. Dia paham jika aku butuh pelukan karena terbawa suasana haru. “Rum, aku titip Adek ya. Ada masalah di butik jadi aku harus segera ke sana. Gak mungkin aku bawa Letta karena dia sedang demam,” ujar Gista setelah masuk ke dalam kamarku. “Iya, bawa sini si cantik. Jangan diajak keliling dunia dulu. Kasihan masih kecil,” jawabku. Oh, iya— setelah
Last Updated: 2025-04-16
Chapter: Ekstra Part 1Ulang tahun Zain yang ke empat dirayakan sangat meriah karena dia sudah mulai sekolah. Dia tumbuh menjadi anak yang tampan, pintar dan penyayang. Postur tubuhnya lebih tinggi dan besar dari anak seusianya— hingga banyak yang mengira dia sudah berusia 6 tahun.Di sekolah banyak sekali teman perempuan yang sengaja mendekatinya. Ada yang membawakannya bekal, bunga segar dan mainan. Namun, Zain tak mau menerimanya. Menolak dengan nada halus dan alasannya Maminya melarangnya menerima hadiah jika bukan hari ulang tahunnya.Zain itu ibarat calon pria soft spoken. Tak hanya teman kelasnya— anak perempuan yang tinggal di komplek perumahan saja sering datang untuk mengungkapkan cinta. Padahal mereka sudah duduk dibangku SD.Sungguh pesona Mas Barra menurun pada putranya. Tidak hanya wajah yang mirip tapi sifat dan kelakuan pun sama persis. “Sayang, kok kelihatan makin pucat ya,” ujar Mas Barra setelah selesai memakai pakaian. Kami sedang bersiap untuk menyambut para tamu undangan. “Kayaknya b
Last Updated: 2025-04-14
Chapter: Bab 55Zain senang sekali bermain bersama anak-anak seusianya. Meski keringat telah membasahi sekujur tubuhnya— dia tidak mau berhenti barang sejenak.Untungnya aku sudah menyuapinya lebih dulu. Jadi aku bisa tenang saat dia aktif bermain di Playground.Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Selama aku di sini cuaca memang kurang bersahabat. Pagi cerah, siang panas, pas sore hari hujan turun beserta angin.Mas Barra mencari cafe yang sangat nyaman. Meski guntur terdengar bersahutan tak membuat Zain ketakutan. Dia tetap asik bermain dengan teman-teman barunya."Kalau hujannya tidak reda Pak supir akan menjemput kita," ujar Mas Barra ketika aku sedang memperhatikan Zain."Kayaknya sih gak bakal reda sampai malam. Langitnya tambah gelap. Entah ini karena sudah petang atau memang mendung," balasku. "Keduanya benar. Sudah petang dan langit sedang mendung. Nanti malam bakal tidur nyenyak. Karena cuaca sangat dingin," lanjut Mas Barra.Ngomong-ngomong soal cuaca dingin mengingatkanku pada kelakuan Si
Last Updated: 2025-04-13
Chapter: Bab 54Seperti yang aku katakan pada Kevin saat sarapan tadi— seharian ini aku menghabiskan waktu dengan suami dan anakku di dalam kamar hotel. Aku dan Mas Barra ingin quality time dengan anak ganteng karena sering meninggalkannya bekerja. Meski hanya bermain di dalam ruangan— Zain terlihat sangat bahagia sekali. Dia bahkan tak mau tidur siang karena takut ditinggal Papinya. Kebiasaan Mas Barra jika anaknya sedang mode manja. Padahal aku sudah menjelaskan pada Zain jika Papi dan Maminya tidak akan pergi. Kami akan ikut tidur dan memeluknya sepanjang waktu.Sayangnya Zain sudah tidak percaya. Karena aku dan Mas Barra sering membohonginya. Berkata jika akan menemaninya tidur nyatanya meninggalkannya untuk bekerja.Akhirnya, Mas Barra menggendongnya. Menimang-nimang sambil membacakan sebuah dongeng. Pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Rasanya aku ingin memperpanjang liburan supaya memiliki waktu berkualitas dengan keluarga kecilku. “Aku tinggal berkemas gapapa ‘kan, Mas?”“Buat apa b
Last Updated: 2025-04-08
Chapter: Ekstra Part 2Sesampainya di rumah, Alvaro ternyata sudah lebih dulu tiba. Mobil yang ku bawa baru saja berhenti di garasi ketika dia keluar dari pintu depan dengan langkah cepat. Begitu melihat Raina yang tertidur di kursi belakang, senyum hangat langsung menghiasi wajahnya.“Biar Papa aja,” katanya pelan sambil membuka pintu dan dengan hati-hati mengangkat tubuh mungil Raina ke dalam pelukannya. Kepala gadis kecil itu bersandar di bahu Alvaro, nafasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka—tampak benar-benar lelap.Aku tersenyum, menatap pemandangan itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Sementara Alvaro melangkah masuk ke rumah membawa Raina ke kamarnya, aku menggandeng tangan Rey menuju taman belakang.“Ganti baju nanti aja, Kak,” ujarku pelan. “Kita duduk sebentar di gazebo.”Rey mengangguk pelan tanpa bicara. Wajahnya tampak murung, matanya menunduk. Di tanganku, genggamannya terasa lemah—tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh cerita.Kami duduk di gazebo yang menghadap taman bel
Last Updated: 2025-10-08
Chapter: Ekstra Part 1Tiga tahun kemudian—Udara siang ini terasa hangat, matahari tidak terlalu terik, dan angin berhembus lembut di halaman sekolah tempat Rey belajar. Di lobi sekolah yang luas dan dipenuhi mural warna-warni, aku duduk di bangku panjang sambil memangku Raina yang kini sudah berusia tiga tahun.Rey hari inipulang lebih awal karena sekolahnya baru saja mengadakan kegiatan lomba antar kelas untuk memperingati Hari Anak Nasional. Setelah acara selesai, guru-guru memutuskan membubarkan siswa sebelum jam makan siang supaya mereka bisa beristirahat di rumah.“Ma, Kak Rey lama banget,” gumam Raina dengan pipi gembulnya menempel di bahuku. Suaranya manja, dan tangannya sibuk memainkan ujung rambutku.Aku tersenyum sambil merapikan poni di dahinya. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi juga keluar.”Raina mengerucutkan bibirnya. “Tapi Adek mau kasih bunga sekarang.”Aku menatap bunga kecil dari kertas warna yang digenggamnya erat. Sejujurnya, itu hasil kreasinya sendiri tadi pagi, yang dia buat dengan pen
Last Updated: 2025-10-08
Chapter: Akhir yang ManisBegitu suster masuk membawa bayi mungil kami, suasana kamar langsung berubah riuh.Bunda Zura dan Bapak yang baru saja datang beriringan langsung bereaksi seperti sedang berebut harta karun. Wajah mereka sama-sama berbinar, mata tak lepas dari sosok kecil yang dibedung di pelukan suster.“Ya ampun cucu Nenek!” seru Bunda sambil menengadahkan tangan, siap menyambut.“Eh, tunggu dulu! Gantian, Bun! Biar Bapak dulu yang gendong,” potong Bapak cepat, separuh langkahnya sudah maju ke arah suster.Suster sampai terkejut, menatap bergantian antara keduanya yang seperti sedang lomba siapa paling cepat menyentuh cucu.Aku dan Alvaro hanya bisa saling pandang sambil menahan tawa melihat dua orang tua itu nyaris ‘adu cepat’ di depan perawat.“Pak, Bun, pelan-pelan, nanti Adek bingung,” kata Alvaro sambil berdiri menenangkan.Tapi tentu saja, ucapan itu diabaikan.Bunda dan Bapak tetap saling adu pandang seperti dua anak kecil yang sama-sama tak mau mengalah.Akhirnya Bunda berucap cepat sambil m
Last Updated: 2025-10-05
Chapter: Hari yang DitungguTangisku bercampur dengan teriakan kecil bayi yang baru saja lahir. Suara itu—suara paling indah yang pernah kudengar seumur hidupku.“Selamat ya, Dokter Nayla. Bayinya perempuan, sehat dan cantik sekali,” ujar bidan sambil mengangkat bayi mungil itu agar aku bisa melihatnya.Air mataku langsung mengalir. Aku menatap makhluk kecil yang baru saja hadir ke dunia, kulitnya merah muda, tangisnya kuat, dan di wajah mungilnya seolah ada bayangan dari Alvaro.“Mas,” bisikku dengan suara serak, “Lihat anak kita.”Alvaro mendekat, wajahnya antara lega dan tidak percaya. Tangannya bergetar saat menyentuh pipi bayi itu. “Ya Allah, dia sempurna sekali,” gumamnya.Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Beberapa detik kemudian, aku mulai merasa pusing. Tubuhku lemas, dan pandanganku mengabur. Suara mesin monitor di sebelahku tiba-tiba berbunyi lebih cepat.“Dok… aku… pusing banget…” suaraku nyaris tak terdengar.Wajah Alvaro langsung panik. “Dokter! Ada apa dengan istri saya?!”Dokter yang tadi
Last Updated: 2025-10-05
Chapter: Semakin Dekat“Nay, lihat deh,” katanya sambil menurunkan kotak ke lantai. “Aku beli waktu mampir ke toko bayi tadi. Gemes banget, sumpah.”Ibu yang duduk di kursi seberang langsung mencondongkan badan, matanya berbinar. “Lucu-lucu sekali warnanya.”“Si cantik belum lahir sudah dapat banyak hadiah,” sahut Bunda Zura sambil terkekeh pelan. Tangannya mengambil satu setelan berwarna peach dengan renda di bagian leher. “Ya ampun, kecil banget. Ini pasti baru lahir ukuran nol bulan, ya?”Ila mengangguk antusias. “Iya, Bun. Aku sengaja pilih warna-warna pastel. Ada juga selimut rajut, topi, sama kaus kaki mungil. Aduh, gak sabar pengen lihat si adek pakai semua ini.”“Ila, kamu tuh kayaknya lebih semangat dari aku, deh,” ujarku.“Ya jelaslah!” jawabnya cepat. “Aku udah siap jadi tante kesayangan Adek bayi dan tentunya Kakak Rey.”Bunda dan Ibu serempak tertawa. Ibu lalu berkata, “Nay, kamu udah siap, kan? Sekarang tinggal tunggu waktunya aja. Kalau ada kontraksi sedikit pun, langsung kasih tahu, ya. Jang
Last Updated: 2025-10-05
Chapter: Menunggu Sang Buah HatiUsia kandunganku sekarang sudah masuk tiga puluh sembilan minggu. Menurut dokter, HPL-ku tinggal seminggu lagi. Rasanya campur aduk — antara nggak sabar, deg-degan, tapi juga sedikit takut. Setiap malam, aku selalu gelisah sendiri, membayangkan gimana nanti proses lahirannya.Sejak usia kandunganku delapan bulan, Ibu sudah pindah ke Jakarta. Alhasil, rumah jadi makin ramai. Apalagi Bunda Zura kelihatan bahagia banget punya partner baru di dapur.Setiap pagi, suara mereka berdua selalu jadi alarm alami di rumah. Kadang terdengar dari dapur, kadang sampai ke ruang tamu.Biasanya Alvaro cuma geleng-geleng kepala sambil nyeruput kopi. Kalau dua ratu dapur udah turun tangan, staf hotel aja kalah ramai.Aku sendiri—resmi jadi tuan putri. Semua orang berlomba-lomba melayaniku.Bunda melarangku melakukan banyak pekerjaan— padahal aku hanya ingin membantu memotong sayuran. Oma Narumi setiap sore datang hanya untuk memastikan aku cukup makan buah. Ibu nggak ngebolehin aku cuci piring atau nyapu
Last Updated: 2025-10-04
Chapter: Status Baru“Binar—”Baru saja aku hendak naik ke dalam bus, suara Om Kais terdengar dari belakang. Nada suaranya yang cukup tinggi membuat langkahku langsung terhenti di anak tangga pertama.Aku menoleh, dan di sana dia berdiri—dengan kedua tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam.Aku turun lagi dan menghampirinya. “Ada apa, Om?”“Masuk mobil,” ujarnya singkat.“Lho, kenapa?”“Safa mana?” bukannya menjawab, Om Kais malah balik bertanya.“Tu, udah duduk manis di dalam bus,” jawabku sambil menunjuk ke arah sahabatku yang sedang mengintip dari jendela.Begitu sadar kami sedang membicarakannya, Safa langsung melambaikan tangan penuh semangat.“Suruh Safa turun. Kalian pulang bareng aku,” titah Om Kais.Selesai bicara, dia berbalik dan masuk ke dalam mobil lebih dulu. Bodyguard-nya segera bergerak, memasukkan carrier-ku ke bagasi mobil dengan sigap.Aku menatap punggungnya sejenak—sebelum akhirnya berlari kecil ke arah bus.“Safaaa!” panggilku sambil menepuk jendela bus. “Turun, cepat. Kita pula
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: Perkara PanggilanAku benar-benar tidak menyangka kalau Om Kais memutuskan ikut turun gunung dengan berjalan kaki. Soalnya, seingatku, dia belum pernah sekalipun mendaki—apalagi menuruni jalur seterjal ini. Jujur saja, aku sempat khawatir sesuatu bakal terjadi padanya.Bagaimanapun juga, Om Kais bukan orang sembarangan. Dia itu pemimpin besar—punya perusahaan, sekaligus direktur utama rumah sakit ternama. Bayangkan kalau sampai kakinya keseleo sedikit saja, bisa heboh satu kantor, bahkan satu kota!Aku memilih jalan di dekatnya, siap siaga setiap kali dia melangkah di medan berbatu.“Pelan-pelan, Om,” ucapku khawatir.Dia hanya menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Tenang aja, aku masih kuat.”“Iya, tapi kan Om mahal,” kataku cepat, membuatnya terkekeh pelan.“Mahalan kamu,” balasnya santai, menatapku sekilas dengan tatapan geli.Aku mencibir. “Ih, serius ini. Kalau Om kenapa-kenapa, aku bisa dimarahi seluruh tim medis rumah sakit.”“Tenang, Binar. Aku turun gunung bukan buat jatuh… tapi buat jaga kamu
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: Romantis Ala Om KaisBukannya menjawab, Om Kais malah menarik kedua pipiku dengan ekspresi gemas—seolah-olah wajahku ini bakpao isi ayam kesukaannya.“Cium—cium!” seruku sambil berusaha mendekat.“Astaga, Binar…” gumam Om Kais, lalu dia menekan kedua pipiku makin kencang sampai bibirku mengerucut seperti bebek.“Aku sayang Om Kais, loh. Suer tekewer-kewer,” kataku dengan mulut masih mengerucut.“Kamu ini perempuan, Binar,” balas Om Kais sambil menggeleng pelan. “Seharusnya aku yang menyatakan cinta, bukan kamu. Dan coba deh, hitung—udah berapa kali kamu melamarku, ha? Sampai di atas gunung pun masih kepikiran buat melamar.”Aku cuma nyengir. Jujur, aku memang gak ingat sudah berapa kali melamar Om Kais. Soalnya, setiap ada momen bagus, aku gak mau melewatkannya begitu saja. Pokoknya langsung lamar—urusan diterima atau enggak, belakangan.“Gak ingat, dan gak akan aku hitung,” jawabku santai.Lantas, Om Kais menarikku ke dalam pelukannya dan mendekapku erat. Dagunya bertengger di atas kepalaku, sementara ak
Last Updated: 2025-11-06
Chapter: Om Nikah, Yuk!Aku dan Safa duduk di atas batu besar, berselimut jaket tebal dan sarung tangan wol. Di depan kami, pemandangan langit yang mulai terang perlahan seperti lukisan hidup.“Cantik banget, ya,” gumam Safa sambil menyeruput minuman hangat dari tumbler. “Gak nyesel bangun jam empat pagi.”Aku tersenyum samar. “Iya, worth it banget.”Tapi entah kenapa, senyumku terasa menggantung. Pikiranku masih sibuk mengulang kejadian semalam—antara geli, malu, dan… deg-degan.Safa melirikku sekilas. “Kenapa? Dari tadi senyum-senyum sendiri. Jangan bilang kamu mimpi Om Kais lagi?”“Bukan mimpi. Tapi semalam aku emang ketemu hal yang lebih aneh dari mimpi.”“Apaan?” Tanya Safa sembari menaikkan alis.Aku menatapnya lekat, lalu mencondongkan tubuh sedikit, berbisik, “Aku ketemu Om Kais.”“Hah?! Di gunung?”“Iya. Aku juga gak nyangka,” jawabku.“Yang bener, Bee. Jangan bilang kamu halu gara-gara kedinginan,” ucapnya sambil mencubit lenganku.“Aduh! Beneran, Fa.” Aku menghela napas panjang. “Dia muncul waktu
Last Updated: 2025-11-05
Chapter: Om 'Tanda Kutip'“Om Kais—” gumamku pelan saat melihat sosoknya berdiri tak jauh dari tendaku.Aku bergegas mendekat, lalu tanpa pikir panjang menarik kedua pipinya.“Aduh, apa yang kamu lakukan, Bin?” suaranya berat, tapi jelas sekali—dan nyata.Aku langsung terlonjak mundur, menatapnya lebar-lebar. “Ternyata bukan hantu gunung,” ujarku lega sambil menepuk dada.Alisnya terangkat. “Kamu kira aku hantu?”“Hehe… maaf, Om,” jawabku kikuk, mencoba menahan tawa.Saat Om Kais menarik pelan lenganku, refleks aku melepaskan genggamannya dan mundur selangkah.Kedua kakiku menghentak-hentak ke tanah, wajahku meringis.Dia menatap curiga. “Kenapa, Bin?”Aku menggigit bibir, lalu berbisik cepat, “Aku tadi mau pipis.”“Astaga, Binar. Gadis macam apa kamu ini!” seru Om Kais dengan gemas.“Aku kebelet pipis, Om,” ujarku sambil menghentak-hentakkan kaki, berusaha menahan rasa tak nyaman.Dia mendengkus pelan, lalu menatap sekeliling. Suasana sudah sepi—semua orang sudah masuk ke tenda masing-masing.“Udah, sini,” ka
Last Updated: 2025-11-03
Chapter: Pesan MisteriusApi unggun menyala di tengah lingkaran tenda. Udara dingin menusuk ke tulang, tapi suasananya terasa hangat—bukan karena api, melainkan karena tawa yang pecah di antara kami. Safa duduk di sampingku, memegang sendok dengan gaya seperti master chef. “Lihat nih, Bee. Ini mie instan rasa ayam bawang dengan topping cornet dan sosis iris. Kreasi spesial Chef Safa Gunung Edition!” katanya bangga sambil mengibaskan rambut yang sudah acak-acakan. Aku tertawa sampai hampir tersedak air putih. “Chef apaan, Sa? Setengah topping-nya aja jatuh ke tanah!” “Eh, belum lima detik! Itu namanya tambahan rasa earthy, biar lebih natural,” balasnya santai. Mas Danish yang duduk agak jauh sambil mengaduk kopi hanya menggeleng pelan. “Kalau kalian berdua ikut ekspedisi resmi, makan malamnya gak bakal kelar-kelar,” komentarnya tanpa menoleh. Safa langsung menatapku. “Dengar tuh, Bee. Mas Danish aja iri karena mie buatanku lebih menggoda dari kopinya.” Aku menahan tawa. “Iya, iya. Mie rasa debu emang sus
Last Updated: 2025-11-02
Chapter: Ekstra Part 1Apartemen Zain dan Zura di pagi hari sudah dipenuhi suara-suara yang tidak asing lagi. Alvaro yang kini berumur tiga bulan telah menjadi magnet bagi para kakek dan neneknya. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, dimulai dengan "perebutan" halus antara Opa Barra dan Kakek Ravi melawan Mami Narumi dan Amma Gista."Alvaro, lihat Opa. Opa bawain mainan baru," kata Opa Barra sambil mengeluarkan rattle berwarna-warni dari kantong belanjanya. "Ayo main sama Opa.""Eh, kemarin kan Opa udah gendong duluan," protes Mami Narumi sambil menghampiri cucu kesayangannya. "Sekarang giliran Mami."Kakek Ravi tidak mau kalah. "Alvaro, Kakek bawa boneka panda. Main sama Kakek aja ya.""Kakek Ravi, dia masih bayi," tegur Amma Gista sambil tertawa. "Belum bisa main mobil-mobilan."Alvaro yang sedang berbaring di bouncer-nya hanya menatap dengan mata bulatnya yang jernih, sesekali mengeluarkan suara "aaa" dan "ooo" seolah memahami perdebatan para orang tuanya.Zain dan Zura yang sedang sarapan di meja mak
Last Updated: 2025-07-03
Chapter: Kelahiran Putra MahkotaHari begitu cepat berlalu. Kini, di tengah malam yang sunyi, Zura mulai merasakan kontraksi yang berbeda dari sebelumnya. HPL masih satu minggu lagi, tapi sepertinya putranya ingin lahir ke dunia lebih cepat."Mas Zain," bisik Zura sambil mengguncang pelan bahu suaminya. "Aku rasa ini kontraksi yang beneran."Zain langsung terbangun dan duduk. "Serius? Seberapa sering?""Setiap sepuluh menit sekali," jawab Zura sambil menarik napas dalam-dalam saat kontraksi lain menyerang. "Udah sejam yang lalu."Zain langsung melompat dari tempat tidur dan menyalakan lampu. "Oke, kita ke rumah sakit sekarang. Tas hospital bag udah siap kan?""Udah, di sudut kamar," jawab Zura sambil mencoba berdiri. "Ahhh—" dia memegang perut saat kontraksi lain datang.Zain panik tapi berusaha tenang. Dia membantu Zura duduk kembali sambil menelpon sopir pribadi mereka."Pak Budi, tolong siapkan mobil. Istri saya mau melahirkan."Sementara menunggu, Zain menelpon Mami Narumi."Mami, maaf ganggu tengah malam. Zura m
Last Updated: 2025-07-03
Chapter: Kamar Dedek BayiZain dan Zura telah membuat kamar khusus untuk putra mereka. Kamar yang didesain sendiri oleh Zura dengan nuansa hangat berwarna cream dan coklat muda. Dinding kamar dihiasi dengan wallpaper motif awan-awan putih yang lembut, sementara di sudut ruangan terdapat rocking chair kayu berwarna natural yang akan digunakan Zura untuk menyusui nanti.Perlengkapan bayi pun telah dibeli oleh Mami Narumi, Amma Gista dan Zivanya. Ketiganya setiap hari pasti datang membawa paper bag berisi perlengkapan bayi—mulai dari baju-baju mungil, popok, mainan, hingga perlengkapan mandi khusus bayi."Zura, sayang, ini Mami belikan jumper yang lucu," kata Mami Narumi sambil mengeluarkan jumper berwarna biru muda dengan gambar gajah kecil di bagian dada."Wah, bagus sekali, Mi," Zura tersenyum sambil mengelus perutnya yang sudah semakin membesar. Usia kandungannya kini menginjak 8 bulan."Amma juga bawain ini," Amma Gista menyodorkan kotak berisi sepatu bayi yang sangat mungil. "Ini sepatu prewalker, buat nant
Last Updated: 2025-07-03
Chapter: Ya gitu deh...Zain dan Zura pergi ke rumah sakit untuk periksa kandungan. Zura menceritakan keanehan yang dialami oleh sang suami. Dengan sabar dan lembut dokter menjelaskan bahwa hal yang dialami Zain wajar."Jadi, Pak Zain mengalami couvade syndrome atau yang biasa disebut sympathetic pregnancy," jelas Dr. Siska sambil melihat catatan medis. "Ini kondisi yang cukup umum dialami oleh suami dari ibu hamil.""Tapi dokter, perut saya kok beneran buncit? Rasanya kayak ada yang bergerak-gerak," kata Zain sambil mengelus perutnya.Dr. Siska tersenyum lembut. "Pak Zain, dari hasil pemeriksaan fisik tadi, perut buncit bapak disebabkan oleh penumpukan lemak dan gas di perut. Bapak bilang sering makan tengah malam kan?""Iya, dok. Saya nggak bisa tidur kalau nggak makan dulu. Rasanya lapar terus.""Nah, itu dia. Ditambah bapak juga bilang jarang olahraga sejak Bu Zura hamil. Kombinasi makan berlebihan dan kurang gerak menyebabkan perut buncit."Zura mengangguk-angguk. "Pantas aja. Sejak saya dinyatakan hami
Last Updated: 2025-07-03
Chapter: Tasyakuran Empat BulananUsia kandungan Zura telah menginjak empat bulan. Ada acara selamatan 4 bulanan. Diadakan di kediaman utama Juhar. Mami Narumi dan Amma Gista membuat acara besar dan sangat mewah."Kak Zura, kamu tau nggak? Kak Zain udah jadi bahan obrolan seluruh keluarga," kata Zivanya sambil tertawa kecil."Kenapa emangnya?" tanya Zura sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit."Dia lebih ngidam dari kamu! Tadi pagi dia minta Mami Narumi bikinin rujak buah yang ada taburan keju parut. Siapa coba yang makan rujak pakai keju?"Zura ikut tertawa. "Jangan diketawain dong. Dia udah stress sendiri dengan kondisinya.""Tapi lucu banget sih. Kemarin Amma Gista bilang, Kak Zain telepon jam 3 pagi nanya ada nggak yang jual sate padang. Katanya lagi pengen banget.""Astaga, dia nggak cerita sama aku. Kasihan banget Amma Gista.""Nggak apa-apa. Amma malah seneng, katanya lucu punya menantu yang ikut 'hamil'. Eh, ngomong-ngomong, perut Kak Zain kok makin buncit ya?"Zura menoleh ke arah dapur dimana Zain sed
Last Updated: 2025-07-03
Chapter: PapamilDua minggu setelah kabar kehamilan Zura, hal-hal aneh mulai terjadi. Bukan pada Zura—melainkan pada Zain.Pagi ini, Zain bangun dengan perasaan mual yang aneh. Dia berlari ke kamar mandi dan muntah, tepat seperti yang dialami Zura minggu lalu. Zura yang sedang menyiapkan sarapan mendengar suara muntah dari kamar mandi."Sayang! Kamu kenapa?" tanya Zura sambil mengetuk pintu kamar mandi."Aku mual," jawab Zain lemah dari dalam kamar mandi.Zura mengerutkan kening. "Jangan-jangan kamu tertular penyakitku?"Zain keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. "Mungkin. Tapi aneh, aku nggak demam.""Udah minum obat belum? Atau mau aku buatkan teh jahe?" tawar Zura sambil menyentuh dahi Zain."Nggak usah, nanti juga hilang sendiri," kata Zain sambil berjalan ke meja makan.Tapi saat melihat nasi gudeg yang disiapkan Zura, Zain langsung menutup hidung. "Ampun, sayang. Kok baunya aneh banget sih?"Zura mencium gudegnya. "Biasa aja kok. Kemarin kamu malah minta dibuatkan gudeg.""Sekarang aku ngg
Last Updated: 2025-07-03