Zain punya segalanya, kecuali cinta. Entah mengapa, setiap pacarnya akan menyelingkuhinya! Puncaknya adalah tunangan Zain juga melakukan hal yang sama! Saat sedang frustasi, Zain teringat akan kesalahannya pada mantan kekasihnya—Aletta. Diputuskan sepihak, gadis itu pernah mendoakannya agar tak bisa bahagia dengan siapa pun! Apakah kutukan itu nyata? Lantas, bagaimana nasib Zain selanjutnya? Spin-Off 'Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya Yang Arogan'
View MoreDebu tipis menari bersama angin siang di tengah lokasi proyek pembangunan gedung perkantoran di kawasan pusat kota. Suara dentuman palu, mesin bor, dan suara keras pekerja saling bersahutan membentuk harmoni khas dunia konstruksi. Zain berdiri di dekat papan denah proyek sambil menekuk lengan. Kemeja putihnya sudah ternoda sedikit debu, tapi tak mengurangi wibawa yang terpancar dari sikap tenangnya. Dia sedang berbincang dengan salah satu site manager ketika matanya terpaku pada sosok wanita di kejauhan. Gadis itu mengenakan helm putih dan rompi safety berwarna oranye terang. Rambutnya yang diikat rapi dan langkahnya yang penuh percaya diri begitu akrab. Dan ketika sosok itu menoleh— “Zura?” ucap Zain, nyaris tanpa sadar. Zura menoleh dan matanya sedikit membulat. “Zain? Kamu ngapain di sini?” “Aku yang harusnya tanya begitu,” jawab Zain sambil menghampiri. “Kamu ngapain di tengah-tengah proyek kayak gini?” Zura terse
Ruang rapat besar Juhar Group kembali terisi oleh ketegangan. Para petinggi duduk dalam barisan formal, namun wajah-wajah mereka tampak lebih cemas daripada biasanya. Koran-koran pagi membicarakan krisis arus kas di tubuh Juhar. Saham turun sedikit, tapi cukup untuk membuat kompetitor bersorak dalam diam. Zain berdiri di depan layar proyektor. Kali ini tanpa suara tinggi Papi Barra. Tanpa tekanan apapun—kecuali dari dalam dirinya sendiri. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu kepercayaan pada perusahaan ini sedikit terguncang,” suara Zain terdengar tenang. “Tapi ini bukan pertama kalinya kita menghadapi tantangan.” Dia melangkah pelan, menyisir pandangan ke seluruh ruangan. “Saya sudah meninjau ulang laporan dari divisi engineering, keuangan, dan legal. Dan satu hal yang paling mencolok adalah lemahnya komunikasi antar departemen selama enam bulan terakhir. Masalah kita bukan hanya soal dana, tapi soal koordinasi.” Tangan Zain menek
Zain berdiri di depan gerai kopi tua di sudut Jalan Cempaka, tangannya sibuk menutupi layar ponsel dari tetesan hujan gerimis. Hari ini benar-benar kacau. Setelah berhasil menyelamatkan wajah Juhar Group, pagi ini dia harus menelan pil pahit—perusahaan kecilnya hampir bangkrut. Investor utama mundur. Klien potensial juga menunda semua proyek. Pukulan bertubi-tubi membuatnya nyaris kehabisan napas.Dia mengangkat wajah. Aroma kopi, roti bakar, dan hujan seolah menariknya masuk ke dalam kedai yang tampak sepi itu. Sebuah pelarian kecil sebelum dia memutuskan langkah besar berikutnya.Dan di sanalah dia.Zura.Duduk di pojok ruangan, mengenakan sweater abu-abu, tangan kanannya memegang buku catatan yang penuh coretan tinta. Kepalanya sedikit tertunduk, rambutnya dikuncir asal-asalan. Tapi wajahnya damai, seperti biasa. Dunia boleh gaduh, tapi Zura seperti tidak pernah terbawa gelombang.Zain ragu beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri.“Kamu pengikut cuaca hujan juga, ya?”Zura meno
Suasana pagi ini seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Zain. Kemarin, ia tak berhasil menemukan Zura.Belum lagi, ponselnya berdering berkali-kali sejak fajar, bersamaan dengan satu notifikasi berita berhasil membuatnya kehilangan selera makan: “Proyek reklamasi Juhar Group di pesisir Selatan ditolak! Nilai kerugian diperkirakan mencapai triliunan.” Tanpa pikir panjang, dia mengambil jas dan kunci mobil, lalu meluncur menuju kantor pusat Juhar Group. Tangannya mengepal di kemudi, kepalanya penuh asumsi. “Kenapa Papi nggak bilang? Kenapa baru tahu dari media?” Sampai di gedung Juhar, dia tak peduli pada resepsionis yang mencoba menahannya. “Maaf, Pak Zain, direksi sedang rapat tertutup!” “Tertutup kepala kamu,” gumam Zain. Dia melangkah cepat. Setiap langkahnya penuh desakan emosi. Tangannya mendorong pintu ruang rapat besar, membuat semua kepala di ruangan sontak menoleh. Papi Barra ada di sana, duduk di tengah deretan direksi. Wajahnya lelah, matanya merah. Tapi sorot mata
Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran. Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Be
Pagi di proyek Bekasi terasa panas meski matahari baru naik sepenggalah. Zain turun dari mobil dengan langkah cepat, sepatu boots-nya langsung disambut tanah berdebu dan aroma semen. Dia langsung mencari kepala tukang. “Pak Rano mana?” tanyanya pada salah satu pekerja. “Di belakang, Pak, lagi cek plesteran,” jawab pria itu dengan suara tergesa. Zain melangkah cepat, menyibak papan-papan triplek dan menyapa para tukang yang bekerja setengah mengantuk. Begitu menemukan Pak Rano, Zain tak langsung marah, tapi nada suaranya tegas. “Kenapa progres lambat? Klien sudah mengeluh. Minggu ini harus ada lompatan signifikan atau kita kehilangan proyek.” Pak Rano, pria setengah baya dengan wajah lelah, menghela napas. “Pak, tukang kita kurang. Yang biasanya ngerjain bagian atas, malah cuti mendadak. Belum lagi bahan baru datang kemarin sore. Nunggu itu bikin kerja mandek dua hari.” Zain mengangguk. “Oke, saya akan kirim tambahan tukang dari proyek lain. Tapi tolong jaga tempo kerja. Jangan n
Langit siang terasa berat, meski mentari bersinar penuh di atas kepala. Udara kota Jakarta yang padat tak membuat semangat Zain naik sedikit pun. Tangannya menggenggam laporan keuangan dengan wajah muram. Kantor kecil yang dia sewa di bilangan Cipete mendadak terasa sesak, seolah semua beban dunia bertumpuk di atas pundaknya.“Mas Zain,” panggil Niko, asisten merangkap staf keuangan yang setia menemaninya sejak awal membangun usaha ini. “Vendor material dari Bekasi nelpon lagi. Mereka ancam mau stop pengiriman kalau belum ada pembayaran minggu ini.”Zain menghela napas pelan. “Kita udah minta tenggat waktu tambahan minggu lalu, kan?”Niko mengangguk dengan canggung. “Iya, dan mereka udah kasih. Ini udah lewat tiga hari. Kita nggak bisa minta maaf terus, Mas.”Zain menatap angka-angka di laporan itu. Minus. Lagi-lagi defisit. Beberapa proyek kecil yang mereka tangani baru akan cair pembayarannya dua bulan lagi. Sementara cicilan alat berat, gaji karyawan, dan sewa kantor mengejar dari
“Lucu, ya,” ucap Zain sambil mengaduk mie-nya yang sudah mulai dingin. “Kita dipertemukan lagi di tengah situasi yang absurd.” Zura menyandarkan punggung ke kursi kayu yang mulai aus itu. “Mungkin semesta memang suka bercanda. Atau mungkin kita memang belum kelar.” Zain menatapnya. “Belum kelar?” Zura tidak langsung menjawab. Dia menatap keluar jendela, melihat hujan yang mengguyur trotoar. Ada sekilas murung di wajahnya, tapi cepat dia sembunyikan. “Aku juga kabur dari nama besar keluargaku,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak punya keberanian seperti kamu, ninggalin semuanya.” Zain mengangkat alis. “Kamu tahu soal itu?” Zura menoleh. “Tahu. Kamu nggak sadar, berita soal kamu keluar dari Juhar dua tahun lalu itu sempat viral di kalangan bisnis?” Zain mendesah. “Kupikir setelah keluar dari sana, aku bisa tenang. Ternyata tekanan lebih berat datang dari orang-orang yang harusnya paling ngerti.” “Termasuk Pak Barra?” tebak Zura tajam. Zain menatap gadis di hadapannya dengan mata
“Aku nggak butuh itu, Papi,” ucap Zain, suaranya nyaris seperti gumaman. Tapi cukup tajam untuk menusuk udara yang menegang di ruang kerja megah rumah keluarga Juhar.Papi Barra memijat pelipisnya, menahan amarah yang hampir meledak. “Kamu sudah dua tahun buang waktu dengan perusahaan kecil itu, Zain. Berapa proyek yang kamu garap? Dua? Tiga? Bandingkan dengan apa yang bisa kamu capai di sini, dengan nama Juhar di belakangmu!”Zain mendongak. Matanya tidak gentar. “Justru karena itu, Pi. Aku ingin buktiin, aku bisa tanpa nama itu.”“Kamu ini keras kepala atau bodoh?” Suara Papi Barra meninggi. “Nama besar itu bukan kutukan, itu warisan. Kamu pikir hidup ini cuma soal membuktikan ego?”Zain menghela napas. Dalam-dalam. Nyaris putus asa, tapi tetap tak ingin menyerah. “Kalau aku kembali sekarang, semua yang sudah aku bangun bakal dianggap gagal. Dan aku—akan benar-benar jadi bayangan Mami dan Papi seumur hidup.”Hening beberapa detik.Papi Barra menatap anak sulungnya dengan pandangan s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments