Zain punya segalanya, kecuali cinta. Entah mengapa, setiap pacarnya akan menyelingkuhinya! Puncaknya adalah tunangan Zain juga melakukan hal yang sama! Saat sedang frustasi, Zain teringat akan kesalahannya pada mantan kekasihnya—Aletta. Diputuskan sepihak, gadis itu pernah mendoakannya agar tak bisa bahagia dengan siapa pun! Apakah kutukan itu nyata? Lantas, bagaimana nasib Zain selanjutnya? Spin-Off 'Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya Yang Arogan'
Lihat lebih banyak"Ah... Kamu mah..."
Mendengar suara familiar, Zain membeku. Lewat celah pintu, dia dapat melihat Maretta—tunangannya—duduk di atas meja kerja. Bajunya setengah terbuka. Dan di hadapannya, seorang pria—Zain tahu betul siapa—Kepala Divisi Produksi, lelaki flamboyan yang dulu pernah dia curigai, tapi selalu ditepis Maretta dengan tawa kecil. Mereka terlalu tenggelam dalam kenikmatan untuk menyadari pintu tak sepenuhnya tertutup. Untuk menyadari tatapan lelaki yang hatinya remuk seketika. Zain menahan napas. Tapi tubuhnya menolak berpura-pura. Tangannya gemetar dan membuat kotak velvet itu terjatuh. Bros berinisial M itu meluncur ke lantai, menimbulkan bunyi kecil—namun cukup membuat Maretta menoleh. “Z-Zain?!” Bahkan, pria di hadapannya buru-buru menarik kembali resletingnya--membiarkan Maretta yang mencoba mengejar Zain. Langkah kaki Zain bergema di koridor lantai lima belas. Napasnya terengah, bukan karena lelah, tapi karena dadanya seperti ditekan batu besar. Suaranya tercekat, matanya buram oleh air yang enggan tumpah. Tangannya mengepal, menahan gemuruh amarah dan kecewa. “Zain!” suara Maretta terdengar dari belakang, tinggi, panik, pecah—membuat beberapa kepala muncul dari balik sekat kerja yang masih menyala. Beberapa karyawan yang lembur menoleh, bingung, lalu saling berbisik. “Zain, tolong dengar aku dulu—” Zain tak memperlambat langkah. Tapi Maretta berlari menyusul, menarik lengannya dari belakang, membuat tubuh Zain terhenti mendadak di dekat lift. “Apa lagi yang mau kamu jelaskan?” Zain berbisik, nyaris tak terdengar. Tapi nadanya cukup tajam untuk menusuk jantung siapa pun. “Itu bukan seperti yang kamu lihat—” Zain terkekeh sinis. Dia menatap Maretta, yang kini berurai air mata, dengan wajah setengah panik setengah tak percaya. "Oh? Jadi kamu cuma latihan buat malam pertama, gitu?" “Zain, aku khilaf. Aku salah. Tapi aku sayang kamu, aku tetap mau menikah dengan kamu.” Suara Maretta naik. Emosinya tumpah, tapi bukan penyesalan yang tulus, melainkan ketakutan kehilangan kenyamanan hidup yang telah dia bangun bersama Zain. Beberapa karyawan kini berdiri di lorong. Beberapa berusaha pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi telinga mereka menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Maretta. “Kamu sayang aku?” Zain tertawa pendek. Matanya merah. “Sayang kamu kayak gitu bentuknya? Di atas meja kerja, dengan pria lain? Di kantor tempat kamu digaji tiap bulan? Tempat aku selalu tunggu kamu pulang?” Maretta menggigit bibirnya, tubuhnya mulai gemetar. “Aku butuh perhatian, Zain. Kamu terlalu sibuk akhir-akhir ini.” “Aku sibuk karena aku menyiapkan masa depan untuk kita! Aku bahkan mau ajak kamu fitting baju pengantin hari ini!” Zain nyaris berteriak. Kotak velvet itu masih tergenggam di tangannya, remuk, basah oleh hujan dan keringat tangannya. Tangis Maretta pecah. Dia berlutut, di depan semua mata yang menyaksikan drama itu. “Aku mohon, Zain—jangan pergi. Aku mohon.” Tapi Zain hanya menatapnya kosong. Dia lalu berbalik dan menekan tombol lift. “Kamu nggak kehilangan aku, Maretta. Kamu kehilangan dirimu sendiri.” Ya, seharusnya mereka akan fitting baju pernikahan. Tapi, Maretta menghancurkan segalanya! Mengingat kejadian beberapa hari lalu, Zain memejamkan matanya. Bahkan, wajahnya yang biasa bersih kini dipenuhi bayang lelah, jenggot tipis tak tersentuh pisau cukur sejak tiga hari lalu. Tiga hari sejak berita ‘Tunangannya Terciduk’ menyebar seperti api di ilalang kering. Semua mata memandangnya seperti korban tragis. Bagaimana bisa CEO sepertinya diselingkuhi seperti itu? Dan Zain benci dikasihani! “Maaf, tempat ini sudah ada yang duduk?” Suara perempuan terdengar lembut namun tegas membuat Zain mendongak. Wajahnya lelah tapi cantik. Cantik yang tidak dibuat-buat. Mengingatkannya pada seseorang yang sayangnya tak pernah berhasil ditemukan. “Silakan,” ucap Zain pada akhirnya. Perempuan itu duduk, lalu tersenyum sopan. “Makasih. Lagi penuh semua. Padahal ini bukan jam makan siang.” Zain mengangguk sekali lagi. Dia tak berniat ngobrol. Tapi perempuan itu seolah tak peduli. “Aku Zura.” “Zain.” “Nama kita mirip ya.” Zain mengangkat alis. “Iya juga.” Untuk pertama kalinya, ada sedikit senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Zura—yang hari ini memilih menggunakan nama tengahnya—sedang dalam misi kecilnya sendiri. Dia melarikan diri dari pesta perjodohan yang diatur orang tuanya. Dia masuk ke kafe ini hanya untuk menenangkan diri dan ‘kabur’ dari settingan orang kaya. Siapa sangka dia bertemu seorang pria asing yang tidak mengenalinya sebagai putri dari pengusaha properti terkenal? “Kamu sering ke sini?” tanya Zura ringan. “Baru pertama,” jawab Zain. “Tadinya pengen ke tukang kopi pinggir jalan, tapi hujan.” Zura tertawa pelan. Tawa yang jujur. “Lucu, aku juga.” Hening sejenak. Tapi hening yang tidak membuat risih. Zain mengamati jemari Zura yang melingkari cangkir cokelat panasnya. Ada luka kecil di ruas ibu jarinya. Tidak seperti tangan perempuan-perempuan yang biasanya ditemui. “Kamu lagi sembunyi juga, ya?” Zura bertanya tiba-tiba. Zain menatapnya. “Kok tahu?” “Insting. Soalnya aku juga.” Mereka tertawa. “Zura,” Zain mengulang nama itu. “Nama yang cantik.” Zura hanya tersenyum. Nama aslinya bukan Zura. Tapi hari ini, dia ingin jadi seseorang yang berbeda. Tak apa, kan?Akad nikah digelar di gedung yang sama tempat dilangsungkannya akad nikah. Dimulai pukul 7 malam— dan sekarang baru pukul 5 sore. Masih ada waktu dua jam untuk mempelai pengantin mempersiapkan diri.Namun, tiba-tiba saja Zain mengeluh sakit kepala. Suhu tubuhnya pun tinggi. Dia demam dan membuat istrinya khawatir. Lantas, Zura pun menghubungi Mami Narumi. Dia datang untuk memeriksa keadaan putranya. Meski tak bekerja lagi di rumah sakit— tetap saja dia seorang dokter. Hasil pemeriksaannya— Zain sepertinya terkena tipes. Baru gejala dan sebaiknya langsung dibawa ke rumah sakit. “Tapi, Mi— sebentar lagi acara resepsi dimulai. Bagaimana bisa pengantinnya tak hadir?” debat Zain untuk yang kesekian kalinya. Mami Narumi mendesah kesal. Putranya memang benar— tapi, kondisinya bisa semakin parah jika memaksa menyalami ribuan tamu undangan. “Atau gini aja,” ujar Zura sambil menggenggam erat tangan sang suami. “Kita keluar sebentar ke ballroom, acara inti minta dipercepat dan setelah itu k
Cahaya chandelier kristal menerangi ruangan mewah yang dihiasi dengan rangkaian bunga putih dan emas. Aroma melati dan mawar berpadu dengan wangi dupa yang dibakar khusus untuk upacara sakral ini. Tamu undangan duduk rapi dalam balutan pakaian adat yang elegan—para pria dengan beskap atau jas tradisional, sedangkan para wanita cantik dalam kebaya dengan warna-warna lembut.Di sebelah kanan, keluarga besar Juhar duduk dengan wajah bangga dan haru. Mami Narumi mengenakan kebaya biru navy dengan bordir emas, sesekali mengusap mata yang berkaca-kaca. Di sampingnya, Papi Barra tampak gagah dalam beskap coklat, dadanya membusung penuh kebanggaan melihat putra sulungnya.Di sebelah kiri, keluarga Zura hadir lengkap. Amma Gista duduk di barisan terdepan dengan kebaya cream yang anggun, mata beliau tak lepas dari putrinya. Ayah Ravi dalam balutan jas tradisional hitam, sesekali tersenyum sambil mengangguk pada para tamu yang menyapanya. Dia sengaja menyusup pada barisan keluarga Zura untuk me
H-1: Kediaman JuharPagi yang SibukRumah keluarga Juhar dipenuhi barang-barang seserahan. Kotak-kotak berisi perhiasan, tas, dan perlengkapan seserahan lainnya memenuhi ruang tamu. Mami Narumi berlalu-lalang dengan checklist di tangannya, memastikan tidak ada yang terlewat."Zivanya, kenapa tasnya cuman satu?" tanya Mami sambil mencentang item di listnya.“Nanti siang diantar sama tokonya, Mi. Karena tas pilihan Mami limited edition jadi agak lama datangnya," jawab Zivanya sambil sibuk mengatur letak bunga hias yang kurang simetris.Di sudut ruangan, Papi Barra sedang sibuk membalas ucapan selamat dari kolega bisnisnya. "Perasaan Zain yang menikah dan masih besok. Kenapa ucapan sudah berdatangan. Terlebih Papi yang diteror ratusan pesan?""Zain mana mau balas pesan selain dari Zura," Mami tersenyum. "Ingat, besok Papi akan lebih sibuk lagi.""Astaga, pesan-pesan ini saja belum semua aku balas."Sementara di kam
Papi Barra duduk di kursi kerjanya, menatap layar ponsel dengan ragu. Nomor telepon Appa Gio sudah disimpan sejak lama, tapi baru kali ini dia akan menghubunginya setelah sekian lama tidak berkomunikasi."Demi Zura," gumamnya sambil menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara familiar menjawab dari seberang sana."Halo?""Gio, ini Barra. Barra Juhar."Hening sejenak. "Oh, Barra. Sudah lama sekali. Ada apa?"Papi Barra menarik napas dalam. "Gio, aku menelepon ingin membicarakan soal Zura. Putrimu, dia akan menikah minggu depan.""Menikah?" Suara Appa Gio terdengar terkejut. "Dengan siapa?""Dengan putraku, Zain. Mereka sudah bertunangan. Dan, kami membutuhkan kamu sebagai wali nikahnya."Hening lagi. Kali ini lebih lama."Gio, kamu masih di sana?""Iya, aku masih di sini. Tapi Barra, aku tidak bisa.""Tidak bisa kenapa?""Aku ada
Hari kelima pingitan, dan Zain sudah sampai di level desperasi yang mengkhawatirkan. Dia terbangun dengan mata bengkak—efek dari empat hari menangis sambil memeluk boneka Teddy—tapi kali ini ada kilat aneh di matanya."Aku harus ketemu Zura hari ini," gumamnya sambil membuka lemari. "Aku nggak sanggup lagi."Zain mengeluarkan kaos polo orange dan topi baseball. Dia juga mengambil tas delivery yang diberikan oleh Niko—atas permintaannya kemarin, lengkap dengan stiker aplikasi ojek online palsu yang dia buat sendiri."Perfect," dia menatap pantulan dirinya di cermin. "Siapa yang bakal curiga sama kurir makanan pesan antar?"Di dapur, Zain mengambil beberapa box makanan kosong dan memasukkan foto mereka berdua ke dalam salah satu box."Zain, mau kemana pagi-pagi begini?" Mami Narumi muncul sambil menyiapkan sarapan."Aku mau nganterin makanan ke teman, Mi."Mami Narumi melirik kostum anaknya dari atas sampai bawah. "Teman y
Pukul 06.00 WIB - Kamar ZainZain terbangun dengan mata yang langsung mencari ponselnya. Biasanya, hal pertama yang dilakukannya setelah bangun adalah mengirim pesan "Selamat pagi, Cantik" ke Zura. Tapi kali ini, jarinya terhenti di atas layar."Pingitan," gumamnya sambil menatap langit-langit kamar. "Hari pertama dari tujuh hari penyiksaan."Dia bangkit dari kasur, berjalan ke jendela, dan menatap arah luar. "Zura, kamu udah bangun belum ya?"Pukul 07.30 WIB - Meja Makan"Selamat pagi, Nak," sapa Mami Narumi sambil menyiapkan sarapan.Zain duduk dengan wajah kusut, rambut acak-acakan, dan mata yang masih sembab. "Pagi, Mi. Aku nggak lapar.""Zain, kamu harus sarapan. Jangan sampai sakit gara-gara drama pingitan," Papi Barra duduk di sebelahnya."Aku nggak drama, Pi. Aku cuma kehilangan nafsu makan karena kehilangan separuh jiwaku."Zivanya yang sedang makan roti bakar hampir tersedak. "Kakak, baru satu hari. Masih ada enam hari lagi."Zain menatap adiknya dengan tatapan kosong. "Enam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen