Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran.
Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Beberapa menit kemudian, firasat itu terbukti. Dia melihat dari jauh bagaimana raut wajah Papi mengeras. Adrian tampak berkata sesuatu terlalu dekat, dengan nada mengejek. Lalu gestur tangannya—menepuk bahu Papi Barra terlalu keras, terlalu sengaja. Orang-orang di sekitar mulai melirik. Beberapa pura-pura sibuk dengan hors d’oeuvres, tapi ketegangan kecil itu sudah seperti percikan api di ruangan penuh bensin. Tanpa pikir panjang, Zain melangkah cepat. “Permisi,” ujarnya sambil memotong percakapan mereka. Papi Barra menoleh, agak kaget. Adrian juga—senyumnya melebar seperti menemukan mangsa baru. “Zain Virendra Juhar,” katanya dengan nada mengejek. “Wah, saya dengar kamu sekarang main di proyek kecil-kecilan ya? Luar biasa, benar-benar merakyat.” Zain tersenyum tipis. “Betul, Pak Adrian. Tapi lebih luar biasa lagi bisa bertahan tanpa perlu sogokan proyek rumah sakit, ya kan?” Beberapa tamu di dekat mereka terbatuk, pura-pura kaget. Tapi tak sedikit yang menahan senyum. Adrian jelas tak suka diserang balik. “Jaga bicaramu, anak muda,” katanya menahan amarah. “Dan jaga sikap Anda, Pak,” sahut Zain datar. “Ini acara ulang tahun perusahaan, bukan pasar malam. Kalau niatnya datang cuma buat menghina tuan rumah, pintu keluar masih terbuka lebar.” Papi Barra menatap Zain lama. Wajahnya sulit ditebak—antara kagum atau jengkel karena anaknya terlalu berani. Adrian mengepalkan tangan, tapi menahan diri. Dia tersenyum paksa, lalu mundur perlahan, membalikkan badan dan pergi dengan langkah berat. Begitu sosok itu menghilang di antara kerumunan, Papi Barra melipat tangan di depan dada. “Kamu nggak berubah ya. Tetap suka sok heroik.” Zain menatap Papi. “Dia kurang ajar, Pi. Kita punya beda cara, tapi aku nggak akan diam lihat nama keluarga kita diinjak.” Papi Barra diam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Terima kasih,” katanya, pelan tapi cukup jelas. Itu satu kata yang sangat jarang keluar dari mulut Papi. Malam ini, sejak bertahun-tahun, Zain merasa dirinya kembali diakui, meski tak sepenuhnya. Dia berjalan pelan ke balkon ballroom, menarik napas dalam-dalam. Dari kejauhan, kota tampak berkilauan. Dunia bisnis tetap kejam, tetap penuh intrik, tapi malam ini, dia tahu—dia masih berdiri. Dan untuk itu, dia patut bangga. Zain mencoba menikmati udara malam, saat suara langkah sepatu hak tinggi mendekat. Dia menoleh, sedikit terkejut. “Zura?” gumamnya. Gadis itu tampil berbeda malam ini. Gaun biru tua dengan potongan simpel namun elegan, rambut digelung setengah, dan anting kecil yang berayun lembut tiap kali dia bergerak. Tapi bukan itu yang membuat Zain terdiam—melainkan tatapan Zura yang sama terkejutnya. “Zain?” dia menatap sekeliling. “Aku pikir kamu udah pulang.” Zain mengangguk, menyandarkan punggung ke pagar balkon. “Tadinya iya, tapi ternyata susah pulang kalau pikiran belum ikut pulang.” Zura tersenyum tipis, lalu berdiri di sampingnya, memandang langit malam. “Aku juga nggak nyangka bakal diundang ke acara sebesar ini.” “Teman keluarga?” tanya Zain. Zura mengangguk. “Iya. Amma dan Baba kenal dekat dengan orang tuamu.” Hening sejenak. Angin malam meniup lembut anak rambut Zura. “Aku senang kamu datang,” kata Zain tiba-tiba. Zura menoleh, keningnya berkerut. “Kenapa?” Zain mengangkat bahu. “Entahlah. Kayaknya, kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku merasa normal, di tengah semua kemewahan ini.” Zura tertawa kecil. “Padahal aku merasa sebaliknya. Aku ngerasa kayak tamu nyasar.” Zain ikut tertawa. Suasana mulai mencair—sampai terdengar suara dari arah pintu balkon. “Zain?” Suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Perlahan dia menoleh. Maretta. Dengan gaun merah menyala dan riasan yang dibuat sempurna, wanita itu berdiri seperti hantu dari masa lalu yang menolak pergi. “Oh,” ucap Maretta pelan, matanya berpindah ke Zura. “Kamu sekarang suka yang sederhana, ya?” Nada sinis itu tak terlewatkan. Zura menahan napas. Dia bersiap pamit, tapi Zain mendahuluinya. “Maretta, jangan mulai,” ucap Zain tegas. Maretta menyeringai. “Aku cuma menyapa. Salah?” Zura menyelipkan tas kecil ke bahunya. “Sepertinya aku ganggu. Aku pamit dulu, Zain.” Zain menoleh cepat. “Zura, tunggu—” Tapi gadis itu sudah melangkah cepat masuk ke ruangan. Maretta menyeringai puas. Zain berbalik, menatap wanita yang dulu hampir jadi istrinya. “Kamu nggak pernah berubah ya.” “Dan kamu ternyata cepat berpindah hati,” balas Maretta, nadanya tajam. “Baru juga batal menikah, sudah gandeng perempuan baru?” “Dia bukan urusan kamu.” Maretta mendekat, menatap tajam. “Kamu pikir kamu bisa terus lari dari semua ini? Nama kamu tetap Zain Virendra Juhar. Dan cepat atau lambat, kamu tetap akan kembali ke jalur yang ditentukan.” Zain menatap mantan tunangannya lama, sebelum menjawab, “Kalau kamu ke sini cuma buat nostalgia, sayang sekali, aku sudah tidak punya kenangan yang bisa dibagi.” Dia membalikkan badan, meninggalkan Maretta sendirian di balkon yang dingin. Di antara riuh pesta dan musik yang kembali mengalun, Zain menatap ke kerumunan, mencari sosok Zura!Acara resepsi pernikahan Zura dan Zain digelar mewah dan meriah. Ratusan tamu undangan telah memenuhi ballroom ketika pasangan pengantin baru itu bersiap turun.Keduanya kini sedang berada di dalam lift— sebentar lagi akan membuat para tamu terpukau. Sayangnya, pengantin pria tumbang. Gara-gara setiap hari lembur di kantor. Alasannya ingin menyelesaikan pekerjaan agar bisa honeymoon dengan tenang. Zain masih terlihat pucat namun panasnya sudah turun. Meski masih demam tapi suhu tubuhnya tidak tinggi seperti tadi sore. Saat lift terbuka, keduanya telah ditunggu oleh Zivanya dan diarahkan menuju ke ballroom."Kamu yakin kuat?" bisik Zura sambil menggenggam tangan suaminya yang masih terasa hangat.Zain mengangguk pelan, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Untuk kamu, aku pasti kuat."Zivanya segera mengecek penampilan keduanya sekali lagi. Make-up artist dengan cekatan memperbaiki riasan Zain yang sedikit luntur karena keringat demam. Sementara itu, Zura tetap terlihat sempurna dala
Akad nikah digelar di gedung yang sama tempat dilangsungkannya akad nikah. Dimulai pukul 7 malam— dan sekarang baru pukul 5 sore. Masih ada waktu dua jam untuk mempelai pengantin mempersiapkan diri.Namun, tiba-tiba saja Zain mengeluh sakit kepala. Suhu tubuhnya pun tinggi. Dia demam dan membuat istrinya khawatir. Lantas, Zura pun menghubungi Mami Narumi. Dia datang untuk memeriksa keadaan putranya. Meski tak bekerja lagi di rumah sakit— tetap saja dia seorang dokter. Hasil pemeriksaannya— Zain sepertinya terkena tipes. Baru gejala dan sebaiknya langsung dibawa ke rumah sakit. “Tapi, Mi— sebentar lagi acara resepsi dimulai. Bagaimana bisa pengantinnya tak hadir?” debat Zain untuk yang kesekian kalinya. Mami Narumi mendesah kesal. Putranya memang benar— tapi, kondisinya bisa semakin parah jika memaksa menyalami ribuan tamu undangan. “Atau gini aja,” ujar Zura sambil menggenggam erat tangan sang suami. “Kita keluar sebentar ke ballroom, acara inti minta dipercepat dan setelah itu k
Cahaya chandelier kristal menerangi ruangan mewah yang dihiasi dengan rangkaian bunga putih dan emas. Aroma melati dan mawar berpadu dengan wangi dupa yang dibakar khusus untuk upacara sakral ini. Tamu undangan duduk rapi dalam balutan pakaian adat yang elegan—para pria dengan beskap atau jas tradisional, sedangkan para wanita cantik dalam kebaya dengan warna-warna lembut.Di sebelah kanan, keluarga besar Juhar duduk dengan wajah bangga dan haru. Mami Narumi mengenakan kebaya biru navy dengan bordir emas, sesekali mengusap mata yang berkaca-kaca. Di sampingnya, Papi Barra tampak gagah dalam beskap coklat, dadanya membusung penuh kebanggaan melihat putra sulungnya.Di sebelah kiri, keluarga Zura hadir lengkap. Amma Gista duduk di barisan terdepan dengan kebaya cream yang anggun, mata beliau tak lepas dari putrinya. Ayah Ravi dalam balutan jas tradisional hitam, sesekali tersenyum sambil mengangguk pada para tamu yang menyapanya. Dia sengaja menyusup pada barisan keluarga Zura untuk me
H-1: Kediaman JuharPagi yang SibukRumah keluarga Juhar dipenuhi barang-barang seserahan. Kotak-kotak berisi perhiasan, tas, dan perlengkapan seserahan lainnya memenuhi ruang tamu. Mami Narumi berlalu-lalang dengan checklist di tangannya, memastikan tidak ada yang terlewat."Zivanya, kenapa tasnya cuman satu?" tanya Mami sambil mencentang item di listnya.“Nanti siang diantar sama tokonya, Mi. Karena tas pilihan Mami limited edition jadi agak lama datangnya," jawab Zivanya sambil sibuk mengatur letak bunga hias yang kurang simetris.Di sudut ruangan, Papi Barra sedang sibuk membalas ucapan selamat dari kolega bisnisnya. "Perasaan Zain yang menikah dan masih besok. Kenapa ucapan sudah berdatangan. Terlebih Papi yang diteror ratusan pesan?""Zain mana mau balas pesan selain dari Zura," Mami tersenyum. "Ingat, besok Papi akan lebih sibuk lagi.""Astaga, pesan-pesan ini saja belum semua aku balas."Sementara di kam
Papi Barra duduk di kursi kerjanya, menatap layar ponsel dengan ragu. Nomor telepon Appa Gio sudah disimpan sejak lama, tapi baru kali ini dia akan menghubunginya setelah sekian lama tidak berkomunikasi."Demi Zura," gumamnya sambil menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara familiar menjawab dari seberang sana."Halo?""Gio, ini Barra. Barra Juhar."Hening sejenak. "Oh, Barra. Sudah lama sekali. Ada apa?"Papi Barra menarik napas dalam. "Gio, aku menelepon ingin membicarakan soal Zura. Putrimu, dia akan menikah minggu depan.""Menikah?" Suara Appa Gio terdengar terkejut. "Dengan siapa?""Dengan putraku, Zain. Mereka sudah bertunangan. Dan, kami membutuhkan kamu sebagai wali nikahnya."Hening lagi. Kali ini lebih lama."Gio, kamu masih di sana?""Iya, aku masih di sini. Tapi Barra, aku tidak bisa.""Tidak bisa kenapa?""Aku ada
Hari kelima pingitan, dan Zain sudah sampai di level desperasi yang mengkhawatirkan. Dia terbangun dengan mata bengkak—efek dari empat hari menangis sambil memeluk boneka Teddy—tapi kali ini ada kilat aneh di matanya."Aku harus ketemu Zura hari ini," gumamnya sambil membuka lemari. "Aku nggak sanggup lagi."Zain mengeluarkan kaos polo orange dan topi baseball. Dia juga mengambil tas delivery yang diberikan oleh Niko—atas permintaannya kemarin, lengkap dengan stiker aplikasi ojek online palsu yang dia buat sendiri."Perfect," dia menatap pantulan dirinya di cermin. "Siapa yang bakal curiga sama kurir makanan pesan antar?"Di dapur, Zain mengambil beberapa box makanan kosong dan memasukkan foto mereka berdua ke dalam salah satu box."Zain, mau kemana pagi-pagi begini?" Mami Narumi muncul sambil menyiapkan sarapan."Aku mau nganterin makanan ke teman, Mi."Mami Narumi melirik kostum anaknya dari atas sampai bawah. "Teman y