Beranda / Romansa / Kutukan Mantan Terindah / Di Balik Sorot Lampu

Share

Di Balik Sorot Lampu

Penulis: Syamwiek
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-24 16:52:15

Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran.

Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam.

Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit.

Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk.

Beberapa menit kemudian, firasat itu terbukti. Dia melihat dari jauh bagaimana raut wajah Papi mengeras. Adrian tampak berkata sesuatu terlalu dekat, dengan nada mengejek. Lalu gestur tangannya—menepuk bahu Papi Barra terlalu keras, terlalu sengaja.

Orang-orang di sekitar mulai melirik. Beberapa pura-pura sibuk dengan hors d’oeuvres, tapi ketegangan kecil itu sudah seperti percikan api di ruangan penuh bensin.

Tanpa pikir panjang, Zain melangkah cepat.

“Permisi,” ujarnya sambil memotong percakapan mereka.

Papi Barra menoleh, agak kaget. Adrian juga—senyumnya melebar seperti menemukan mangsa baru.

“Zain Virendra Juhar,” katanya dengan nada mengejek. “Wah, saya dengar kamu sekarang main di proyek kecil-kecilan ya? Luar biasa, benar-benar merakyat.”

Zain tersenyum tipis. “Betul, Pak Adrian. Tapi lebih luar biasa lagi bisa bertahan tanpa perlu sogokan proyek rumah sakit, ya kan?”

Beberapa tamu di dekat mereka terbatuk, pura-pura kaget. Tapi tak sedikit yang menahan senyum. Adrian jelas tak suka diserang balik.

“Jaga bicaramu, anak muda,” katanya menahan amarah.

“Dan jaga sikap Anda, Pak,” sahut Zain datar. “Ini acara ulang tahun perusahaan, bukan pasar malam. Kalau niatnya datang cuma buat menghina tuan rumah, pintu keluar masih terbuka lebar.”

Papi Barra menatap Zain lama. Wajahnya sulit ditebak—antara kagum atau jengkel karena anaknya terlalu berani.

Adrian mengepalkan tangan, tapi menahan diri. Dia tersenyum paksa, lalu mundur perlahan, membalikkan badan dan pergi dengan langkah berat.

Begitu sosok itu menghilang di antara kerumunan, Papi Barra melipat tangan di depan dada.

“Kamu nggak berubah ya. Tetap suka sok heroik.”

Zain menatap Papi. “Dia kurang ajar, Pi. Kita punya beda cara, tapi aku nggak akan diam lihat nama keluarga kita diinjak.”

Papi Barra diam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Terima kasih,” katanya, pelan tapi cukup jelas.

Itu satu kata yang sangat jarang keluar dari mulut Papi.

Malam ini, sejak bertahun-tahun, Zain merasa dirinya kembali diakui, meski tak sepenuhnya.

Dia berjalan pelan ke balkon ballroom, menarik napas dalam-dalam. Dari kejauhan, kota tampak berkilauan. Dunia bisnis tetap kejam, tetap penuh intrik, tapi malam ini, dia tahu—dia masih berdiri. Dan untuk itu, dia patut bangga.

Zain mencoba menikmati udara malam, saat suara langkah sepatu hak tinggi mendekat. Dia menoleh, sedikit terkejut.

“Zura?” gumamnya.

Gadis itu tampil berbeda malam ini. Gaun biru tua dengan potongan simpel namun elegan, rambut digelung setengah, dan anting kecil yang berayun lembut tiap kali dia bergerak. Tapi bukan itu yang membuat Zain terdiam—melainkan tatapan Zura yang sama terkejutnya.

“Zain?” dia menatap sekeliling. “Aku pikir kamu udah pulang.”

Zain mengangguk, menyandarkan punggung ke pagar balkon. “Tadinya iya, tapi ternyata susah pulang kalau pikiran belum ikut pulang.”

Zura tersenyum tipis, lalu berdiri di sampingnya, memandang langit malam. “Aku juga nggak nyangka bakal diundang ke acara sebesar ini.”

“Teman keluarga?” tanya Zain.

Zura mengangguk. “Iya. Amma dan Baba kenal dekat dengan orang tuamu.”

Hening sejenak. Angin malam meniup lembut anak rambut Zura.

“Aku senang kamu datang,” kata Zain tiba-tiba.

Zura menoleh, keningnya berkerut. “Kenapa?”

Zain mengangkat bahu. “Entahlah. Kayaknya, kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku merasa normal, di tengah semua kemewahan ini.”

Zura tertawa kecil. “Padahal aku merasa sebaliknya. Aku ngerasa kayak tamu nyasar.”

Zain ikut tertawa. Suasana mulai mencair—sampai terdengar suara dari arah pintu balkon.

“Zain?”

Suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Perlahan dia menoleh.

Maretta.

Dengan gaun merah menyala dan riasan yang dibuat sempurna, wanita itu berdiri seperti hantu dari masa lalu yang menolak pergi.

“Oh,” ucap Maretta pelan, matanya berpindah ke Zura. “Kamu sekarang suka yang sederhana, ya?”

Nada sinis itu tak terlewatkan.

Zura menahan napas. Dia bersiap pamit, tapi Zain mendahuluinya.

“Maretta, jangan mulai,” ucap Zain tegas.

Maretta menyeringai. “Aku cuma menyapa. Salah?”

Zura menyelipkan tas kecil ke bahunya. “Sepertinya aku ganggu. Aku pamit dulu, Zain.”

Zain menoleh cepat. “Zura, tunggu—”

Tapi gadis itu sudah melangkah cepat masuk ke ruangan.

Maretta menyeringai puas.

Zain berbalik, menatap wanita yang dulu hampir jadi istrinya. “Kamu nggak pernah berubah ya.”

“Dan kamu ternyata cepat berpindah hati,” balas Maretta, nadanya tajam. “Baru juga batal menikah, sudah gandeng perempuan baru?”

“Dia bukan urusan kamu.”

Maretta mendekat, menatap tajam. “Kamu pikir kamu bisa terus lari dari semua ini? Nama kamu tetap Zain Virendra Juhar. Dan cepat atau lambat, kamu tetap akan kembali ke jalur yang ditentukan.”

Zain menatap mantan tunangannya lama, sebelum menjawab, “Kalau kamu ke sini cuma buat nostalgia, sayang sekali, aku sudah tidak punya kenangan yang bisa dibagi.”

Dia membalikkan badan, meninggalkan Maretta sendirian di balkon yang dingin.

Di antara riuh pesta dan musik yang kembali mengalun, Zain menatap ke kerumunan, mencari sosok Zura!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
Ovy Mamanya Arum
yaelah Barra di bela anak sendiri ko malah merasa kl zain itu sok jd pahlawan sh, biar bagaimanapun zain jg ga mau x liat keluarganya di hina gtu. maretta kmu masih punya muka buat ngedeketin zain lg? dah gtu pke ngatain zain pula
goodnovel comment avatar
Ovy Mamanya Arum
eh jangan" ini si Adrian yg mengacaukan proyek zain ya. secara dia ga ingin anaknya Barra buat berhasil kayaknya. ngomong" si Adrian ngomong apaan ke Barra ko kayanya dia bgtu marah
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
hahaha gamon ya martta sampe segitunya ngga rela zain deket sama yg baru ehh tapi ngga baru deh kayaknya zura, hanya zain lupa aja kayaknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kutukan Mantan Terindah   Titik Nol

    Ruang rapat tampak dingin, meski suhu ruangan pas. Bukan karena AC, tapi karena suasananya yang tegang. Beberapa staf dan manajer proyek duduk tegak, sebagian menghindari tatapan Zain yang berdiri di ujung meja.“Terima kasih sudah hadir,” suara Zain terdengar tenang tapi berlapis baja. “Kita langsung ke pokok masalah: proyek Altavira Tower. Audit internal menemukan sejumlah kejanggalan laporan keuangan dan progres kerja.”Semua menoleh ke layar. Zain menekan remote, menampilkan grafik perbandingan antara dana yang keluar dan kemajuan di lapangan. Ada gap besar—terlalu besar.“Saya ulangi pertanyaannya yang sudah saya kirim sejak kemarin,” lanjutnya. “Siapa yang menyetujui pembelian material tiga kali lipat harga pasaran?”Sunyi.Wajah Zain tak berubah. “Pak Roni?”Manajer lapangan, Pak Roni, menelan ludah. “Itu vendor pilihan divisi logistik, Pak Zain. Kami cuma eksekusi.”“Kalau begitu, kepala logistik mana?”

  • Kutukan Mantan Terindah   Jarak yang Menghilang

    Kedai Kopi Tua di Sudut KotaPukul 18.45 WIBAroma kopi arabika dan kayu manis menyambut Zain ketika dia membuka pintu. Suasana kedai kecil itu hangat dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk proyek dan tekanan keluarga. Di salah satu sudut dekat jendela, duduk seorang perempuan dengan rambut dikuncir rendah, menunduk menatap laptopnya.Zura.Zain berjalan mendekat, mengetuk meja pelan. “Sudah pesan?”Zura mengangkat kepala dan tersenyum kecil. “Sudah. Aku pesankan es kopi hitam buat kamu.”Zain duduk di seberangnya, meletakkan map kerja di kursi sebelah. “Kamu mulai hafal, ya?”“Kamu terlalu gampang ditebak, Zain.”Zain tertawa lirih. “Gitu ya?”Zura menutup laptopnya. “Tapi aku heran, kamu ngajak ketemu bukan di kantor atau site project. Aneh.”“Aku cuma—pengen ngobrol. Bukan sebagai project manager dan desain interior. Tapi sebagai Zain dan Zura.”Zura diam sejenak. Lalu mengangguk. “Baiklah. T

  • Kutukan Mantan Terindah   Di Balik Pilar Altavira

    Altavira Tower – Proyek Juhar Group Langit Jakarta belum sepenuhnya cerah ketika Zain tiba di lokasi proyek Altavira Tower. Angin pagi membawa aroma semen basah dan suara bising alat berat yang sudah mulai bekerja. Helm proyek telah terpasang di kepalanya, rompi kuning mencolok membalut tubuh tegapnya. Niko, sang asisten, menyusul dengan map dokumen di tangan. “Mas Zain, ini dokumen deviasi anggaran bulan lalu. Ada dua vendor yang belum kasih laporan lengkap.” Zain menerima map itu tanpa berkata apa-apa, matanya menelusuri setiap sisi proyek megah yang pernah digadang-gadang sebagai “permata masa depan Juhar Group.” Tapi dibalik kemegahannya, ada rasa ganjil yang terus mengusik. “Yang aneh,” lanjut Niko, “Vendor interior sempat ganti subkontraktor tanpa pemberitahuan. Dan progres pekerjaan di lantai 12–15 sangat lambat dibanding lantai lainnya.” Zain mengangguk. “Aku mau lihat langsung ke atas. Siapkan safety harness, kita naik ke la

  • Kutukan Mantan Terindah   Jejak dalam Kabut

    Di ruang rapat lantai dua gedung Juhar Group, Zain berdiri menghadap papan presentasi digital yang memuat jadwal proyek “Altavira Tower”, salah satu proyek prestisius perusahaan yang selama enam bulan terakhir justru berubah menjadi beban besar. Anggaran membengkak, kontraktor mundur, dan progres hanya berjalan tiga puluh persen. "Site engineer-nya mundur tiga minggu lalu. Project manager-nya malah cuti mendadak dan belum kembali," lapor Niko yang duduk di ujung meja, membuka catatan di tabletnya. “Dan—ada indikasi beberapa vendor fiktif yang disisipkan sejak awal tender.” Zain menarik napas pelan. “Berarti ada permainan kotor di dalam,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Semua kepala di ruangan diam. Beberapa menunduk, yang lain pura-pura sibuk melihat berkas. Zain mengalihkan pandangan. “Bu Retno, saya minta data lengkap semua transaksi keluar masuk untuk proyek Altavira sejak awal penandatanganan. Hari ini.” Wanita setengah

  • Kutukan Mantan Terindah   Pertemuan di Lantai Beton

    Debu tipis menari bersama angin siang di tengah lokasi proyek pembangunan gedung perkantoran di kawasan pusat kota. Suara dentuman palu, mesin bor, dan suara keras pekerja saling bersahutan membentuk harmoni khas dunia konstruksi. Zain berdiri di dekat papan denah proyek sambil menekuk lengan. Kemeja putihnya sudah ternoda sedikit debu, tapi tak mengurangi wibawa yang terpancar dari sikap tenangnya. Dia sedang berbincang dengan salah satu site manager ketika matanya terpaku pada sosok wanita di kejauhan. Gadis itu mengenakan helm putih dan rompi safety berwarna oranye terang. Rambutnya yang diikat rapi dan langkahnya yang penuh percaya diri begitu akrab. Dan ketika sosok itu menoleh— “Zura?” ucap Zain, nyaris tanpa sadar. Zura menoleh dan matanya sedikit membulat. “Zain? Kamu ngapain di sini?” “Aku yang harusnya tanya begitu,” jawab Zain sambil menghampiri. “Kamu ngapain di tengah-tengah proyek kayak gini?” Zura terse

  • Kutukan Mantan Terindah   Langkah Kedua

    Ruang rapat besar Juhar Group kembali terisi oleh ketegangan. Para petinggi duduk dalam barisan formal, namun wajah-wajah mereka tampak lebih cemas daripada biasanya. Koran-koran pagi membicarakan krisis arus kas di tubuh Juhar. Saham turun sedikit, tapi cukup untuk membuat kompetitor bersorak dalam diam. Zain berdiri di depan layar proyektor. Kali ini tanpa suara tinggi Papi Barra. Tanpa tekanan apapun—kecuali dari dalam dirinya sendiri. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu kepercayaan pada perusahaan ini sedikit terguncang,” suara Zain terdengar tenang. “Tapi ini bukan pertama kalinya kita menghadapi tantangan.” Dia melangkah pelan, menyisir pandangan ke seluruh ruangan. “Saya sudah meninjau ulang laporan dari divisi engineering, keuangan, dan legal. Dan satu hal yang paling mencolok adalah lemahnya komunikasi antar departemen selama enam bulan terakhir. Masalah kita bukan hanya soal dana, tapi soal koordinasi.” Tangan Zain menek

  • Kutukan Mantan Terindah   Hujan di Tengah Kota

    Zain berdiri di depan gerai kopi tua di sudut Jalan Cempaka, tangannya sibuk menutupi layar ponsel dari tetesan hujan gerimis. Hari ini benar-benar kacau. Setelah berhasil menyelamatkan wajah Juhar Group, pagi ini dia harus menelan pil pahit—perusahaan kecilnya hampir bangkrut. Investor utama mundur. Klien potensial juga menunda semua proyek. Pukulan bertubi-tubi membuatnya nyaris kehabisan napas.Dia mengangkat wajah. Aroma kopi, roti bakar, dan hujan seolah menariknya masuk ke dalam kedai yang tampak sepi itu. Sebuah pelarian kecil sebelum dia memutuskan langkah besar berikutnya.Dan di sanalah dia.Zura.Duduk di pojok ruangan, mengenakan sweater abu-abu, tangan kanannya memegang buku catatan yang penuh coretan tinta. Kepalanya sedikit tertunduk, rambutnya dikuncir asal-asalan. Tapi wajahnya damai, seperti biasa. Dunia boleh gaduh, tapi Zura seperti tidak pernah terbawa gelombang.Zain ragu beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri.“Kamu pengikut cuaca hujan juga, ya?”Zura meno

  • Kutukan Mantan Terindah   Guncangan Tak Terduga

    Suasana pagi ini seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Zain. Kemarin, ia tak berhasil menemukan Zura.Belum lagi, ponselnya berdering berkali-kali sejak fajar, bersamaan dengan satu notifikasi berita berhasil membuatnya kehilangan selera makan: “Proyek reklamasi Juhar Group di pesisir Selatan ditolak! Nilai kerugian diperkirakan mencapai triliunan.” Tanpa pikir panjang, dia mengambil jas dan kunci mobil, lalu meluncur menuju kantor pusat Juhar Group. Tangannya mengepal di kemudi, kepalanya penuh asumsi. “Kenapa Papi nggak bilang? Kenapa baru tahu dari media?” Sampai di gedung Juhar, dia tak peduli pada resepsionis yang mencoba menahannya. “Maaf, Pak Zain, direksi sedang rapat tertutup!” “Tertutup kepala kamu,” gumam Zain. Dia melangkah cepat. Setiap langkahnya penuh desakan emosi. Tangannya mendorong pintu ruang rapat besar, membuat semua kepala di ruangan sontak menoleh. Papi Barra ada di sana, duduk di tengah deretan direksi. Wajahnya lelah, matanya merah. Tapi sorot mata

  • Kutukan Mantan Terindah   Di Balik Sorot Lampu

    Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran. Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Be

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status