Search
Library
Home / Rumah Tangga / Long Distance Marriage (Ketika Istri Kesepian) / Bab 7. Aduan bohong

Bab 7. Aduan bohong

Author: RatuNna Kania
2024-12-19 08:22:20

Malam harinya sekitar pukul sembilan, Fani menggedor pintu rumah mertuanya. Tadi saat dia pulang, Giselle dan Nur tak ada di rumah. Jadi feeling-nya berkata bahwa mereka pasti ada di rumah sang mertua. Dia pun mau tak mau harus kesana menyusul Gisel.

Fani mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan sedikit kencang, karena terdengar suara siaran tv sampai di halaman. Kalau pelan, tentu tidak akan terdengar.

Putri bangkit dan membuka pintu, tanpa aba-aba langsung saja menyemprot kakak iparnya. “Kamu dari mana aja sih, Mbak? Dari sore anakmu nangis terus kehabisan susu. Kamu ditelepon nggak bisa. Tiba-tiba nomornya nggak aktif. Katanya cuma pergi sebentar, tapi jam segini baru pulang. Lupa kamu sama anak?”

“Put, apaan sih? Kok jadi marah-marah gini ke aku. Aku kan titip Giselle sama Bu Nur tadi, kenapa dia bisa ada di sini? Lagian juga aku kasih duit lebih buat upah Bu Nur momong Giselle! Udah ah, aku nggak mau debat. Mana Giselle?” tanya Fani dengan wajah angkuhnya.

“Bisa-bisanya kamu nggak ngerasa salah! Bukannya minta maaf, malah nyolot! Kamu nggak ada bilang pergi sampai malam! Bu Nur itu kerja cuma sampai sore dan tugasnya hanya bersih-bersih rumah. Oh iya satu lagi, nggak usah sombong bilang kasih upah lebih kalau gaji pokok Bu Nur aja udah lewat tiga hari nggak kamu kasih!” balas Putri dengan sengit.

Wajah Fani seketika berubah pias, dia tak menyangka bahwa Bu Nur akan cerita dan mengadu semuanya. Wanita itu melengos karena apa yang dikatakan oleh adik iparnya adalah fakta. Awalnya Fani memang kehabisan uang cash, dia malas pergi ke ATM hingga kelupaan sampai sekarang.

“Aku lupa ambil duit di ATM. Kamu kalau nggak ngerti apa-apa mending diem deh. Heran banget sukanya ikut campur!”

“Heh dengerin ya! Aku nggak akan ikut campur kalau kamu nggak nikah sama Masku dan Giselle bukan keponakanku. Kamu itu memang batu, ya!” Putri hendak maju karena terpancing emosi. Dia tak peduli apalagi takut meskipun usianya di bawah Fani.

“Eh kalian ini apa-apaan sih? Udah malam kok malah ribut. Diem semua, nanti Giselle bangun. Kayak anak kecil aja hal sepele dibuat ribut,” kata Retno yang baru saja keluar dari kamar.

Dia menatap Putri dan Fani secara bergantian.

“Maaf, Bu, tapi aku nggak bermaksud bikin kekacauan. Putri aja tuh sekata-kata aja kalau ngomong, nggak sopan banget. Maafin Fani ya, Bu, baru pulang. Sampai harus ngerepotin Ibu jaga Giselle. Biar Fani gendong, Bu, mau Fani bawa pulang aja Giselle nya,” ujar Fani.

Jika tadi nada suaranya tak bisa santai saat bersama Putri. Maka sekarang berubah drastis ketika mengobrol dengan Retno.

“Iya, pelan-pelan. Tapi apa nggak sebaiknya Giselle tidur di sini aja? Besok kalau bangun biar Ibu antar ke rumahmu.”

“Nggak usah, Bu, nanti malah bikin Ibu capek. Kalau Ibu kerepotan juga aku lagi nanti yang kena,” balas Fani.

“Idih, nggak nyadar diri banget kalau dari siang udah bikin Ibu capek dan repot!” Putri kembali bersuara untuk menimpali ucapan Fani.

Fani tak menjawab, dia langsung masuk ke dalam kamar untuk membangunkan dan membawa Giselle pulang.

“Aku pamit ya, Bu, makasih udah jaga Giselle.” Tanpa mengucapkan salam, wanita berambut panjang kecoklatan itu langsung saja keluar dari kediaman mertuanya.

Putri menutup pintu depan setengah keras, saat Fani baru saja keluar dari pagar. Kakak iparnya itu sempat menoleh sejenak, sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkah.

“Put, jangan gitu!” tegur Retno seraya menggeleng perlahan.

“Habisnya perempuan itu nyebelin banget tau, Bu!” Putri mengerucutkan bibirnya ke depan.

“Udah, api nggak usah dibalas api. Mending kamu tidur sana!”

“Iya-iya!” Putri mengangguk. Namun tak langsung masuk ke kamar, dia malah asyik duduk di ruang keluarga sambil mengobrol ringan dengan Ibunya.

Padahal tadi Retno juga yang menyuruhnya beristirahat, tapi karena obrolan mereka saling menyambung akhirnya urung.

Beberapa menit kemudian, suara dering ponsel terdengar menggema. Putri langsung berdiri, untuk mengambil benda berbentuk pipih yang baru sebulan itu menjadi miliknya.

“Mas Bima, Bu, yang telepon! Kuntilanak itu pasti udah ngadu yang nggak-nggak sama suaminya!” kata Putri seraya menunjuk ponsel yang berada di genggamannya.

“Angkat, Nduk, jangan suudzon dulu,” ujar Retno.

Putri menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan sebelum akhirnya menempelkan ponsel di samping telinga. “Halo, Mas?”

“Kamu bertengkar sama Fani? Kamu bilang apa aja sampai istriku nangis sesenggukan kayak gitu, Dek?” tuduh Bima dengan nada suara kecewa, hingga Putri melongo dibuatnya.

“Tunggu! Maksudnya gimana ya, Mas? Agak nggak paham ini!”

“Fani telepon Mas nangis-nangis barusan. Mending kamu jujur aja sama Mas deh, kamu apakan dia?” tanya Bima dengan nada tinggi.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP