Yang membuatku heran, kenapa dia begitu nyaman bercerita masalah keluarganya padaku. Padahal selama ini, di mataku Pak Fauzan adalah pria yang tertutup dan kaku.
"Maaf jadi curhat."
"Tidak apa-apa, Pak. Saya senang kok kalau Bapak cerita sama saya, itu artinya kita benar-benar jadi teman."
"Mungkin seperti itu. Tapi untuk ukuran seorang teman panggilan Pak itu terlalu formal."
"Lalu saya harus memanggil dengan sebutan apa?"
"Panggil nama saja, sepertinya usia kita juga tak beda jauh."
"Saya yang keberatan kalau harus panggil nama. Bagaimana kalau Mas,. bagaimana?"
"Hmm ... boleh. Nanti saya panggil Mbak." Kalimat itu diakhiri sebuah kekehan, membuatku ingin kembali menoleh. Pak Fauzan tertawa kecil menampilkan barisan giginya yang rapi. Di saat tersenyum seperti ini, Pak Fauzan terlihat sangat tampan. Senyumnya juga menular, namun saat tersadar, aku segera menguasai diri.
"Panggil nama saja."
"Nggak sopan itu."
"Nggak papa, saya lebih nyaman seperti itu."
"Baiklah ... Zahr