Share

17. Jauhi Dia

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-23 16:18:17

"Mereka akan pulang dengan saya."

Seketika aku menoleh ke arah suara bariton yang baru saja memecah ketegangan antara Fatir dan istrinya.

Pak Fauzan tengah berdiri tak jauh dari kami, wajahnya tenang serta kedua tangannya berada di saku celana.

"Siapa kamu?! Aku tidak akan membiarkan Zahra pulang dengan orang yang tidak dikenal!" Fatir beraksi. Pria itu mantap Pak Fauzan sambil menunjuk.

"Mari bu Zahra, mobil saya di sebelah sana." Tanpa menggubris ucapan Fatir, Pak Fauzan mengajakku berjalan menuju mobilnya. Sebelah tangan yang semula berada di saku celananya, kini terulur menunjuk mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri.

"Ayo Marsha, pulangnya sama Om saja, ya." Berbeda saat bicara pada Fatir, suara Pak Fauzan terdengar sangat lembut ketika menyapa Marsha. Wajahnya pun tak segarang tadi.

Kehadiran pak Fauzan bagiku seperti dewa penolong. Bisa jadi Amel berencana akan membuatku terlantar di parkiran rumah sakit ini, tetapi dengan kehadiran pak Fauzan, rencana
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    19. Berubah

    Pov Farida Tinggal serumah bersama ibu mertua memang tidak enak. Dulu hanya mendengar cerita orang-orang saja kalau tinggal di rumah mertua itu sama saja seperti tinggal di neraka. Kini aku mengalaminya sendiri. Sikap Bu Lastri jauh berbeda dengan saat aku belum menikah dengan Mas Topan. Dulu dia sangat baik, bahkan apa-apa minta tolong padaku. Seolah aku adalah orang penting baginya. Sikapnya ramah dan lemah lembut. Sekarang melihatku saja seperti melihat musuh. Setiap saat bicara dengan nada tinggi. Padahal semua pekerjaan rumah, aku yang mengerjakan. Begitu pula keperluan rumah, dari belanja dapur sampai kebutuhan kamar mandi dan se-isi rumah. Setiap makan harus ada lauk yang enak-enak, entah itu ayam, telur atau ikan. Kalau hanya dimasakin sayuran, katanya seperti memberi makan unggas. Ya Tuhan, sudah tua semakin rewel. Mending kalau anaknya punya penghasilan banyak. "Kemarin buka puasa tidak ada ikan. Sekarang sahur pun tidak ada. Bagaimana Ibu punya tenaga menjalank

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    18. Panggil Nama

    Yang membuatku heran, kenapa dia begitu nyaman bercerita masalah keluarganya padaku. Padahal selama ini, di mataku Pak Fauzan adalah pria yang tertutup dan kaku. "Maaf jadi curhat." "Tidak apa-apa, Pak. Saya senang kok kalau Bapak cerita sama saya, itu artinya kita benar-benar jadi teman." "Mungkin seperti itu. Tapi untuk ukuran seorang teman panggilan Pak itu terlalu formal." "Lalu saya harus memanggil dengan sebutan apa?" "Panggil nama saja, sepertinya usia kita juga tak beda jauh." "Saya yang keberatan kalau harus panggil nama. Bagaimana kalau Mas,. bagaimana?" "Hmm ... boleh. Nanti saya panggil Mbak." Kalimat itu diakhiri sebuah kekehan, membuatku ingin kembali menoleh. Pak Fauzan tertawa kecil menampilkan barisan giginya yang rapi. Di saat tersenyum seperti ini, Pak Fauzan terlihat sangat tampan. Senyumnya juga menular, namun saat tersadar, aku segera menguasai diri. "Panggil nama saja." "Nggak sopan itu." "Nggak papa, saya lebih nyaman seperti itu." "Baiklah ... Zahr

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    17. Jauhi Dia

    "Mereka akan pulang dengan saya." Seketika aku menoleh ke arah suara bariton yang baru saja memecah ketegangan antara Fatir dan istrinya. Pak Fauzan tengah berdiri tak jauh dari kami, wajahnya tenang serta kedua tangannya berada di saku celana. "Siapa kamu?! Aku tidak akan membiarkan Zahra pulang dengan orang yang tidak dikenal!" Fatir beraksi. Pria itu mantap Pak Fauzan sambil menunjuk. "Mari bu Zahra, mobil saya di sebelah sana." Tanpa menggubris ucapan Fatir, Pak Fauzan mengajakku berjalan menuju mobilnya. Sebelah tangan yang semula berada di saku celananya, kini terulur menunjuk mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri. "Ayo Marsha, pulangnya sama Om saja, ya." Berbeda saat bicara pada Fatir, suara Pak Fauzan terdengar sangat lembut ketika menyapa Marsha. Wajahnya pun tak segarang tadi. Kehadiran pak Fauzan bagiku seperti dewa penolong. Bisa jadi Amel berencana akan membuatku terlantar di parkiran rumah sakit ini, tetapi dengan kehadiran pak Fauzan, rencana

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    16. Tuduhan

    "Maafkan Kakek dan Nenek, ya, Nak. Karena baru sempet nengok sekarang. Sewaktu masih di rumah sakit sebenarnya kami ingin menjenguk, tapi jauh dan tidak tahu tempatnya." Begitu tiba, Pak Majid langsung melihat keadaan Marsha. Sebuah permintaan maaf pun terucap dari bibirnya yang tulus. Mereka sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Bu Ita pun tidak ragu untuk membantuku mengurus Marsha. Memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Aku pun terharu mendengarnya. Mas Topan sendiri setelah datang hari itu, tak pernah lagi ada menelpon pada Marsha. Sudah sepantasnya sebagai ayah, Mas Topan menanyakan kabar anaknya itu. Hanya karena perempuan mantan kekasihnya itu, Mas Topan lupa pada darah dagingnya sendiri. Sore harinya aku dikejutkan oleh sebuah pesan dari Fauzan yang mengatakan bahwa motor akan segera dikirim. Pria itu ternyata menepati semua janjinya. Benar saja, keesokan harinya semua mobil pick up bertuliskan nama sebuah dealer sepeda motor datang mengantarkan kenda

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    15. Baik, tapi ...

    Sudah hampir seminggu Marsha dirawat. Selama itu pula setiap hari Fathir datang. Dia selalu membawakan makanan untuk berbuka kadang juga ikut berbuka bersamaku. Pernah suatu hari dia datang dini hari mengantarkan makanan untuk sahur. Aku sudah memperingatkan supaya dia jangan repot-repot. Masalahnya dia juga punya keluarga. "Aku sudah biasa makan di luar. Bahkan saat berbuka pun aku jarang makan di rumah, jadi istriku tidak masalah," jawabnya enteng. "Tapi kalau istrimu tahu lalu salah paham, itu yang jadi masalah." Mendengar itu, Fatir hanya tersenyum. "Hubungan kami memang sudah tidak se-manis dulu. Dia tidak akan mencariku meskipun aku tidak pulang. Sudah tidak sepenting itu diriku di rumah." Aku menghela panjang, entah benar atau salah yang dikatakan oleh Fatir. Yang jelas di antara kami tidak ada hubungan apa-apa dan aku tidak mau suatu saat aku disalahkan oleh istrinya Fatir. Bagaimana pun keadaan rumah tangga mereka. Besok hari raya, aku berharap hari ini dokte

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    14. Butuh Seseorang

    "Jadi kamu tidak percaya kalau saya punya uang?" tanya wanita itu sambil mendekat. "Bukan masalah uang, tetapi lebih kepada kepercayaan dan niat. Zaman sekarang susah nyari orang jujur." "Ini alamat kantor saya. Sudah ada nomor telepon kantor." Pak Fauzan membuka dompet lalu memberikan sebuah kartu nama yang sebetulnya tidak perlu untukku lantaran nomor ponsel pribadi Pak Fauzan saja sudah ada di ponselku. Rumahnya pun aku sudah tahu. Tadi aku hanya berpura-pura saja, entah kenapa ada rasa senang melihat wanita itu terpancing emosi. Padahal ini bulan puasa. Aku juga kesal pada Sinta yang terkesan meremehkan orang lain. Mentang-mentang aku berpenampilan sederhana, dia memandangku sebelah mata. Jadi penasaran ada hubungan apa sebenarnya antara Sinta dan Pak Fauzan. Jika mereka suami istri, kenapa sikap Pak Fauzan terlihat dingin dan tidak ada romantis-romantisnya. Keduanya meninggalkan ruangan ini tanpa sempat melihat kondisi Marsha lebih dekat. Sepertinya hanya formalitas s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status