Usaha Topan dan Zahra mengalami kebangkrutan dan untuk sementara tinggal di kampungnya. Semenjak di kampung, Topan berubah, dia selalu makan di rumah ibunya yang dikirim oleh kekasihnya. Ternyata ia berencana menikah lagi dengan kekasih lamanya yang janda kaya. Zahra akhirnya memilih untuk kembali ke kota karena tidak setuju jika harus dimadu. Terjadi perdebatan hebat sebelum Zahra memutuskan pergi. Sampai keluar kata talak dari Topan dan mengatakan semua yang pernah mereka miliki selama berumah tangga dulu diserahkan pada istrinya. Namun di kota, Zahra bertemu dengan ahli waris Samsul, orang yang dulu menipunya. Apa yang akan dilakukan anaknya Samsul pada utang ayahnya?
Lihat lebih banyak"Ibu harap secepatnya kamu menceraikan Zahra, Pan."
Aku urung mengucap salam ketika mendengar suara ibu mertua. Jelas itu ditujukan untuk suamiku, Mas Topan. Dadaku berdebar hebat. Kenapa tiba-tiba ibu meminta anaknya menceraikan aku. "Apa kurangnya Farida, dia bahkan rela tiap hari memasakkan makanan yang enak-enak buat kamu." Oh, jadi ini alasannya. Belakangan ini Mas Topan tak lagi makan di rumah. Dia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu. Rupanya ada yang memasakkan tiap hari. Setahuku, Farida adalah tetangganya Ibu. Rumahnya hanya terhalang dua bangunan dari rumah ibu. Janda anak dua yang sudah beranjak dewasa. "Sabar dulu, Bu. Aku juga perlu waktu yang tepat untuk menyampaikan hal ini pada Zahra. Sebenarnya aku tidak mau menceraikan Zahra, mudah-mudahan dia mau dimadu." Dadaku semakin naik turun. Jadi Mas Topan mau punya istri dua? Istri satu saja saat ini tidak dinafkahi dengan benar, bagaimana mau punya istri dua? "Tidak usah bingung mengatakannya, Mas. Aku sudah mendengarnya barusan." Aku menerobos masuk dan sukses membuat ibu mertua dan suamiku kaget. Mas Topan bangkit lalu berjalan mendekat. Sementara ibu mertuaku menatapku sinis. "Zahra, dengarkan dulu!" "Tidak usah ada penjelasan, Mas. Jadi selama ini Mas Topan tidak lagi memakan masakanku karena sudah ada yang memasakkan?!" tanyaku dengan suara bergetar. Kaget, syok, marah dan cemburu menjadi satu. "Ya jelas, mana mau Topan setiap hari hanya makan tahu tempe!" Ibu menyela. Kali ini ibu semakin menunjukkan rasa tidak suka ya padaku. "Aku masak menyesuaikan dengan uang yang diberikan Mas Topan." "Makanya jadi istri itu harus punya keterampilan biar bisa cari uang untuk bantu suami." "Zahra, dengar Mas .... " "Aku tidak bersedia dimadu, Mas. Kalau Mas Topan mau menikah lagi, silakan. Aku tidak akan menghalangi. Tapi aku mundur!" "Mas tidak mau berpisah denganmu." "Jangan serakah, Mas. Mana ada wanita yang mau diduakan. Selama ini aku sudah bersabar dengan keadaan rumah tangga kita yang sembah kekurangan. Tetap mendampingimu disaat tidak punya apa-apa, tapi ternyata ini balasannya." Rumah tangga aku dengan Mas Topan setahun ini sedang mendapat cobaan. Uang ratusan juta ditipu oleh temannya Mas Topan hingga usaha kami mengalami kebangkrutan. Rumah terpaksa dijual dan mobil satu-satunya digadaikan. Kami hidup di rumah kontrakan sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Namun sikapnya berubah setelah beberapa bulan kami tinggal di sini. Mas Topan jarang pulang dan makan di rumah yang kami sewa. Ia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu. Ternyata ia kembali menjalin hubungan dengan Farida, mantan kekasihnya dulu sewaktu sekolah. Aku tahu itu karena Ibu pernah cerita tentang masa lalu suamiku. Ini hari kedua di bulan Ramadan tahun ini. Aku berniat mendatangi rumah ibu mertua untuk meminta Mas Topan buka puasa di rumah. Walau bagaimanapun aku ingin merasakan sahur dan buka puasa bersama suamiku. Tapi ternyata kedatanganku menjelang magrib ini ke rumah Ibu mengungkap sebuah fakta. "Kita bisa bicara baik-baik, Zahra." Mas Topan mengikutiku yang akan keluar rumah. Aku tak menjawab. Aku meraih tangan Malika, anak bungsuku yang sedari tadi berdiri di sudut. Saat keluar dari pintu dapur rumah Ibu, tak disangka seseorang baru saja hendak masuk. Farida menenteng rantang yang kuyakin itu makanan untuk Mas Topan. Darahku memanas melihat perempuan yang sudah merebut perhatian dan cinta suamiku selama beberapa bulan ini akan mengantarkan makanan untuk suamiku. Apalagi dengan dandanan paripurna. Farida hanya berdiri mematung dan kami tidak saling sapa seperti biasanya. Aku buru-buru pulang, sesekali mengusap pipiku yang basah. Adzan maghrib berkumandang, aku pun hanya minum seteguk. Tak ada selera makan setelah kejadian barusan. Mas Topan ikut pulang, pria itu pun tidak makan. Dia hanya mondar-mandir mengawasiku yang sedang membereskan pakaian dan memasukkannya ke dalam tas besar. "Coba pikiran lagi, kamu mau pergi ke mana?" "Tidak perlu Mas tahu. Tolong selesaikan perceraian kita sebelum Mas menikahi Farida." "Bukan seperti itu maksudku, Zahra. Kita bisa melanjutkan rumah tangga kita." "Dengan menghadirkan wanita lain di antara kita?! Maaf, aku tidak bisa, Mas!" "Tapi kamu bisa apa tanpa aku? Ini juga bukan sepenuhnya keinginanku." "Tidak usah memikirkan aku dan anakmu. Pikirkan saja wanita itu juga ibumu!" Aku menutup pintu kamar lalu menguncinya. *** Selepas subuh, aku membangunkan Malika yang masih terlelap. Anak 4 tahun itu biasanya bangun siang. Mas Topan yang semalam tidur di rumah tetap berusaha menghalangiku. Bahkan ia nekat akan ikut pergi katanya untuk memastikan aku akan pergi kemana, kalau saja ibu mertuaku tidak datang dan mengeluarkan kata-kata yang membuat Mas Topan mengurungkan niatnya. "Selangkah saja kamu pergi mengikuti wanita itu, maka selamanya kamu jangan pulang! Ibu tidak sudi menganggapmu sebagai anak lagi." Jelas saja Mas Topan menurut kata-kata ibunya. Aku pun tidak berharap pria itu memilihku, karena sejak dulu nyatanya ia selalu menomorsatukan keluarganya. "Baiklah zahra, kalau kamu bersikeras. Maka sampai hari ini saja kamu menjadi istriku. Detik ini aku menjatuhkan talak padamu, Zahra Aulia Idris." Aku mengusap air mata yang jatuh membasahi pipiku setelah mendengar kalimat yang diucapkan Mas Topan. "Baiklah, Mas. Aku pamit dan aku ingin kamu tidak akan pernah berharap pada harta yang telah kita perjuangkan bersama." "Harta apa? Aku tidak akan mengambil apapun, karena memang sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan. Kita tidak punya apa-apa lagi." "Kita masih punya mobil dan piutang." "Ambil saja. Memangnya kamu mau dapat uang dari mana untuk menebus mobil itu. Soal piutang, mimpi saja kalau si Samsul mengembalikan uang itu. Ambil, aku tak butuh harta semu." Dengan menggunakan ojek aku pun pergi ke terminal bis. Tak apa harus menunggu lama di terminal, daripada aku diam di rumah ini. *** Aku sudah sampai terminal kota tujuan. Hari sudah sore, aku masih duduk di bangku terminal pinggiran ibu kota. Tak ada tujuan, di sini aku tidak punya kenalan apalagi sodara. Sebenarnya ada sodara jauh, tapi tempat tinggalnya masih dekat dengan rumahku yang dulu. Aku khawatir kalau pergi ke sana akan mudah ditemukan oleh Mas Topan. "Ma, aku capek pengen bobo di kasur," ucap Malika yang sedang berbaring di pangkuanku. Seketika hatiku hancur mendengar permintaannya. Maafkan Mama, Sayang. Bahkan Mas Topan tidak ada usaha untuk menahan buah hatinya. Aku tidak bisa bertahan dengannya, karena bagiku tidak ada maaf untuk perselingkuhan. Aku sanggup mendampinginya saat dia tak punya apa-apa, tapi untuk soal kesetiaan, tidak bisa ditawar lagi. "Sabar, ya, Sayang. Nanti kita cari tempat untuk bermalam." Air mataku hampir jatuh saat mengucapkan itu. Bagaimana bisa aku memberikan harapan pada Malika, sementara aku sendiri tidak tahu harus ke mana. Uang pun tak cukup untuk menyewa penginapan. Aku hendak bangkit, lantaran harus mencari warung nasi karena sebentar lagi waktu berbuka puasa, ketika terdengar suara seseorang. "Maaf Bu, apa ini botolnya sudah tidak terpakai?" Sontak aku melihat ke arah sumber suara. Seorang pria dengan baju lusuh sedang mengambil botol air mineral bekas Malika minum. Baru kali ini aku bertemu pemulung yang sopan. "Boleh saya ambil?" lanjutnya. "Boleh, silakan." "Terima kasih." Pria yang memakai topi itu pun mengangkat wajahnya. "Bu Zahra?!" "Pak Majid?" "Iya, Bu. Beginilah saya sekarang setelah tidak bekerja lagi pada Ibu." Pak Majid adalah mantan karyawanku yang terpaksa diberhentikan lantaran usaha kami tutup. "Bu Zahra kenapa di sini? Pak Topan-nya mana?" Tanpa ragu aku segera menceritakan apa yang terjadi setelah pabrik batako tutup dan aku pulang ke kampung Mas Topan. "Ya Allah, Bu. Kalau begitu, untuk sementara Ibu tinggal bersama kami. Kita pergi sekarang karena sebentar lagi magrib. Istri saya pasti senang." Meski pun tidak enak, akhirnya aku setuju karena tidak ada pilihan lain. Untuk malam ini menginap dulu di rumah Pak Majid. "Dulu sebelum saya pulang ke sini, saya mulung di dekat pabrik batako Ibu. Saat itu ada mobil berhenti di depan pabrik. Ada seorang pria muda, ganteng, seperti orang kantoran gitu. Nanyain Ibu dan Pak Topan." "Apa Pak Majid kenal?" "Tidak, tapi beliau menitipkan sesuatu untuk Ibu. Sekarang kita pulang dulu, nanti saya ceritakan di rumah."Setelah pabrik batako milikku mengalami kebangkrutan dan hampir semua aset habis, aku memutuskan untuk pulang kampung. Ini juga atas permintaan Ibu. Di kampung, aku bisa kerja serabutan. Bahan makanan juga banyak yang gratis. Apalagi kalau rajin bercocok tanam. Semua ini gara-gara si Samsul. Pria itu membohongiku, uang ratusan juta untuk pembayaran batako tidak kunjung ia bayar. Awalnya aku percaya kalau Samsul akan membayar di akhir, sebab kami bekerja sama sudah lama. Tapi kali ini dia curang. Orang itu pun kabur entah ke mana. Mungkin ini namanya hikmah dibalik musibah. Setelah di kampung, aku bertemu kembali dengan mantan pacarku dulu. Farida, yang ternyata sekarang sudah menjanda. Dulu hubungan kami tidak direstui oleh orang tuanya lantaran perbedaan status sosial. Ida memang dari kalangan orang berada sementara keluargaku biasa saja. Aku pun pergi merantau untuk memperbaiki nasib supaya bisa mempersunting Ida, tapi nasib berkata lain. Sebelum aku sukses, Ida sudah menikah
Aku kembali dibuat heran. Mataku fokus bergantian pada Fauzan dan map tersebut."Apa ini?""Surat pembayaran rumah. Mulai sekarang rumah ini resmi menjadi milik Bu Zahra. Sertifikatnya nanti akan diurus karena harus ada data-data Anda.""Tapi .... ""Tolong diterima. Saya pribadi merasa bersalah melihat kondisi ibu sekarang. Permisi." Fauzan terbalik lalu tanpa berkata lagi ia pergi disusul oleh Handi.Aku masih mematung saat mobil mewah itu meninggalkan halaman rumah yang katanya sekarang sudah menjadi milikku. Aku terduduk lesu, tidak percaya kalau hari ini bertubi-tubi Allah memberikan rezeki padaku. Alhamdulillah. Masya Allah. Rezeki memang rahasia Allah. Semua berjalan begitu cepat. Sampai-sampai aku tidak sempat mengucapkan terima kasih pada Fauzan. "Alhamdulillah, Dek. Sekarang kita punya rumah dan uang yang banyak." Aku menunduk meraih map dan kubuka serta kubaca dengan teliti. Bukti pembayaran kalau rumah ini sudah lunas. Aku tercengang melihat angka yang tertera. Mali
Handi membawaku masuk lewat pintu samping sebuah rumah mewah. Pintu ini langsung terhubung ke dapur. Seorang wanita seumuran denganku menyambut kami. Wanita yang mengaku bernama Sri itu membawaku ke sebuah kamar. "Mbak jangan keluar kalau tidak saya suruh, ya," pinta Sri sopan.Meskipun bingung tapi aku mengangguk. Sri kemudian keluar, tak lama masuk lagi dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman."Mbak boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini. Baju tidur, kamar mandi dan perlengkapannya, juga perlengkapan tidur. Ingat, ya, tidak boleh keluar kalau tidak saya suruh.""Ya, Mbak, tapi kalau boleh tahu kenapa?""Saya tidak tahu alasannya, saya hanya diperintah oleh Bapak."Setelah itu Sri keluar dan sepertinya pintu dikunci. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Tempat tidur besar ini cukup untuk berempat. "Ini rumah siapa, Ma?" tanya Malika sambil bangkit duduk. Gadis kecilku itu tadi kurebahkan di atas kasur."Ini rumah om Fauzan, yang tadi ngajak kita makan.""Rumahnya b
"Hallo Bu Zahra?"Lantaran aku hanya diam, pria di seberang telepon menyapaku lagi."I-iya, maaf, Pak.""Apa kita bisa bertemu? Ada sesuatu yang penting yang ingin saya sampaikan pada Ibu."Aku berpikir sejenak. Tiba-tiba aku punya prasangka yang tidak baik. Apakah pria ini beritikad baik?"Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon?""Tidak bisa. Saya ingin bertemu langsung dengan Ibu. Bagaimana, apakah bisa?""Mmm... baiklah." Akhirnya aku menyetujuinya."Oke. Di mana saya bisa menemui Ibu?"Aku menyebut nama terminal tempat kemarin bertemu dengan Pak wajid untuk memudahkan. Mau disebut tempat tinggal Pak Majid, letaknya di gang kecil. Selian itu, ini tempat tinggal orang lain, khawatir yang punya rumah keberatan."Baiklah, sore ini ba'da ashar kita bertemu."Telepon ditutup. Kemudian aku menceritakan pembicaraanku dengan Fauzan pada Pak Majid."Tolong temani saya bertemu orang tersebut, Pak. Saya takut kalau harus sendirian. Bukan suudzon tapi harus waspada.""Ya, Bu, nanti saya teme
Rumah Pak Majid letaknya tidak jauh dari terminal. Kami berjalan selama 10 menit untuk sampai ke sana. Rumahnya sederhana, tinggal hanya berdua dengan istrinya. Katanya anak-anaknya semuanya sudah punya keluarga dan tidak tinggal di kota ini. Pak Majid dulunya orang kepercayaan Mas Topan. Jadi dia tahu pasti bagaimana kondisi pabrik batako milik kami saat itu. Pun ketika terpaksa usaha itu terhenti.Aku juga mengerti tentang bisnis itu karena sering terlibat. Aku bukan tipe wanita yang cuma puas berdiam diri di rumah. Pak Samsul adalah seorang pengusaha properti. Ia sudah lama bekerja sama dengan kami yang menjadi salah satu pemasok batako untuk proyek Pak Samsul.Namun sayangnya kepercayaan kami ternoda. Tahun lalu pak Samsul tidak membayar barang yang sudah ia pake untuk proyeknya. Selama bertahun-tahun dia jadi pelanggan dan bisa dipercaya. Sudah biasa melakukan pembayaran di akhir. Kami merasa ditipu dan produksi pun berhenti. Mau menggugat melalui jalur hukum tidak ada dana. A
"Ibu harap secepatnya kamu menceraikan Zahra, Pan." Aku urung mengucap salam ketika mendengar suara ibu mertua. Jelas itu ditujukan untuk suamiku, Mas Topan. Dadaku berdebar hebat. Kenapa tiba-tiba ibu meminta anaknya menceraikan aku. "Apa kurangnya Farida, dia bahkan rela tiap hari memasakkan makanan yang enak-enak buat kamu."Oh, jadi ini alasannya. Belakangan ini Mas Topan tak lagi makan di rumah. Dia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu. Rupanya ada yang memasakkan tiap hari. Setahuku, Farida adalah tetangganya Ibu. Rumahnya hanya terhalang dua bangunan dari rumah ibu. Janda anak dua yang sudah beranjak dewasa. "Sabar dulu, Bu. Aku juga perlu waktu yang tepat untuk menyampaikan hal ini pada Zahra. Sebenarnya aku tidak mau menceraikan Zahra, mudah-mudahan dia mau dimadu."Dadaku semakin naik turun. Jadi Mas Topan mau punya istri dua? Istri satu saja saat ini tidak dinafkahi dengan benar, bagaimana mau punya istri dua?"Tidak usah bingung mengatakannya, Mas. Aku sudah menden
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen