Dengan langkah tergesa, Anaby menyusuri koridor apartemen menuju parkiran bawah tanah. Matanya langsung menangkap mobil miliknya yang masih terparkir di tempat semula —aman, seperti yang diharapkannya.
Tanpa pikir panjang, Anaby meraih gagang pintu dan melesak ke kursi pengemudi. Sebelum menyalakan mesin, pandangannya jatuh pada kilau lembut cincin berlian yang melingkari jari manisnya.
Anaby menatapnya cukup lama, memperhatikan betapa cantiknya perhiasan itu. Cincin pernikahan ini bukan hanya simbol dari ikatan suci, tetapi juga titik balik dari hidupnya yang pernah hancur.
Perlahan, bibir Anaby melengkung, membentuk seulas senyum samar.
“Akhirnya… aku telah memilih Michael,” bisiknya lirih, seolah hanya ingin didengar oleh hatinya sendiri. “Aslan tidak akan bisa menjeratku lagi.”
Dalam hitungan detik, senyuman itu segera memudar. Dengan berat hati, Anaby melepas cincin pernikahannya lalu menyimpan di dalam tas.
Masih terlalu dini untuk mengenakannya di hadapan para pengkhianat. A