Apakah mereka benar-benar akan menjalani malam pertama? Atau Aslan akan muncul sebagai pengganggu? Yuk, berikan gems untuk author supaya tetap semangat update
Dengan langkah tergesa, Anaby menyusuri koridor apartemen menuju parkiran bawah tanah. Matanya langsung menangkap mobil miliknya yang masih terparkir di tempat semula —aman, seperti yang diharapkannya. Tanpa pikir panjang, Anaby meraih gagang pintu dan melesak ke kursi pengemudi. Sebelum menyalakan mesin, pandangannya jatuh pada kilau lembut cincin berlian yang melingkari jari manisnya.Anaby menatapnya cukup lama, memperhatikan betapa cantiknya perhiasan itu. Cincin pernikahan ini bukan hanya simbol dari ikatan suci, tetapi juga titik balik dari hidupnya yang pernah hancur. Perlahan, bibir Anaby melengkung, membentuk seulas senyum samar.“Akhirnya… aku telah memilih Michael,” bisiknya lirih, seolah hanya ingin didengar oleh hatinya sendiri. “Aslan tidak akan bisa menjeratku lagi.”Dalam hitungan detik, senyuman itu segera memudar. Dengan berat hati, Anaby melepas cincin pernikahannya lalu menyimpan di dalam tas. Masih terlalu dini untuk mengenakannya di hadapan para pengkhianat. A
Tak ingin membuang waktu dengan pertengkaran yang sia-sia, Anaby menghampiri petugas ICU yang berdiri tak jauh dari sana.“Selamat siang. Bagaimana kondisi papa saya? Apakah sudah bisa dijenguk sekarang?”Petugas itu menoleh, lalu mengangguk sopan. "Tuan Carlo akan dipindahkan ke ruang rawat biasa, karena kondisi Beliau sudah stabil. Silakan tunggu saja di luar.”Mata Anaby membulat, setitik kelegaan menyelinap di matanya. Sang ayah mulai pulih, itu artinya masih ada harapan untuk bersamanya di masa depan. Dari balik kaca bening ruangan ICU, Anaby pun memerhatikan dengan saksama. Di dalam ruangan memang ada seorang perawat yang duduk berjaga, tak jauh dari tempat tidur ayahnya.Sementara di sisi lain, seorang petugas ICU tengah memeriksa infus dan mengatur selang oksigen. Ia memberi instruksi ringan kepada rekan sejawatnya—menyiapkan brankar, catatan medis, serta jalur evakuasi menuju ruang rawat.“Jika saya boleh tahu, siapa yang menyewa perawat untuk papa saya?” tanya Anaby, penasa
Mata Anaby berkunang-kunang kala meraih kotak kecil berbalut kertas kado biru yang telah disiapkannya jauh-jauh hari. Namun, ia tetap memaksakan diri sebab hari ini, putra angkatnya yang kini berusia 9 tahun akan menerima penghargaan sebagai juara olimpiade matematika. Rasa bangga mengalihkan sakit di tubuhnya.Satu hal di kepala Anaby saat ini: dia harus ke sana. “Uhuk…” Baru saja Anaby melewati pintu kamar, batuk kembali mengguncang tubuhnya. Rasanya, seperti ada ribuan jarum yang menusuk paru-parunya di dalam sana. Napasnya terputus-putus, dan sesuatu yang hangat pun mengalir dari bibirnya. Tangan wanita itu refleks terangkat, dan saat ia menatap telapaknya— ada darah segar di sana. "Darah apa itu? Sangat menjijikkan.”Suara putranya membuat Anaby tersentak. Terlebih ia baru sadar jika Sandra–sahabatnya–justru menarik tangan Leon menjauh. "Jangan dekat-dekat, Nak. Itu menular. Darah itu pasti dari mulut Ana.”"Iya, Mama. Aku merasa mau muntah."Mama? Mengapa Leon memanggil S
“Akhhhh!” Anaby merasa ditarik ke dalam kehampaan, membuat jiwanya serasa melayang bebas di antara dimensi yang tak kasatmata. Rasa sakit yang menyayat paru-parunya perlahan memudar, digantikan oleh ketenangan yang aneh.Tiba-tiba saja, ada cahaya yang melingkupinya. Anaby tersentak.Udara yang ia hirup bukan lagi aroma darah, melainkan wangi lembut lavender yang menenangkan–seperti aroma kamarnya waktu sebelum menikah?Perlahan, Anaby membuka mata. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia berada di kamar tidurnya! Lalu, ada sebuah koper besar yang terbuka di lantai. Ingatan Anaby berputar liar. Bukankah ini adalah situasi di mana ia bersiap untuk meninggalkan rumah diam-diam? Kawin lari dengan Aslan?Dalam sekejap, Anaby berusaha keras mencerna apa yang terjadi. Ia melangkah dengan hati-hati menuju cermin besar di meja rias dan menemukan kulitnya masih kencang dan bersinar sehat. Tubuhnya masih langsing dan bugar, tidak ada jejak kelelahan yang biasanya menghiasi wajahnya sel
Begitu keluar dari rumah, tatapan Anaby langsung tertuju pada sosok yang tengah bersandar di pintu taksi. Aslan. Lelaki itu tersenyum lembut padanya. Senyuman yang dulu mampu membuat ia lupa segalanya, yang dulu menjeratnya dalam pesona palsu. Namun, sekarang ia hanya melihat kedok manusia licik yang hatinya dipenuhi oleh kebusukan.Dengan langkah lebar, Aslan berjalan menghampiri Anaby. Tangan lelaki itu terulur, seolah ingin menggenggam erat tangan sang kekasih.“Sayang, kau sudah siap pergi bersamaku?” Anaby hanya berdiri diam, menatap Aslan dengan pandangan sinis yang tersembunyi di balik ekspresi datarnya. Ingatan itu muncul sekelebat—saat Aslan dengan sengaja membuang obatnya, menguncinya di dalam rumah, dan membiarkannya mati dalam penderitaan.Napas Anaby memburu, amarah menggelegak di dadanya. Meski begitu, ia harus menahan diri. Aslan yang sekarang tidak boleh tahu bahwa ia adalah Anaby dari masa depan.Maka, Anaby berusaha menenangkan diri, memasang senyum manis yang cuk
Berusaha mengusir rasa takut yang masih mendera, Anaby menghembuskan napas panjang. Saat ini, ia masih sehat, belum terkena penyakit TBC. Karena itu, ia tidak boleh menyerah dulu. Ia masih punya waktu untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu.Tanpa ragu, Anaby melangkah masuk ke rumahnya. Besok, ia berencana pergi ke toko barang antik, tempat Sandra membeli kalung. Ia akan membeli satu yang serupa, untuk memastikan apakah kalung tersebut penyebab dari alerginya. Dengan tekad yang bulat, Anaby bergegas ke kamar dan menyimpan benda pemberian Sandra. Kemudian, ia berjalan menuju dapur, mencari sosok Bi Padmi, pembantu setia keluarga mereka. Ia menemukan wanita paruh baya itu sedang sibuk memotong sayuran di dapur."Apa menu makan malam hari ini, Bi?" tanya Anaby sembari menggulung lengan bajunya.Bi Padmi menoleh dengan ekspresi terkejut. "Eh? Non Anaby ada di dapur?" katanya heran. "Saya akan memasak sop iga dan ayam lada hitam untuk Tuan Besar."Anaby mengernyit. "Ganti menu, Bi. A
Setelah makan malam berakhir, Anaby menggandeng lengan ayahnya dengan lembut."Ayo, Papa, aku antar ke kamar."Kalimat sederhana itu seakan menggema di seluruh ruangan, membuat Nyonya Kemala dan Laura membelalak dengan ekspresi penuh curiga. Keduanya bahkan saling bertatapan, seolah memastikan bahwa mereka tidak sedang bermimpi. Usai punggung Anaby dan Tuan Carlo menghilang di tikungan, Laura membungkukkan tubuh ke arah ibunya.“Ma, sejak kapan Ana jadi sebaik itu? Jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan warisan."Nyonya Kemala menautkan alisnya, matanya mengamati arah kamar suaminya dengan penuh kehati-hatian. "Mama juga belum tahu pasti," sahutnya pelan. "Kalau benar Ana berniat menikah dengan Michael, supaya bisa mewarisi harta peninggalan kakeknya, maka kita harus menggagalkannya.”Laura mengangguk cepat, seperti baru saja menyusun rencana gelap di dalam kepalanya.Sementara itu, di dalam kamar yang temaram dengan cahaya lampu tidur, Anaby membantu Tuan Carl
Mobil yang membawa Anaby melaju di sepanjang jalan kota yang mulai ramai oleh aktivitas pagi. Duduk di kursi belakang dengan kaca yang sedikit terbuka, Anaby membiarkan cahaya matahari menyinari sebagian wajahnya. Ia terlihat tenang, tetapi pikirannya berkecamuk. Di pangkuannya, jari-jarinya menggenggam ponsel, tetapi bukan untuk membuka pesan, melainkan untuk memandangi pantulan samar dirinya di layar hitam itu. "Pak Darto, tolong cari toko barang antik di sekitar kampus," ucap Anaby, matanya menatap jalanan dengan tatapan penuh tekad."Siap, Nona," jawab si sopir, lalu membelokkan arah ke kawasan kampus lama, tempat Anaby menempuh kuliah bertahun-tahun lalu.Tak butuh waktu lama, mereka menemukan sebuah toko mungil di ujung jalan kecil yang sepi. Toko itu berdiri di antara bangunan-bangunan tua, dengan papan nama kayu bertuliskan ‘Lentera Collection’ dalam huruf latin klasik yang sedikit pudar. Udara di dalam toko terasa lembap. Di sudut-sudut ruangan, lampu temaram menggantung,
Tak ingin membuang waktu dengan pertengkaran yang sia-sia, Anaby menghampiri petugas ICU yang berdiri tak jauh dari sana.“Selamat siang. Bagaimana kondisi papa saya? Apakah sudah bisa dijenguk sekarang?”Petugas itu menoleh, lalu mengangguk sopan. "Tuan Carlo akan dipindahkan ke ruang rawat biasa, karena kondisi Beliau sudah stabil. Silakan tunggu saja di luar.”Mata Anaby membulat, setitik kelegaan menyelinap di matanya. Sang ayah mulai pulih, itu artinya masih ada harapan untuk bersamanya di masa depan. Dari balik kaca bening ruangan ICU, Anaby pun memerhatikan dengan saksama. Di dalam ruangan memang ada seorang perawat yang duduk berjaga, tak jauh dari tempat tidur ayahnya.Sementara di sisi lain, seorang petugas ICU tengah memeriksa infus dan mengatur selang oksigen. Ia memberi instruksi ringan kepada rekan sejawatnya—menyiapkan brankar, catatan medis, serta jalur evakuasi menuju ruang rawat.“Jika saya boleh tahu, siapa yang menyewa perawat untuk papa saya?” tanya Anaby, penasa
Dengan langkah tergesa, Anaby menyusuri koridor apartemen menuju parkiran bawah tanah. Matanya langsung menangkap mobil miliknya yang masih terparkir di tempat semula —aman, seperti yang diharapkannya. Tanpa pikir panjang, Anaby meraih gagang pintu dan melesak ke kursi pengemudi. Sebelum menyalakan mesin, pandangannya jatuh pada kilau lembut cincin berlian yang melingkari jari manisnya.Anaby menatapnya cukup lama, memperhatikan betapa cantiknya perhiasan itu. Cincin pernikahan ini bukan hanya simbol dari ikatan suci, tetapi juga titik balik dari hidupnya yang pernah hancur. Perlahan, bibir Anaby melengkung, membentuk seulas senyum samar.“Akhirnya… aku telah memilih Michael,” bisiknya lirih, seolah hanya ingin didengar oleh hatinya sendiri. “Aslan tidak akan bisa menjeratku lagi.”Dalam hitungan detik, senyuman itu segera memudar. Dengan berat hati, Anaby melepas cincin pernikahannya lalu menyimpan di dalam tas. Masih terlalu dini untuk mengenakannya di hadapan para pengkhianat. A
Wajah Michael berubah tak terbaca. Tanpa berkata-kata, ia berjalan mendekat lalu berdiri tepat di belakang Anaby. Sorot matanya yang sulit ditebak, membuat jantung Anaby kembali berpacu tidak karuan. Angin sejuk dari pendingin ruangan seolah tak terasa, karena kehadiran pria itu menciptakan kehangatan asing yang menjalar dari kulit ke hati.“Ritsletingnya… dari atas sampai ke punggung bawah,” lirih Anaby, sembari menunduk malu.Michael tidak menjawab, tetapi jemarinya yang hangat mulai membuka akses ke punggung yang tertutup renda. Gerakan pria itu sangat hati-hati, seolah ia sedang membuka sesuatu yang jauh lebih dari sekadar kain. Anaby menahan napas, sementara jari-jari Michael mulai bekerja di beberapa pengait kecil. Jemari itu terasa ringan tetapi nyata, bak aliran listrik halus yang menggetarkan nyali. Dalam hitungan detik, pengait terbuka satu per satu, dan perlahan ritsleting panjang itu ditarik turun. Saat gaun mulai mengendur, pori-pori kulit Anaby meremang. Ia bisa merasa
Usai ciuman pertama mereka sebagai pasangan suami istri, ruangan gereja kembali dipenuhi keheningan. Pastor Benediktus mundur selangkah dan memberi isyarat kepada dua orang petugas—seorang dari gereja, satunya lagi dari kantor urusan sipil. Mereka membawa map cokelat dan buku besar dengan sampul berukir lambang negara di sudutnya.“Tuan dan Nyonya Rajasa,” ujar petugas urusan sipil dengan nada penuh penghormatan, “silakan menandatangani dokumen pernikahan, sebagai bagian akhir dari prosesi pemberkatan.”Michael mengangguk, lalu meraih pulpen yang disodorkan tanpa jeda. Ia menorehkan tanda tangannya dengan goresan mantap, penuh kepastian. Tiada satu helai pun keraguan yang terpancar dari caranya menggenggam pulpen, seolah segala keputusan telah menuju babak final.Anaby menyusul perlahan. Jemarinya sempat bergetar ketika ia meraih pena logam itu. Ia melirik Michael sekilas, lalu menatap namanya sendiri yang tercetak di atas baris kosong. Suatu perasaan yang tak mampu ia lukiskan menye
Mobil melambat, sebelum berhenti perlahan di halaman sebuah gereja kecil di pinggir kota Grenada. Gereja itu dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang melambai pelan diterpa angin. Bangunannya tidak megah, tetapi memancarkan pesona klasik yang mengundang kedamaian. Dinding gereja Saint Anna terbuat dari batu alam berwarna kelabu pucat, dengan jendela-jendela lengkung berhias kaca patri. Menara loncengnya menjulang sederhana, seperti penjaga setia yang mencatat setiap janji suci yang pernah terucap.Pintu kayu besar terbuka, dan di sana berdiri seorang pria muda bersetelan hitam elegan. Pembawaannya memancarkan ketenangan profesional.“Selamat datang, Nona Anaby,” sapanya sambil membungkuk hormat. “Saya Samuel, asisten pribadi Tuan Michael. Beliau sudah menanti di altar.” Samuel menyerahkan buket bunga yang terdiri dari rangkaian ‘forget-me-nots’ berwarna biru pucat, dipadu dengan gardenia putih yang mekar sempurna—lambang cinta sejati dan kesetiaan abadi.Anaby menerima buket itu den
Kuas-kuas halus menari di permukaan wajah Anaby, menyapukan rona cerah yang membuat kulit Anaby lebih segar. Seorang perias memulas kelopak matanya dengan gradasi warna netral, lalu membingkai bulu mata Anaby yang lentik dengan eyeliner tipis dan maskara. Bibirnya disentuh oleh warna mawar lembut, menyempurnakan tampilan yang alami sekaligus memesona.Di belakangnya, penata rambut menata helaian rambut panjang Anaby dengan cermat. Melilitkannya ke atas membentuk sanggul anggun, dan membiarkan beberapa helai tergerai menyentuh bahu.Di antara lilitan itu, terselip rangkaian bunga kecil berwarna putih. Mengingatkan pada potret para dewi dalam relief-relief Yunani kuno—megah, murni, dan memukau.Anaby menatap pantulan dirinya pada cermin besar. Penampilannya kini tak ubahnya seperti seorang calon permaisuri yang akan melangkah ke pelaminan. Namun, kilau matanya menyimpan kisah yang terlalu perih untuk diceritakan ulang.“Anda cantik sekali, Nona,” puji salah satu perias dengan kagum, sam
Anaby menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa getir yang tiba-tiba menjalar. Ia teringat akan ciuman semalam yang begitu intens, menghangatkan hatinya hingga seolah meleleh dalam dekapan pria itu. Bahkan, mereka sempat terbenam dalam gairah yang tak terbendung.Namun, semua kenangan itu terasa seperti kilasan ilusi yang diberikan hanya untuk dipatahkan keesokan harinya. Barangkali, Michael sengaja melakukannya sebagai bagian dari permainan hati. Sebuah balas dendam yang dibungkus kepura-puraan.Akhirnya, dengan sisa keberanian yang ada, Anaby mengangkat wajahnya dan menatap Michael. “Baiklah, kita akan menikah sesuai keinginanmu,” katanya pelan, hampir bergetar, “Setelah itu, aku harus ke rumah sakit untuk menemani Papa.”Michael memandang Anaby beberapa detik, seakan ingin memastikan tidak ada keraguan dalam ucapannya. Lalu, perlahan, ia menunduk dan mengucapkan satu kalimat lagi di telinga gadis itu. Bisikannya seperti embusan panas yang menggoda dan menyesatkan di saat yang
Dalam lelapnya, Anaby merasa ada yang menyentuhnya. Sebuah genggaman hangat yang menyelusup hingga ke lapisan sanubarinya yang terdalam.Jari-jemari itu menyatu dengan miliknya, mengirimkan kehangatan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Genggaman itu terasa seperti benteng lembut yang menahan segala ketakutan dan kegelisahanIa tidak tahu siapa, tetapi ia tidak ingin melepaskannya.Anaby pun terbuai dalam kenyamanan yang membuatnya tenggelam dalam tidur panjang. Ia tidak bermimpi. Ia hanya terlarut oleh perasaan damai, yang diberikan oleh sosok tak terlihat di balik gelap matanya. Dalam imajinasi indah itu, Anaby tak tahu berapa lama ia terlelap, tetapi sensasi itu begitu nyata—dan menenangkan.Kemudian, bunyi air yang menyentuh lantai memecah ketenangan pagi. Gema gemericiknya menyusup ke telinga Anaby, dan perlahan membangunkannya dari alam mimpi. Anaby mengerjap, kelopak matanya terbuka dengan lambat, menyesuaikan pandangan dengan cahaya lembut yang masuk dari jendela. Ia menata
Dengan menggenggam harapan terakhir yang ia punya, Anaby menatap lekat paras tampan di hadapannya. Sorot matanya meredup, membawa serta keputusasaan yang membekas begitu dalam. Tanpa mengucap sepatah kata pun sebagai jawaban, Anaby perlahan memajukan wajahnya, menghapus jarak yang tersisa. Gerakannya begitu ringan dan nyaris gemetar, saat bibirnya menyentuh bibir Michael—tanpa jeda, tanpa ragu.Seperti digerakkan naluri, tangan Anaby terangkat pelan lalu menempel pada bahu Michael yang terasa kokoh di balik piyama yang membungkus tubuhnya. Gadis itu bisa merasakan kontras yang mencolok antara kehangatan bibir Michael dan bibirnya sendiri. Bibir Michael penuh dengan gairah kehidupan, berbeda jauh dengan bibirnya yang beku, seperti tak bernyawa. Dalam beberapa detik, Anaby memejamkan mata, memusatkan seluruh pikirannya untuk melakukan hal yang selama ini tak pernah ia kuasai.Ya, berciuman bukanlah sesuatu yang familiar bagi Anaby. Ia tidak pandai melakukannya.Beberapa kali Aslan pe