Lampu-lampu neon di lorong rumah sakit menyorot wajah Anaby yang muram. Sementara jemarinya terus-menerus mengusap layar ponsel yang telah terkunci sejak lima menit lalu.
Satu nama, satu suara, satu tawaran—semuanya masih bergemuruh dalam kepalanya tanpa henti.
Tubuh Anaby bersandar lesu di dinding, tetapi dagunya menunduk sedikit, menatap lantai yang dingin seperti pikirannya. Kakinya bergerak gelisah. Sesekali menyilang dan kembali lurus, kemudian menggoyang ujung sepatu pelan tanpa irama.
Besok malam. Marigold Residence. Sebuah pertemuan yang menjanjikan jawaban, tetapi juga bisa berujung pada kekecewaan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Tawaran dari Michael bukan sekadar undangan biasa—itu seperti perjudian. Ia tidak tahu hasil akhirnya akan seperti apa.
Lagi pula … kenapa harus di apartemen? Tempat yang begitu personal, begitu privat.
Jika hanya ingin bicara, bukankah Michael bisa mengajaknya bertemu di kafe, taman atau lobi rumah sakit? Namun, pria itu malah menyuruhnya data