“Papa, lebih baik istirahat dulu,” ujar Anaby, sembari mengelus punggung tangan sang ayah, yang masih terkulai lemah di telapak tangannya.Tatapannya lembut tetapi menyimpan kegelisahan yang belum terurai. Ia mencoba menenangkan sang ayah yang terlihat begitu rapuh di bawah sorotan lampu redup ICU. Pastilah tenaga sang ayah terkuras habis setelah mengalami serangan jantung. “Papa baru saja menjalani pemasangan ring,” lanjutnya lagi, dengan nada sabar dan penuh kasih, “jumlah kunjungan di ruang ICU dibatasi. Lagi pula, Papa belum boleh terlalu banyak berbicara. Nanti, kalau Papa sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, aku janji akan mengajak Aslan menemui Papa.”Namun, Tuan Carlo tak menyerah pada bujukan putrinya. Dengan mata yang terus menatap lekat wajah Anaby, ia kembali memanggil nama Aslan. Menyebutnya berulang kali meski suaranya terdengar patah-patah. Pria paruh baya itu seperti meniti celah-celah luka di tenggorokannya yang belum pulih.“Aslan, panggil… dia.”Anaby menggigit
Bak seseorang yang baru saja menemukan permata terpendam di tengah reruntuhan, Aslan langsung memegang tangan Tuan Carlo. Tatapan matanya berbinar, dan senyum yang menggantung di bibirnya begitu lebar, seolah ucapan itu adalah kabar paling agung yang pernah ia dengar.“Saya … benar-benar berterima kasih, Tuan Carlo,” ucap Aslan terbata. “Saya berjanji akan segera menikahi Ana setelah Anda pulih. Saya mencintai Ana lebih dari segalanya.”Janji yang diucapkan Aslan membuat tenggorokan Anaby tercekat. Perutnya mual, mendidih dalam keengganan yang tak tertahankan. Rasanya seperti menelan racun pahit yang merayap hingga ke ujung tengkuk. Refleks, Anaby mengangkat tangannya dan menutup mulut yang tersembunyi di balik masker medis. Ia mencoba menahan desakan mual yang merambat dari dalam.Melihat reaksi itu, Aslan menoleh dengan raut wajah mengkerut, penuh kekhawatiran yang tampak meyakinkan. “Sayang, kau kenapa?” tanyanya lembut, melangkah setengah menuju Anaby.Anaby menggeleng kecil. Ta
Dengan tangan yang mencengkeram erat kemudi, Anaby memacu mobilnya menembus malam. Lampu-lampu jalan yang terpantul di kaca depan tampak buram, seperti garis-garis cahaya yang berlari menjauh. Sementara jiwa Anaby telah tertambat pada satu tujuan.Kecepatan mobilnya meningkat, tetapi pikirannya berlari jauh lebih kencang dari laju kendaraan yang ia kemudikan. Ada gemuruh dalam benaknya, campuran antara keyakinan dan keraguan, antara kerinduan dan ketakutan.Langkah ini bisa dianggap sembrono, bahkan barangkali memalukan—datang ke apartemen seorang pria di tengah malam, tanpa kabar, tanpa undangan. Hanya saja, Anaby tidak peduli lagi. Harga dirinya sudah terlalu letih untuk dijaga, dan logika telah lama kalah oleh harapan. Untuk kedua kalinya, ia bersedia jatuh dalam ketidakpastian jikalau itu satu-satunya jalan keluar dari jeratan Aslan. Marigold Residence menjulang dalam bayangan langit kota yang kelam. Bangunan itumegah sekaligus dingin dalam kemewahan yang tak bersuara.Setibanya
Setelah daun pintu tertutup rapat, Michael melangkah ke arah dinding dan menyalakan lampu utama. Cahaya hangat segera menyapu seluruh ruangan, menghapus kesan remang yang sempat tercipta. Kilau lampu memantul di permukaan marmer dan kaca, memunculkan siluet kemewahan apartemen lantai delapan itu. Mata biru milik Michael bergerak tenang dan tajam, seperti bilah es yang bening. Pandangannya menelusuri tubuh kurus Anaby yang berdiri kikuk di ambang ruang. Mengunci langkah gadis itu, hingga membuat Anaby nyaris lupa bagaimana caranya bernapas normal.Tanpa berkata-kata panjang, ia menunjuk ke sofa berlapis kulit di tengah ruangan.“Duduklah,” ucap Michael tanpa nada.Dengan langkah ragu, Anaby menuruti permintaan itu. Ia duduk perlahan, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, tetapi tak berani bersandar sepenuhnya. Gadis itu bingung harus meletakkan tangan di mana, tidak tahu harus memandang ke arah mana.Di sisi lain, Michael masih berdiri tegak. Kedua lengannya bersedekap di depan da
Mata Anaby berkunang-kunang kala meraih kotak kecil berbalut kertas kado biru yang telah disiapkannya jauh-jauh hari. Namun, ia tetap memaksakan diri sebab hari ini, putra angkatnya yang kini berusia 9 tahun akan menerima penghargaan sebagai juara olimpiade matematika. Rasa bangga mengalihkan sakit di tubuhnya.Satu hal di kepala Anaby saat ini: dia harus ke sana. “Uhuk…” Baru saja Anaby melewati pintu kamar, batuk kembali mengguncang tubuhnya. Rasanya, seperti ada ribuan jarum yang menusuk paru-parunya di dalam sana. Napasnya terputus-putus, dan sesuatu yang hangat pun mengalir dari bibirnya. Tangan wanita itu refleks terangkat, dan saat ia menatap telapaknya— ada darah segar di sana. "Darah apa itu? Sangat menjijikkan.”Suara putranya membuat Anaby tersentak. Terlebih ia baru sadar jika Sandra–sahabatnya–justru menarik tangan Leon menjauh. "Jangan dekat-dekat, Nak. Itu menular. Darah itu pasti dari mulut Ana.”"Iya, Mama. Aku merasa mau muntah."Mama? Mengapa Leon memanggil S
“Akhhhh!” Anaby merasa ditarik ke dalam kehampaan, membuat jiwanya serasa melayang bebas di antara dimensi yang tak kasatmata. Rasa sakit yang menyayat paru-parunya perlahan memudar, digantikan oleh ketenangan yang aneh.Tiba-tiba saja, ada cahaya yang melingkupinya. Anaby tersentak.Udara yang ia hirup bukan lagi aroma darah, melainkan wangi lembut lavender yang menenangkan–seperti aroma kamarnya waktu sebelum menikah?Perlahan, Anaby membuka mata. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia berada di kamar tidurnya! Lalu, ada sebuah koper besar yang terbuka di lantai. Ingatan Anaby berputar liar. Bukankah ini adalah situasi di mana ia bersiap untuk meninggalkan rumah diam-diam? Kawin lari dengan Aslan?Dalam sekejap, Anaby berusaha keras mencerna apa yang terjadi. Ia melangkah dengan hati-hati menuju cermin besar di meja rias dan menemukan kulitnya masih kencang dan bersinar sehat. Tubuhnya masih langsing dan bugar, tidak ada jejak kelelahan yang biasanya menghiasi wajahnya sel
Begitu keluar dari rumah, tatapan Anaby langsung tertuju pada sosok yang tengah bersandar di pintu taksi. Aslan. Lelaki itu tersenyum lembut padanya. Senyuman yang dulu mampu membuat ia lupa segalanya, yang dulu menjeratnya dalam pesona palsu. Namun, sekarang ia hanya melihat kedok manusia licik yang hatinya dipenuhi oleh kebusukan.Dengan langkah lebar, Aslan berjalan menghampiri Anaby. Tangan lelaki itu terulur, seolah ingin menggenggam erat tangan sang kekasih.“Sayang, kau sudah siap pergi bersamaku?” Anaby hanya berdiri diam, menatap Aslan dengan pandangan sinis yang tersembunyi di balik ekspresi datarnya. Ingatan itu muncul sekelebat—saat Aslan dengan sengaja membuang obatnya, menguncinya di dalam rumah, dan membiarkannya mati dalam penderitaan.Napas Anaby memburu, amarah menggelegak di dadanya. Meski begitu, ia harus menahan diri. Aslan yang sekarang tidak boleh tahu bahwa ia adalah Anaby dari masa depan.Maka, Anaby berusaha menenangkan diri, memasang senyum manis yang cuk
Berusaha mengusir rasa takut yang masih mendera, Anaby menghembuskan napas panjang. Saat ini, ia masih sehat, belum terkena penyakit TBC. Karena itu, ia tidak boleh menyerah dulu. Ia masih punya waktu untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu.Tanpa ragu, Anaby melangkah masuk ke rumahnya. Besok, ia berencana pergi ke toko barang antik, tempat Sandra membeli kalung. Ia akan membeli satu yang serupa, untuk memastikan apakah kalung tersebut penyebab dari alerginya. Dengan tekad yang bulat, Anaby bergegas ke kamar dan menyimpan benda pemberian Sandra. Kemudian, ia berjalan menuju dapur, mencari sosok Bi Padmi, pembantu setia keluarga mereka. Ia menemukan wanita paruh baya itu sedang sibuk memotong sayuran di dapur."Apa menu makan malam hari ini, Bi?" tanya Anaby sembari menggulung lengan bajunya.Bi Padmi menoleh dengan ekspresi terkejut. "Eh? Non Anaby ada di dapur?" katanya heran. "Saya akan memasak sop iga dan ayam lada hitam untuk Tuan Besar."Anaby mengernyit. "Ganti menu, Bi. A
Setelah daun pintu tertutup rapat, Michael melangkah ke arah dinding dan menyalakan lampu utama. Cahaya hangat segera menyapu seluruh ruangan, menghapus kesan remang yang sempat tercipta. Kilau lampu memantul di permukaan marmer dan kaca, memunculkan siluet kemewahan apartemen lantai delapan itu. Mata biru milik Michael bergerak tenang dan tajam, seperti bilah es yang bening. Pandangannya menelusuri tubuh kurus Anaby yang berdiri kikuk di ambang ruang. Mengunci langkah gadis itu, hingga membuat Anaby nyaris lupa bagaimana caranya bernapas normal.Tanpa berkata-kata panjang, ia menunjuk ke sofa berlapis kulit di tengah ruangan.“Duduklah,” ucap Michael tanpa nada.Dengan langkah ragu, Anaby menuruti permintaan itu. Ia duduk perlahan, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, tetapi tak berani bersandar sepenuhnya. Gadis itu bingung harus meletakkan tangan di mana, tidak tahu harus memandang ke arah mana.Di sisi lain, Michael masih berdiri tegak. Kedua lengannya bersedekap di depan da
Dengan tangan yang mencengkeram erat kemudi, Anaby memacu mobilnya menembus malam. Lampu-lampu jalan yang terpantul di kaca depan tampak buram, seperti garis-garis cahaya yang berlari menjauh. Sementara jiwa Anaby telah tertambat pada satu tujuan.Kecepatan mobilnya meningkat, tetapi pikirannya berlari jauh lebih kencang dari laju kendaraan yang ia kemudikan. Ada gemuruh dalam benaknya, campuran antara keyakinan dan keraguan, antara kerinduan dan ketakutan.Langkah ini bisa dianggap sembrono, bahkan barangkali memalukan—datang ke apartemen seorang pria di tengah malam, tanpa kabar, tanpa undangan. Hanya saja, Anaby tidak peduli lagi. Harga dirinya sudah terlalu letih untuk dijaga, dan logika telah lama kalah oleh harapan. Untuk kedua kalinya, ia bersedia jatuh dalam ketidakpastian jikalau itu satu-satunya jalan keluar dari jeratan Aslan. Marigold Residence menjulang dalam bayangan langit kota yang kelam. Bangunan itumegah sekaligus dingin dalam kemewahan yang tak bersuara.Setibanya
Bak seseorang yang baru saja menemukan permata terpendam di tengah reruntuhan, Aslan langsung memegang tangan Tuan Carlo. Tatapan matanya berbinar, dan senyum yang menggantung di bibirnya begitu lebar, seolah ucapan itu adalah kabar paling agung yang pernah ia dengar.“Saya … benar-benar berterima kasih, Tuan Carlo,” ucap Aslan terbata. “Saya berjanji akan segera menikahi Ana setelah Anda pulih. Saya mencintai Ana lebih dari segalanya.”Janji yang diucapkan Aslan membuat tenggorokan Anaby tercekat. Perutnya mual, mendidih dalam keengganan yang tak tertahankan. Rasanya seperti menelan racun pahit yang merayap hingga ke ujung tengkuk. Refleks, Anaby mengangkat tangannya dan menutup mulut yang tersembunyi di balik masker medis. Ia mencoba menahan desakan mual yang merambat dari dalam.Melihat reaksi itu, Aslan menoleh dengan raut wajah mengkerut, penuh kekhawatiran yang tampak meyakinkan. “Sayang, kau kenapa?” tanyanya lembut, melangkah setengah menuju Anaby.Anaby menggeleng kecil. Ta
“Papa, lebih baik istirahat dulu,” ujar Anaby, sembari mengelus punggung tangan sang ayah, yang masih terkulai lemah di telapak tangannya.Tatapannya lembut tetapi menyimpan kegelisahan yang belum terurai. Ia mencoba menenangkan sang ayah yang terlihat begitu rapuh di bawah sorotan lampu redup ICU. Pastilah tenaga sang ayah terkuras habis setelah mengalami serangan jantung. “Papa baru saja menjalani pemasangan ring,” lanjutnya lagi, dengan nada sabar dan penuh kasih, “jumlah kunjungan di ruang ICU dibatasi. Lagi pula, Papa belum boleh terlalu banyak berbicara. Nanti, kalau Papa sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, aku janji akan mengajak Aslan menemui Papa.”Namun, Tuan Carlo tak menyerah pada bujukan putrinya. Dengan mata yang terus menatap lekat wajah Anaby, ia kembali memanggil nama Aslan. Menyebutnya berulang kali meski suaranya terdengar patah-patah. Pria paruh baya itu seperti meniti celah-celah luka di tenggorokannya yang belum pulih.“Aslan, panggil… dia.”Anaby menggigit
Tanpa menunda lagi, Anaby menyusul perawat yang mendorong ranjang ayahnya keluar dari ruang Cath Lab. Wajah Tuan Carlo tampak pucat di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. Hanya garis tipis detak jantung di monitor, yang memberi tanda bahwa ia masih bertahan.Ketika mereka tiba di depan pintu ruang ICU, salah satu perawat menghentikan langkah Anaby.“Mohon tunggu di luar, Nona. Pasien belum sadarkan diri, dan masih dalam tahap observasi intensif. Setelah Beliau sadar, kami akan izinkan Nona masuk.”Anaby mengangguk pelan. Ia hanya berdiri mematung, menatap punggung para petugas medis yang mendorong ranjang ayahnya menuju ruang ICU. Lalu, dengan langkah gontai, ia kembali ke deretan bangku panjang yang sepi.Sembari menangkupkan kedua tangan, Anaby mengistirahatkan pikirannya yang letih oleh terlalu banyak kekhawatiran.Saat ini, ia belum bisa melihat langsung kondisi sang ayah, tetapi ia tetap bersyukur. Bersyukur karena ayahnya masih ada dan perjuangan hidupnya belum terputus.
Lampu-lampu neon di lorong rumah sakit menyorot wajah Anaby yang muram. Sementara jemarinya terus-menerus mengusap layar ponsel yang telah terkunci sejak lima menit lalu.Satu nama, satu suara, satu tawaran—semuanya masih bergemuruh dalam kepalanya tanpa henti. Tubuh Anaby bersandar lesu di dinding, tetapi dagunya menunduk sedikit, menatap lantai yang dingin seperti pikirannya. Kakinya bergerak gelisah. Sesekali menyilang dan kembali lurus, kemudian menggoyang ujung sepatu pelan tanpa irama. Besok malam. Marigold Residence. Sebuah pertemuan yang menjanjikan jawaban, tetapi juga bisa berujung pada kekecewaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Tawaran dari Michael bukan sekadar undangan biasa—itu seperti perjudian. Ia tidak tahu hasil akhirnya akan seperti apa. Lagi pula … kenapa harus di apartemen? Tempat yang begitu personal, begitu privat.Jika hanya ingin bicara, bukankah Michael bisa mengajaknya bertemu di kafe, taman atau lobi rumah sakit? Namun, pria itu malah menyuruhnya data
Pintu ruang Instalasi Gawat Darurat akhirnya terbuka dengan bunyi berdecit. Anaby sontak berdiri dari bangkunya, tubuhnya refleks bergerak seiring detak jantung yang tak menentu. Pandangannya langsung tertuju pada ranjang dorong yang meluncur di antara dua perawat berseragam biru. Di atasnya, terbaring sosok Tuan Carlo yang tampak begitu pucat, wajahnya diliputi selang oksigen dan tangannya terkulai lemah di sisi tubuh.“Mohon beri jalan, kami akan membawa pasien ke cath lab,” ucap salah satu perawat kepada Anaby.Tanpa membuang waktu, Anaby segera menyusul langkah mereka. Hatinya kian dirundung cemas saat melihat sang ayah didorong menuju ruang tindakan, tempat prosedur pemasangan ring jantung akan dilakukan.Sebelum pintu tertutup rapat, Anaby menghampiri salah satu dokter yang bersiap memasuki ruangan.“Berapa lama ini akan berlangsung, Dok?” tanyanya, dengan suara parau.“Maksimal dua jam, Nona. Kami akan melakukan yang terbaik,” jawab sang dokter singkat, sebelum menghilang di b
"Apakah... Papa saya akan baik-baik saja setelah menjalani prosedur itu, Dokter?" tanya Anaby, suaranya lirih, dipenuhi rasa takut sekaligus harapan.“Tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Namun, pasien akan membutuhkan perawatan intensif, serta perubahan gaya hidup yang cukup ketat,” jawab Dokter Roland, menatap Anaby penuh pengertian.Mendengar penjelasan dari sang dokter, Anaby mengusap air matanya dengan punggung tangan. Kemudian, ia membungkuk dalam-dalam, sebelum mengambil keputusan. "Kalau begitu saya setuju, Dokter. Tolong selamatkan Papa saya,” putus Anaby, tanpa keraguan.Dokter Roland mengangguk dengan lembut. “Kami akan segera mempersiapkan prosedurnya. Silakan Anda ke bagian administrasi dulu, dan menandatangani formulir persetujuan medis."Usai berkata demikian, dokter itu berpamitan dengan anggukan hormat lalu masuk ke ruang tindakan. Begitu suasana menjadi sepi, Nyonya Kemala mendekati Anaby sembari berkacak pinggang. “Ana, kenapa kau mengambil keputusan tanpa memin
Hati Anaby serasa diremas-remas oleh tangan tak kasatmata. Dengan tubuh gemetar, ia menopang tubuh Tuan Carlo yang terkulai tak berdaya. Bibir pria paruh baya itu membiru dan denyut nadinya kian melemah.“Seseorang, tolong! Laura! Mama! Cepat panggil sopir!” teriak Anaby lantang, suaranya serak dipenuhi rasa takut akan kehilangan ayahnya. “Kita harus segera membawa Papa ke rumah sakit!”Alih-alih bergerak, Laura hanya memandang Anaby dengan tatapan sinis, seolah menikmati kekacauan yang terjadi. "Kau yang membuat ulah di sini, Ana," sergah Laura dingin, melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa kau malah menyuruh kami?"Nyonya Kemala, dengan wajah tak kalah ketus, ikut menimpali, "Kau yang harus bertanggungjawab atas kondisi Carlo. Semua orang akan tahu bahwa kau seorang putri yang durhaka!”Anaby, yang hatinya sudah koyak oleh perasaan bersalah dan cemas, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Gadis itu memilih untuk tidak meladeni kedua orang yang hanya bisa memperkeruh suasana. Le