“Papa, lebih baik istirahat dulu,” ujar Anaby, sembari mengelus punggung tangan sang ayah, yang masih terkulai lemah di telapak tangannya.
Tatapannya lembut tetapi menyimpan kegelisahan yang belum terurai. Ia mencoba menenangkan sang ayah yang terlihat begitu rapuh di bawah sorotan lampu redup ICU. Pastilah tenaga sang ayah terkuras habis setelah mengalami serangan jantung.
“Papa baru saja menjalani pemasangan ring,” lanjutnya lagi, dengan nada sabar dan penuh kasih, “jumlah kunjungan di ruang ICU dibatasi. Lagi pula, Papa belum boleh terlalu banyak berbicara. Nanti, kalau Papa sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, aku janji akan mengajak Aslan menemui Papa.”
Namun, Tuan Carlo tak menyerah pada bujukan putrinya. Dengan mata yang terus menatap lekat wajah Anaby, ia kembali memanggil nama Aslan. Menyebutnya berulang kali meski suaranya terdengar patah-patah. Pria paruh baya itu seperti meniti celah-celah luka di tenggorokannya yang belum pulih.
“Aslan, panggil… dia.”
Anaby menggigit