Pagi sudah berlalu. Elena membatalkan keberangkatannya pagi ini karena harus menunggu Daniel yang tiba-tiba pingsan di samping mobilnya tadi malam. Untung saja ada seseorang di sekitar itu yang membantu Elena memapah Daniel ke rumahnya, dan akhirnya mau tak mau Elena terpaksa menginap di rumah pria itu.
“Kau sudah bangun?” Elena menyadari gerak Daniel yang tampak terkejut saat melihatnya duduk dengan kedua tangan dilipat di atas dada. Untung saja ada kursi di sana. “K-Kenapa kau bisa ada di rumahku? Bukankah tadi malam—” “Kau mau aku jelaskan bagian kau pingsan atau bagian saat kau memuntahkan isi perutmu di depan pintu?” Daniel mencoba mengingat dengan cermat apa yang dikatakan bosnya. Meski masih pusing, dia mencoba duduk untuk mendengar alasan Elena membantunya tadi malam. “Kita buat kontraknya sekarang. Aku tidak punya waktu menunggumu sampai sadar.” “K-Kontrak apa?” Spontan, ingatan Daniel berputar tentang kejadian tadi malam. “Apa kau mau bertunangan denganku? Kau bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi dengan gaji yang cukup untuk membeli rumah dalam tiga bulan.” Daniel melotot ke arah Elena sembari bergerak maju mendekatinya. Pria yang membawanya semalam sudah pergi, meninggalkan Daniel tepat di depan pintu rumahnya. “Aku sudah muak diremehkan. Apa itu bisa mengubah nasibku?” Tentu saja Elena mengangguk cepat. Cara bicara Daniel menunjukkan bahwa ia sudah sadar dari pingsan dan mabuknya, dan tak perlu dibantu lagi menuju kamar. “Aku setuju! Kita bertunangan, dan aku bebas dari ocehan mereka!” teriak Daniel, lalu memuntahkan isi perutnya lagi di depan pintu kamar. Sambil memegang kepala, Daniel tersenyum hambar dengan wajah bonyok seperti orang habis berkelahi. Ia meminta maaf karena Elena harus membersihkan bekas muntahnya, dan mengatakan bahwa malam itu ia tidak sadar sama sekali saat menyetujui tawaran Elena. “Sia-sia saja aku menunggu semalaman. Padahal, posisi Johan masih kosong dan perusahaan butuh pengganti. Sayang sekali,” ujar Elena sambil berdiri dan meraih tasnya di atas meja untuk keluar dari kamar tersebut. Seakan merasa usahanya akan berhasil, Elena sengaja memperlambat langkahnya, membiarkan Daniel yang akhirnya angkat suara. “Siapa yang tidak mau posisi itu ... tapi aku tidak mau mengambil risiko yang lebih besar.” “Semua pasti ada jalan keluarnya, hanya saja manusia sering tidak mau mencari.” Elena sengaja berbalik, menunggu respons Daniel selanjutnya. Dengan berbagai tawaran dan pertimbangan agar mereka tidak dicurigai oleh kantor Imigrasi, akhirnya Daniel dengan berat hati setuju. “Tapi kalau kau merasa terpaksa, aku tidak bisa melanjutkannya. Ini pekerjaan yang harus menguntungkan kedua pihak.” “Baiklah. Aku setuju dengan sukarela, dan kita bisa bahas kontraknya.” Elena tersenyum puas. Usahanya membuahkan hasil. Saat membicarakan kontrak tersebut, tiba-tiba ponsel Elena berdering. Ada panggilan masuk: Adi! Dengan tergesa-gesa, Elena mengangkatnya sambil keluar dari kamar Daniel. Jantungnya berpacu kencang. “Aku akan segera kembali, percayalah.” Elena setengah meyakinkan Adi ---tunangannya--- yang sedang menjalani tugas sebagai dokter di desa terpencil di Cakrawana. Meski berada di Molgrad, Elena tetap sering berkomunikasi dengan tunangannya untuk menjaga kesetiaan yang telah dibangun sebelum ia bekerja di Castelvaux. “Hati-hati. Kabari aku kalau pekerjaanmu sudah selesai,” ucap Adi sebelum Elena menutup panggilan. Sesaat kemudian, Elena kembali masuk ke kamar dan tak mendapati Daniel di sana. Saat mendengar suara shower dari kamar mandi, Elena tahu itu Daniel dan segera keluar untuk menunggunya di ruang tamu. “Kita ke kantor Imigrasi dulu. Proyek untuk minggu ini tidak bisa ditunda lagi.” Daniel yang baru selesai membersihkan diri, menawarkan untuk sarapan dulu sebelum pergi ke kantor Imigrasi. Perutnya lebih penting pagi ini daripada harus menahan lapar. Elena setuju dan menawarkan sarapan makanan siap saji di dekat kantor Imigrasi. Setelah selesai sarapan, mereka langsung ke kantor Imigrasi yang berdekatan dengan tempat mereka makan. Saat masuk, suasana masih tenang karena pemilik ruangan belum berada di tempat. “Kau yakin kita bisa melakukan ini? Ada banyak risikonya.” “Kau mau membuatku kerja dua kali karena rasa curigamu?” Pertanyaan Elena membuat Daniel yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja selama ditangani oleh bosnya yang punya tekad kuat. Tak berapa lama, seorang wanita paruh baya masuk ke ruangan dengan ponsel di telinga. “Besok aku ke sana. Siapkan berkas yang dibutuhkan,” ucapnya sebelum menutup panggilan dan duduk di kursi kerja yang menghadap Daniel dan Elena. Elena menyodorkan amplop yang diterimanya kemarin dari atasannya kepada wanita itu, sambil memperhatikan ekspresi saat amplop dibuka. “Lantas, apa tujuanmu?” “Aku dan pria ini sudah bertunangan. Aku rasa ini bisa dipertimbangkan oleh kantor Imigrasi. Tidak mungkin kalian memisahkan kami, bukan?” Wanita itu menatap Elena dengan datar, kemudian mengalihkan pandangan ke Daniel untuk memastikan bahwa pernyataan Elena bukan main-main. Daniel mengangguk setuju. “Pernyataan seperti kalian sudah sering memenuhi kantor ini. Dan nyatanya, mereka berakhir di penjara karena mempermainkan urusan negara,” tegas Ms. Callahan ---petugas Imigrasi--- sambil mengembalikan amplop resmi tersebut. “T-Tapi kami tidak berbohong. Kami akan ke kantor sipil untuk mendaftarkan pernikahan kami,” bantah Elena dengan cepat. Ia juga meyakinkan Daniel bahwa sebagian proyeknya akan diserahkan kepadanya sebagai tambahan tawaran. “Aku akan memberikan waktu sampai jam satu siang nanti. Jangan buat aku menunggu. Masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan.” Elena setuju dan segera mengajak Daniel ke kantor sipil. Kantor itu penuh sesak, dan Elena hampir menyerah menunggu antrean, tetapi Daniel menyemangatinya agar tidak menyerah karena ia sendiri akan diuntungkan dari ini semua. “Sudah jam setengah dua belas. Kita harus pergi sekarang sebelum jalanan kota macet,” ujar Elena mengajak Daniel cepat. Surat pernikahan mereka sudah diterima dan tidak ada waktu lagi untuk menundanya. Begitu tiba, Elena segera menyerahkannya kepada Ms. Callahan yang sudah berada di sana. “Jika aku menemukan kebohongan dari pernikahan ini, sanksi yang akan kalian terima cukup berat, terutama kamu!” ucap Ms. Callahan sambil menunjuk Daniel, dengan sorot mata yang tajam. Demi meyakinkan Ms. Callahan, Daniel tiba-tiba angkat suara. “Kami akan menemui keluargaku secepatnya. Kami akan tunjukkan beberapa foto sebagai bukti kalau kami tidak berbohong,” ujarnya sambil menarik napas karena berbicara tanpa pikir panjang. “Kau yakin?” bisik Elena pelan di telinga Daniel. Gerak tubuh Elena jelas menunjukkan bahwa ia menyangkal dan tidak setuju dengan ucapan Daniel. Namun, tiba-tiba saja Daniel memegang tangannya.