LOGIN“Kenapa tidak bilang saja pesta pernikahannya di sini?”
“Tidak bisa, Ms. Callahan tidak mau hanya ucapan saja. Kau tidak lihat dia juga ikut untuk membuktikan apa yang kita katakan? Dia bilang foto bisa diedit,” di akhir ucapannya, Daniel sedikit menekankan bahwa ide ini adalah yang paling tepat dibandingkan ide Elena. “Kenapa kau lebih semangat daripada aku?” Saat memasuki pintu pesawat, Elena menyipitkan mata sambil sedikit kaget. Padahal seharusnya Elena yang lebih antusias karena ini menyangkut visa dan pekerjaannya. Tapi Elena tak ambil pusing, karena dia juga diuntungkan di sini. “Kursi bisnis di negara ini memang bagus, tidak membuatku sesak.” “Apa di negaramu sama?” Elena tentu saja mengangguk, tapi ia menjelaskan bahwa warga di Cakrawana tidak semua sering menaiki pesawat seperti dirinya. Namun, Cakrawana memiliki bandara dan pesawat dengan kualitas bagus serta menjaga kenyamanan penumpang. Elena percaya diri. “Aku sudah menghubungi keluargaku lebih awal. Mereka bilang akan mengadakan pesta kecil untuk menyambutmu, dan kau tidak masalah, kan?” “Mungkin. Aku belum terbiasa pesta penyambutan seperti ini. Lagipula, kita memang harus bersandiwara, untuk meyakinkan wanita di depan sana.” Elena menunjuk dengan ujung dagunya. Dia tak habis pikir kenapa wanita itu malah ingin ikut, seperti mencampuri urusan pribadinya, pikir Elena. Tapi bagaimanapun, dia harus menerima konsekuensi dari ide yang awalnya dia buat. Mereka tiba, namun perjalanan panjang tersebut belum selesai saat mereka tiba di Tenebris. Masih ada perjalanan yang harus mereka tempuh lagi menggunakan pesawat kecil hingga benar-benar sampai di kampung halaman Daniel, yaitu Maple Hollow. “Seberapa jauh, sih, rumahmu?” “Bagiku tidaklah jauh. Namun melihat kau yang kesusahan membawa barang, tentu saja bagimu ini adalah perjalanan yang cukup menyusahkan,” balas Daniel, yang melihat Elena bersusah payah membawa barang di bandara kota Tenebris tersebut. “Masih ada dua perjalanan lagi. Kau siap?” “HAH?! Kau mau membunuhku?! Tidak bisa kita langsung mengambil tiket pesawat tepat di depan rumahmu saja?!” Daniel hanya diam. Kali ini dia puas menjahili Elena yang biasanya selalu memerintah. Setelah mendengar ocehan Elena tentang pesawat ekonomi yang dipilih Daniel, pria itu menelpon ibunya dan mengatakan mereka akan segera sampai di Bandara Maple Hollow. “Akhirnya diam juga,” gumam Daniel saat melihat Elena yang tertidur setelah 10 menit perjalanan. Memang, untuk orang yang tidak pernah mendatangi Maple Hollow akan berpikiran sama seperti Elena. Setelah sampai, dia membangunkan Elena dan membantunya turun dari pesawat. Ada ibu serta neneknya di sana yang sudah menyambut mereka berdua. “Pasti kalian lelah. Nenek sudah siapkan semua yang kalian butuhkan, ayo,” ujar wanita lanjut usia tersebut yang ternyata nenek Daniel. Terlihat antusias menyambut Elena. Tidak naik mobil atau pesawat untuk menuju rumah Daniel, tapi menggunakan perahu yang cukup untuk menampung empat orang termasuk nahkoda yang membawanya. Elena sampai berpikir, apa Daniel tinggal di desa terpencil yang jauh dari kota? “Daniel, kamu bantu Elena bawa barangnya,” pinta ibunya saat melihat Elena kesusahan saat turun dari perahu menuju pelabuhan. “Dia bisa mengurusnya sendiri. Dia terbiasa mandiri.” Ucapan Daniel dibarengi dengan senyum di ujung bibirnya yang terangkat. Lagi-lagi, dia puas menjahili Elena. Elena dengan kesal membawa barang bawaannya yang cukup banyak, persis seperti orang yang akan pindah. Saat tiba di rumah Daniel, dia terkejut melihat banyak orang berada di sana sembari menyambut mereka dengan senyum bahagia. “Sepertinya Anda disambut cukup hangat di keluarga ini.” Elena hampir melupakan Ms. Callahan yang juga ikut bersama mereka. Setelah mengucapkan itu, wanita paruh baya tersebut malah ikut serta dengan sambutan dari keluarga Daniel yang sudah seperti hampir sebagian warga Maple Hollow. “Ini yang kau sebut penyambutan kecil-kecilan?” tanya Elena menghampiri Daniel, yang juga sama terkejutnya. Ibunya meminta salah satu kerabat untuk membantu Elena membawa seluruh barangnya menuju ruang peristirahatan di salah satu rumah itu. “Ibu, apa yang kau lakukan? Bukannya aku minta hanya keluarga kecil kita saja, kenapa kau mengundang hampir satu desa?” Melihat raut wajah anaknya yang bingung, Maura ---ibunya Daniel-- menepuk pelan bahu putranya. “Kau tahu, keluarga kita ini cukup dikenal di Maple Hollow. Tentu saja aku harus berbagi kebahagiaan dengan mereka.” Daniel menghela napas setelah mendengarnya. Sesaat kemudian, Ms. Callahan mendekati ibu Daniel. “Aku setuju dengan ide penyambutan seperti ini. Bukankah lebih bagus jika semua orang tahu kalian sudah menikah?” Tambahan dari Ms. Callahan membuat mereka berdua terlihat seperti orang bodoh, apalagi ibunya tampak senang dengan pendapat wanita paruh baya itu. Melihat gerak-gerik Elena yang belum terbiasa dengan karakter keluarga Daniel, membuat Ms. Callahan menyipitkan matanya. “Ayahmu ada di sana. Sudah lama kau tidak mengobrol dengannya,” ungkap ibunya tulus. Ada perselisihan yang belum selesai antara ayah dan anak sejak Daniel memutuskan pergi bekerja di Molgrad. Ayahnya memang sosok keras kepala seperti dirinya. Karena desakan ibunya, dia akhirnya mengalah. Saat sosok elegan Elena yang berbeda dengan keluarga Daniel mengundang rasa penasaran, Lily, adik perempuan Daniel. Dia mendekati Elena yang sedang sendirian. “Sepertinya kau tidak cocok dengan keluarga kami. Saat aku mendengar Kak Daniel tiba-tiba menikah, membuatku tidak percaya, apalagi yang dia nikahi gadis sepertimu.” Ingin rasanya Elena memukul kepala gadis di depannya ini dengan kuat. Cara bicaranya yang tidak sopan hampir membuat Elena habis kesabaran. “Kami tidak perlu pacaran untuk menikah. Bukankah orang dewasa hanya membutuhkan kepastian, bukan sekadar omongan?” Elena menjerit bangga dalam hatinya. Dia ingin menunjukkan bagaimana menghadapi gadis remaja seperti Lily. “Kak Daniel menyukai daging asap yang terkenal dari kota kami. Kau juga tahu itu, kan?” Elena mengangguk cepat. Dia tidak tahu pasti bagaimana kehidupan asistennya itu. Yang pasti, dia akan setuju apa pun yang berkaitan dengan Daniel agar tidak dicurigai. “Benarkah? Padahal Kak Daniel tidak suka ikan asap semenjak SMA. Apa benar kau menikahinya karena cinta?” Lily mendekatkan wajahnya sambil menyipitkan mata. Jebakannya sukses membuat Elena grogi dan bingung. Dia tahu, pernikahan kakak laki-lakinya itu tidak masuk akal. Setelah lama tidak ada kabar, tiba-tiba saja menikah membuat Lily tidak percaya, tidak seperti ibu dan neneknya yang langsung senang begitu mendengarnya. Tanpa disadari, Ms. Callahan yang kebetulan lewat langsung menguping dari balik dinding dekat mereka. Ia ingin mencatat berbagai hal yang berbau mencurigakan dari pernikahan mereka. Lily yang melihat ekor mata Elena seperti mencari sesuatu, tertawa mengejek. “Apa kamu butuh bantuan Kak Daniel?” Meski di dalam rumah itu ramai, namun Elena merasa sendiri dan terintimidasi dengan berbagai pertanyaan lain yang Lily ajukan. Apalagi dia belum melihat batang hidung Daniel. “Lily, jika kau belum bisa menerimaku, setidaknya kau harus menghargai aku yang lebih tua darimu.” Gadis itu menyela dengan pergi meninggalkan Elena, tak berapa lama tiba-tiba saja Rose ---nenek Daniel--- menarik lengannya ke tempat mereka berkumpul.Cahaya matahari menembus tirai kamar dengan lembut, menghangatkan udara pagi yang segar. Burung-burung di luar jendela berkicau riang, dan dari dapur terdengar samar suara panci serta aroma kopi yang baru diseduh. Elena masih terlelap di pelukan Daniel ketika pintu kamar tiba-tiba diketuk keras. “Bangun! Hei, pengantin baru! Sudah jam delapan, kalian mau tidur sampai siang?” suara ceria itu jelas milik Lily, adik Daniel. Daniel bergumam pelan, separuh sadar. “Mmhh… Lily… lima menit lagi…” Pintu terbuka sedikit, dan kepala Lily menyembul masuk. “Lima menit? Lima menitmu bisa jadi satu jam, Kak. Mama nyuruh turun sarapan, semua orang udah nunggu.” Elena langsung membuka mata, panik kecil. Ia menyadari posisi mereka masih berpelukan, rambutnya berantakan dan selimut agak melorot. “Lily! Kau nggak bisa asal masuk begini—” Lily tertawa kecil, menutup pintu lagi tapi masih sempat menyelipkan kalimat, “Kau sekarang bagian dari keluarga, kak Elena. Nggak usah malu-malu!” Pintu te
Setahun kemudian Musim semi membawa keharuman manis ke seluruh taman pusaka yang kini dipenuhi bunga liar. Tempat yang dulu hanyalah proyek kini berubah menjadi lokasi paling indah di Maple Hollow — dan di sinilah, di bawah langit biru muda, Elena dan Daniel akhirnya mengucapkan janji suci mereka. Tamu-tamu dari berbagai kalangan berbeda berkumpul: rekan kerja dari Molgrad yang sibuk mengambil foto, keluarga besar Daniel Harper yang duduk di barisan depan bersama ibu dan nenek Rose, hingga keluarga Elena yang datang dari Cakrawana dengan pakaian tradisional lembut berwarna biru dan emas. Suasana terasa hangat, seolah budaya dua tempat itu menyatu dalam satu napas cinta. Daniel berdiri di altar sederhana yang dihiasi daun maple dan kain tenun khas Cakrawana. Ketika Elena berjalan perlahan menghampirinya dengan gaun putih gading dan buket bunga liar di tangan, Daniel sampai kehilangan kata. Ia tersenyum gugup tapi matanya tak lepas dari Elena. “Kalau aku pingsan, tolong tangk
Tiga bulan berlalu sejak Daniel mulai mengerjakan proyek besarnya. Kini, rancangan itu akhirnya rampung sepenuhnya. Hanya tinggal menunggu tahap pembangunan fisik selama dua bulan ke depan. Saat Daniel menatap hasil desain yang terbentang di layar komputernya, ia tak bisa menahan senyum kecil — rasa puas sekaligus lega bercampur jadi satu. Proyek ini bukan sembarang taman. Ia dan Elena menamainya “Taman Lintas Budaya”, sebuah ruang hijau yang memadukan keindahan khas Cakrawana — tempat asal Elena — dengan nuansa hangat dan arsitektur khas Molgrad. Setiap detailnya seolah bercerita tentang perjalanan mereka; tentang dua dunia yang berbeda namun akhirnya berpadu menjadi satu kesatuan yang harmonis. Sejak Daniel menyatakan perasaannya tiga bulan lalu, hubungan mereka berubah menjadi sesuatu yang nyata. Tidak lagi sekadar rekan kerja atau pasangan pura-pura demi visa. Kini mereka benar-benar hidup bersama, berbagi ruang, waktu, bahkan rutinitas kecil sehari-hari yang dulu terasa sepel
Sore itu, langit Molgrad mulai berwarna jingga saat para karyawan beranjak pulang dari kantor. Elena sempat menoleh ke arah meja Daniel yang kosong.“Kamu nggak pulang bareng?” tanyanya sebelum berpisah. Daniel tersenyum tipis, menatap layar laptopnya. "Aku ada urusan sedikit, kamu duluan aja. Jangan lupa makan, ya.” Elena mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan pulang kelamaan.” “Janji,” jawab Daniel dengan senyum kecil. Namun janji itu ternyata membuat Elena menunggu hingga malam. Waktu terus berjalan. Pukul delapan malam, Daniel belum juga pulang. Telepon yang Elena lakukan hanya berakhir di nada sambung tanpa jawaban. Hatinya mulai tak tenang.“Dia jarang begini…” gumamnya cemas sambil menatap layar ponsel. Pukul sepuluh lewat, baru sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal."Halo?” Suara di seberang terdengar tergesa, distorsi samar di antara deru angin. “Anda Elena, istri Daniel Harper?” “Iya, benar. Ada apa ini?” “Mohon maaf, kami butuh Anda segera datang ke a
Keesokan paginya, udara Molgrad terasa sejuk dengan langit yang cerah. Elena dan Daniel berjalan berdampingan di trotoar bandara sambil membawa koper besar milik ayah Daniel. Lelaki paruh baya itu tampak santai, tapi senyumnya menyimpan sedikit berat hati. “Kalian nggak usah repot-repot nganter, Ayah bisa naik taksi sendiri,” katanya sambil tertawa kecil. “Nggak bisa begitu, Yah,” sahut Daniel cepat. “Nanti Nenek kirim surat marah kalau tahu kita nggak nganterin Ayah.” “Benar, Yah,” tambah Elena tersenyum. “Nanti beliau pikir kita anak durhaka.” Mereka bertiga tertawa bersama. Begitu sampai di area keberangkatan, suasananya mulai terasa sendu. Suara pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara, dan aroma kopi dari kafe bandara mengiringi keheningan kecil di antara mereka. Ayah Daniel menatap keduanya dengan lembut.“Daniel, jaga dirimu baik-baik, Nak. Ayah tahu kamu keras kepala… tapi kali ini keras kepalamu mengarah ke hal yang benar.” Daniel menunduk sedikit, tersen
Daniel menatap ayahnya cukup lama, mencoba mencerna kabar itu. Pindah ke Maple Hollow? Kota tempat semuanya dimulai — dan juga tempat semua kenangan masa lalu tertinggal. Elena menunduk, memikirkan banyak hal yang akan berubah jika mereka benar-benar menerima tawaran itu. Namun, sebelum suasana menjadi terlalu berat, Daniel akhirnya tersenyum kecil. "Yah… kalau itu memang yang terbaik untuk pengembangan taman kota dan proyek baru, aku akan pikirkan,” katanya tenang. “Tapi kali ini aku nggak mau meninggalkan Molgrad sepenuhnya. Aku masih punya mimpi yang belum selesai di sini.” Ayahnya menatap anaknya dengan tatapan bangga."Ayah sudah tebaik kamu akan jawab apa"Elena menoleh ke Daniel, "Kamu beneran mau milih tinggal di Molgrad?" “Iya. Aku bisa mengelola usaha pembibitan keluarga dari jarak jauh. Lagipula, sekarang semua bisa dilakukan online. Ada manajer di sana, aku bisa kontrol dari sini,” jelas Daniel dengan mantap. Elena menatapnya, tersenyum lebar.“Itu artinya kamu bi







