Beranda / Romansa / Menikah Karena Visa / BAB 1 Awal dari semuanya

Share

Menikah Karena Visa
Menikah Karena Visa
Penulis: Kim Hwang Ra

BAB 1 Awal dari semuanya

Penulis: Kim Hwang Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 12:49:43

Elena berdiri menatap lantai ruang kerja atasannya, menunduk sambil sesekali memainkan ujung pakaiannya karena gelisah mendengar perkataan pria yang duduk di meja besar di depannya.

“Aku memanggilmu ke sini untuk menyampaikan surat dari kantor Imigrasi.”

Pria itu mendorong sebuah amplop dengan kop resmi ke arahnya, lalu mengetukkan jari telunjuknya di atas meja beberapa kali.

“Tap—” Belum sempat Elena membuka suara, pria itu kembali berbicara.

“Aku sudah memperingatkanmu dari beberapa bulan lalu untuk melepaskan proyek ini dan mengambil cuti untuk memperpanjang visa. Sekarang percuma, aku sama sekali tidak bisa membantumu. Kau bisa kapan pun dideportasi atau ditahan pihak Imigrasi.”

“Maafkan aku. Kukira proyek ini akan siap minggu ini, dan aku bisa kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa.”

Elena kembali menunduk, seakan ingin menjelaskan bahwa ia menyesal.

“Aku sarankan kau segera memesan tiket kembali sebelum visamu kedaluwarsa.”

Pria itu menghela napas, lalu memosisikan punggungnya ke sandaran kursi, menunjukkan bahwa urusan Elena sudah selesai.

Elena mulai bergerak, bersiap keluar dari ruangan atasannya. Namun, belum sempat ia melangkah, pria itu kembali memperingatkan dengan tegas:

“Ingat satu hal. Perusahaan ini juga ikut terancam jika mempekerjakan pekerja ilegal. Jadi, jangan membuatku berada dalam posisi itu!”

Elena mengangguk paham. Setelah keluar dari ruangan tersebut, ia menghampiri meja kerjanya. Tiga anggota timnya langsung mendekat, ingin tahu alasan atasan memanggilnya.

“Malam ini aku mengundang kalian. Kita berkumpul di Café Zone.”

“Kau berulang tahun?”

Daniel, asistennya yang juga salah satu anggota tim, bertanya. Tak biasanya Elena bersikap seperti itu, terutama dengan raut wajah yang tak tenang.

“Apa ada masalah?” Daniel bertanya lagi.

“Tenang saja. Besok aku akan kembali ke Cakrawana untuk sementara, dan aku harap kalian bisa mandiri saat aku tidak ada.”

“Kau mengatakannya seperti perpisahan terakhir.” Salah satu dari mereka menimpali karena Elena mengatakannya dengan wajah serius. Elena duduk di kursinya, menatap satu per satu benda di atas meja, seakan ini terakhir kalinya ia melihatnya.

“Ada berkas yang aku tinggalkan. Kau bisa urus sisanya, Daniel?”

“Mungkin. Kita harus siapkan proyek ini secepatnya.”

Sorot mata Elena tak sanggup menatap wajah Daniel yang cukup bersemangat mengerjakan proyek ini. Padahal, ini adalah mimpinya untuk bisa bekerja di perusahaan Castelvaux. Tapi kini ia harus menghadapi kenyataan soal visa yang sudah kedaluwarsa. Elena harus mulai berkemas untuk pulang.

“Kau pulang secepat ini? Seperti nggak biasanya. Apa ada masalah di ruangan tadi?”

Daniel melihat jam yang masih menunjukkan pukul lima sore. Biasanya, Elena baru pulang pukul enam, karena saat orang-orang sudah pergi, itu adalah waktu paling sunyi dan ia bisa fokus bekerja.

Elena hanya tersenyum singkat dan segera meminta Daniel untuk membawa barang miliknya ke parkiran mobil. Daniel melihat isi kotak yang dibawanya.

“Kau pindah apartemen?”

“Apa? Aku hanya membawa barangku, dan kau langsung berpikir aku pindah apartemen?”

“Bukan seperti itu. Masalahnya, barang yang ada di dalam ini hampir sebagian besar adalah barang yang ada di meja kerjamu.” Daniel meletakkan kardus tersebut ke bagasi belakang milik Elena dan merapikannya dengan teliti agar semua barang muat.

“Kau yang menyetir hari ini. Tanganku sakit.”

Elena berpindah duduk ke kursi belakang, membiarkan Daniel mengambil alih kemudi dan membawa mobil menuju rumahnya. Saat tiba di rumah Elena, Daniel masih bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Apa aku boleh di sini saja sampai acara nanti malam?”

Elena menaikkan sebelah alisnya, membuka pintu rumah sembari melirik ke arah Daniel, kemudian berkata,

“Kebetulan sekali. Lampu di ruang kerjaku perlu diganti, dan nanti malam kau bisa sekaligus mengantarku ke kafe.” Elena mempersilakan Daniel masuk.

Rumah milik wanita itu tidak terlalu besar, namun cukup luas untuk ditinggali satu orang. Meski beberapa kali Daniel mendatangi rumah Elena, ia tidak pernah tinggal lebih dari lima menit seperti sekarang. Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah foto di atas meja.

“Keluargamu?” Daniel bertanya sembari menunjuk ke arah foto tersebut.

Elena mengangguk, namun bola matanya seakan mengatakan hal berbeda. Ia cepat-cepat mengambil foto tersebut.

Malam pun tiba, dan Elena serta Daniel sudah sampai di kafe yang dijanjikan sebelumnya. Setelah memesan beberapa makanan, Elena mempersilakan mereka menikmatinya.

“Proyekmu belum selesai. Apa tidak masalah jika kembali ke Cakrawana besok?”

Elena menghela napas mendengar pertanyaan salah satu anggota tim, lalu mengambil secangkir mocktail yang sudah disuguhkan Daniel sejak tadi. Elena memang bukan tipe peminum seperti yang lainnya. Ia meneguk satu gelas dengan cepat.

“Visa milikku akan kedaluwarsa, dan aku butuh kembali ke Cakrawana untuk memperpanjangnya. Aku tidak punya cara lain untuk membantah atasan.”

“Apa kantor Imigrasi yang menghubungimu?”

“Bukan aku, tapi perusahaan yang menerimanya. Bisa mati aku kalau tetap melanjutkan proyek ini dengan status visa yang sudah kedaluwarsa.”

Gadis di depan Elena terus bertanya seakan tak percaya. Meski lebih tua beberapa bulan dari Elena, ia tetap menghargai Elena sebagai ketua tim mereka. Kepala mereka berempat tampak berpikir keras, mencari cara menyelamatkan Elena. Semua juga tahu bahwa Elena sangat mencintai pekerjaannya, sampai dijuluki “Ratu Lembur” di perusahaan.

“Coba menikah. Mungkin saja kantor Imigrasi bisa tertipu,” celetuk Daniel.

“Sepertinya kau sudah mabuk, Daniel. Bicaramu mulai ngelantur,” ucap pria di sampingnya sambil menepis tangan Daniel saat memperagakan aksi melamar seseorang. Saat melihat pria itu bergidik ngeri, mereka semua tertawa.

“Benar juga! Kenapa tidak aku coba saja!”

Teriak Elena tiba-tiba sambil memukul meja, membuat semua orang kaget. Daniel pun seakan tersadar dari mabuknya.

“Sepertinya mocktail juga bisa bikin orang mabuk. Nggak usah serius menanggapi ucapan Daniel. Dia memang suka asal bicara kalau sudah mabuk,” timpal pria di sebelah Daniel. Mana mungkin Elena akan seserius itu menanggapi gurauan tadi?

Namun, sampai acara selesai, Elena masih memikirkan ide yang dilontarkan Daniel tadi. Karena asistennya itu masih dalam keadaan mabuk, terpaksa Elena yang menyetir sampai ke depan rumah kontrakan Daniel.

“Daniel.”

Elena memberanikan diri menahan langkah asistennya yang hendak keluar dari mobil. Daniel yang sudah hampir setengah sadar menoleh ke belakang, tubuhnya sudah setengah keluar mobil.

“Ayo tunangan. Bantu aku mewujudkan ide yang kau bilang.”

Daniel, dengan setengah kesadarannya, berusaha menyeimbangkan tubuh. Perlahan ia mundur dengan langkah pendek, lalu menatap Elena di dalam mobil dengan tatapan bingung.

“Denganku?”

Elena mengangguk cepat, tanpa beban.

Lalu ... Daniel pingsan setelahnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Wei Yun
Ide yang menginspirasi...
goodnovel comment avatar
KiraYume
langsung greget...
goodnovel comment avatar
Seruling Emas
Wkwkwkk.. pingsan karena dilanar ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikah Karena Visa   BAB 194 : Cerita Anak Remaja

    Beberapa menit terasa begitu lama. Lily duduk diapit Elena dan Daniel, kedua tangannya terus bergetar. Ketika akhirnya pintu IGD terbuka, seorang dokter keluar sambil melepas masker. “Siapa keluarga pasien?” tanyanya. Spontan Lily berdiri, suaranya terbata, “Saya… eh, teman dekatnya, Dok. Bagaimana keadaan Arvin?” Dokter itu menatap mereka bertiga, lalu menjelaskan dengan tenang, “Syukurlah, luka yang dialami tidak terlalu parah. Ada patah ringan di lengan kirinya akibat benturan, serta beberapa memar di tubuh. Tapi tidak ada pendarahan dalam. Untuk sementara, dia harus dirawat inap beberapa hari agar kondisi stabil.” Lily menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis lega. Daniel merangkul bahu adiknya, “Dengar, kan? Dia selamat.” Elena ikut menghela napas lega, lalu menambahkan, “Kita tetap harus menjaga dia. Kalau bukan karena dia, kamu yang mungkin dalam kondisi itu, Lily.” Tak lama kemudian, perawat memanggil mereka untuk melihat Arvin yang sudah dipindahkan ke ruang

  • Menikah Karena Visa   BAB 193 : Arvin demi Lily

    Dari balik tiang dekat taman kampus, Clara berdiri dengan tangan mengepal. Matanya tak lepas dari pemandangan Lily dan Arvin yang keluar gedung bersama, terlihat akrab meski Lily berusaha menjaga jarak. Clara menggigit bibir bawahnya keras-keras. “Kenapa semua orang selalu memihak dia…” gumamnya, suaranya penuh kejengkelan. Salah satu temannya yang kebetulan ikut keluar menghampiri. “Clara, kamu kenapa? Dari tadi murung terus.” Clara tersenyum tipis, mencoba menutupi emosinya. “Nggak, aku baik-baik saja. Cuma agak capek.” Namun, begitu temannya pergi, senyumnya langsung lenyap. Tatapannya kembali jatuh pada Lily yang kini berjalan lebih dekat dengan Arvin. “Kalau cara halus nggak mempan… berarti aku harus cari cara lain,” ucapnya lirih, nyaris seperti berjanji pada dirinya sendiri. Angin sore berhembus melewati halaman kampus, tapi hati Clara semakin panas, dipenuhi rasa iri dan keinginan untuk menyingkirkan Lily dari sekitarnya. Langit sore terlihat teduh ketika Lil

  • Menikah Karena Visa   BAB 192 : Lily Tidak Sendiri

    Aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi ruang makan. Semua duduk di meja: Daniel, Elena, Lily, juga Ayah dan Ibu Daniel. Mereka sarapan seperti biasa, berusaha menutup rasa lelah setelah malam panjang. Daniel sesekali melirik adiknya yang tampak berusaha tersenyum normal. Elena mencoba mencairkan suasana dengan menambah makanan ke piring Lily. “Makan yang banyak, biar semangat kuliahnya,” katanya lembut. Lily mengangguk kecil. “Iya, Kak…” suaranya lirih, tapi jelas dipaksakan. Setelah sarapan selesai, Lily berdiri sambil meraih tasnya. “Kalau begitu aku berangkat dulu,” katanya sambil melangkah ke pintu. Namun sebelum sempat keluar, suara berat Nenek Rose terdengar dari ruang tamu. “Lily.” Semua menoleh. Nenek Rose berjalan pelan dengan tongkatnya, tatapannya tajam tapi penuh kasih. “Sebentar. Duduk dulu, Nak.” Lily menahan langkah, lalu menoleh canggung. “Ada apa, Nek?” Nenek Rose mendekat, lalu memegang tangan Lily. “Kalau kamu terus sembunyi, orang-orang

  • Menikah Karena Visa   BAB 191 : Rasa Bersalah

    Makan siang itu akhirnya selesai juga. Mereka bertiga keluar dari restoran, disusul Clara dan Arvin yang baru saja selesai membayar di kasir. Lily terlihat lebih ceria, senyum kecilnya kembali muncul. Elena berjalan di sisinya sambil sesekali melirik, memastikan adik Daniel itu baik-baik saja. Di parkiran, Clara berdiri agak dekat dengan Lily. “Lily, hati-hati ya di jalan. Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi aku aja.” Suaranya terdengar manis, tapi Elena bisa menangkap sesuatu yang dibuat-buat. Lily menunduk sedikit. “Iya, Clara. Makasih.” Arvin yang ikut keluar hanya mengangguk singkat. “Aku pulang duluan, Lily. Sampai ketemu besok di kampus.” Ia lalu melangkah ke arah motornya, melambaikan tangan sekilas sebelum akhirnya pergi. Daniel memperhatikan Clara yang masih menempel. “Perhatian itu bagus,” katanya tenang, tapi ada penekanan halus dalam suaranya. “Tapi jangan sampai bikin orang lain nggak nyaman.” Clara sempat kaku sepersekian detik, lalu terkekeh pelan. “Ah, te

  • Menikah Karena Visa   BAB 190 : Arvin dan Clara

    Daniel dan Elena turun dari mobil, menyusuri halaman kampus dengan alasan ingin menjemput Lily pulang kuliah. Namun sesungguhnya, mereka berdua ingin memastikan wajah Clara—sosok yang Lily sebut semalam. Dari kejauhan, mereka melihat Lily tertawa kecil sambil berjalan dengan seorang gadis. Clara. Senyum Clara tampak hangat, bahkan sesekali ia merangkul lengan Lily seolah mereka sahabat dekat. Daniel menyipitkan mata. “Itu Clara?” bisiknya pada Elena. Elena mengangguk, matanya penuh rasa ingin tahu. “Mungkin. Padahal Lily bilang seminggu lalu Clara sempat marah karena Arvin. Sekarang… lihat aja, dia terlihat biasa aja dengan Lily.” Tak lama Lily menghampiri mereka dengan gembira. “Kak Elena!” serunya sambil melambaikan tangan. Clara pun ikut tersenyum sopan. “Oh, ini kakak kamu, ya?” Daniel tersenyum tipis. “Iya, Ah kami kebetulan mau ajak Lily makan siang, sekalian berbincang. Kamu bisa ikut.” Clara tampak terkejut sejenak, lalu cepat mengangguk. “Baiklah, kemana Lily ak

  • Menikah Karena Visa   BAB 189 : Resiko Cinta

    Matahari mulai turun, cahaya jingga menyelimuti halaman. Daniel dan Elena duduk di teras ketika sebuah motor berhenti di depan pagar. Seorang pemuda turun, melepas helmnya, lalu melangkah mendekat dengan raut cemas. “Permisi,” ucapnya sopan. “Saya Arvin, teman kuliah Lily. Saya dengar dia sakit, jadi… saya datang mau melihat keadaannya.” Daniel berdiri, menahan nada suaranya tetap ramah meski ada ketegangan. “Lily sedang beristirahat di kamar. Dia memang belum bisa kuliah beberapa hari ini.” Elena tersenyum kecil. “Terima kasih sudah peduli. Tapi sebaiknya Lily jangan diganggu dulu, dia butuh tenang.” Arvin mengangguk, lalu menatap Daniel seakan ragu ingin bicara lebih jauh. “Saya hanya khawatir. Kemarin saya jemput dia ke kampus, setelah itu tiba-tiba hilang kabar. Teman-teman bilang Lily sakit, tapi saya ingin pastikan sendiri.” Daniel menatapnya tajam, tapi menahan diri. “Arvin, boleh saya tanya, ngga? Apa di kampus ada yang tidak suka sama Lily? Atau seseorang yang mungk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status