Elena berdiri menatap lantai ruang kerja atasannya, menunduk sambil sesekali memainkan ujung pakaiannya karena gelisah mendengar perkataan pria yang duduk di meja besar di depannya.
“Aku memanggilmu ke sini untuk menyampaikan surat dari kantor Imigrasi.” Pria itu mendorong sebuah amplop dengan kop resmi ke arahnya, lalu mengetukkan jari telunjuknya di atas meja beberapa kali. “Tap—” Belum sempat Elena membuka suara, pria itu kembali berbicara. “Aku sudah memperingatkanmu dari beberapa bulan lalu untuk melepaskan proyek ini dan mengambil cuti untuk memperpanjang visa. Sekarang percuma, aku sama sekali tidak bisa membantumu. Kau bisa kapan pun dideportasi atau ditahan pihak Imigrasi.” “Maafkan aku. Kukira proyek ini akan siap minggu ini, dan aku bisa kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa.” Elena kembali menunduk, seakan ingin menjelaskan bahwa ia menyesal. “Aku sarankan kau segera memesan tiket kembali sebelum visamu kedaluwarsa.” Pria itu menghela napas, lalu memosisikan punggungnya ke sandaran kursi, menunjukkan bahwa urusan Elena sudah selesai. Elena mulai bergerak, bersiap keluar dari ruangan atasannya. Namun, belum sempat ia melangkah, pria itu kembali memperingatkan dengan tegas: “Ingat satu hal. Perusahaan ini juga ikut terancam jika mempekerjakan pekerja ilegal. Jadi, jangan membuatku berada dalam posisi itu!” Elena mengangguk paham. Setelah keluar dari ruangan tersebut, ia menghampiri meja kerjanya. Tiga anggota timnya langsung mendekat, ingin tahu alasan atasan memanggilnya. “Malam ini aku mengundang kalian. Kita berkumpul di Café Zone.” “Kau berulang tahun?” Daniel, asistennya yang juga salah satu anggota tim, bertanya. Tak biasanya Elena bersikap seperti itu, terutama dengan raut wajah yang tak tenang. “Apa ada masalah?” Daniel bertanya lagi. “Tenang saja. Besok aku akan kembali ke Cakrawana untuk sementara, dan aku harap kalian bisa mandiri saat aku tidak ada.” “Kau mengatakannya seperti perpisahan terakhir.” Salah satu dari mereka menimpali karena Elena mengatakannya dengan wajah serius. Elena duduk di kursinya, menatap satu per satu benda di atas meja, seakan ini terakhir kalinya ia melihatnya. “Ada berkas yang aku tinggalkan. Kau bisa urus sisanya, Daniel?” “Mungkin. Kita harus siapkan proyek ini secepatnya.” Sorot mata Elena tak sanggup menatap wajah Daniel yang cukup bersemangat mengerjakan proyek ini. Padahal, ini adalah mimpinya untuk bisa bekerja di perusahaan Castelvaux. Tapi kini ia harus menghadapi kenyataan soal visa yang sudah kedaluwarsa. Elena harus mulai berkemas untuk pulang. “Kau pulang secepat ini? Seperti nggak biasanya. Apa ada masalah di ruangan tadi?” Daniel melihat jam yang masih menunjukkan pukul lima sore. Biasanya, Elena baru pulang pukul enam, karena saat orang-orang sudah pergi, itu adalah waktu paling sunyi dan ia bisa fokus bekerja. Elena hanya tersenyum singkat dan segera meminta Daniel untuk membawa barang miliknya ke parkiran mobil. Daniel melihat isi kotak yang dibawanya. “Kau pindah apartemen?” “Apa? Aku hanya membawa barangku, dan kau langsung berpikir aku pindah apartemen?” “Bukan seperti itu. Masalahnya, barang yang ada di dalam ini hampir sebagian besar adalah barang yang ada di meja kerjamu.” Daniel meletakkan kardus tersebut ke bagasi belakang milik Elena dan merapikannya dengan teliti agar semua barang muat. “Kau yang menyetir hari ini. Tanganku sakit.” Elena berpindah duduk ke kursi belakang, membiarkan Daniel mengambil alih kemudi dan membawa mobil menuju rumahnya. Saat tiba di rumah Elena, Daniel masih bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang sebenarnya terjadi. “Apa aku boleh di sini saja sampai acara nanti malam?” Elena menaikkan sebelah alisnya, membuka pintu rumah sembari melirik ke arah Daniel, kemudian berkata, “Kebetulan sekali. Lampu di ruang kerjaku perlu diganti, dan nanti malam kau bisa sekaligus mengantarku ke kafe.” Elena mempersilakan Daniel masuk. Rumah milik wanita itu tidak terlalu besar, namun cukup luas untuk ditinggali satu orang. Meski beberapa kali Daniel mendatangi rumah Elena, ia tidak pernah tinggal lebih dari lima menit seperti sekarang. Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah foto di atas meja. “Keluargamu?” Daniel bertanya sembari menunjuk ke arah foto tersebut. Elena mengangguk, namun bola matanya seakan mengatakan hal berbeda. Ia cepat-cepat mengambil foto tersebut. Malam pun tiba, dan Elena serta Daniel sudah sampai di kafe yang dijanjikan sebelumnya. Setelah memesan beberapa makanan, Elena mempersilakan mereka menikmatinya. “Proyekmu belum selesai. Apa tidak masalah jika kembali ke Cakrawana besok?” Elena menghela napas mendengar pertanyaan salah satu anggota tim, lalu mengambil secangkir mocktail yang sudah disuguhkan Daniel sejak tadi. Elena memang bukan tipe peminum seperti yang lainnya. Ia meneguk satu gelas dengan cepat. “Visa milikku akan kedaluwarsa, dan aku butuh kembali ke Cakrawana untuk memperpanjangnya. Aku tidak punya cara lain untuk membantah atasan.” “Apa kantor Imigrasi yang menghubungimu?” “Bukan aku, tapi perusahaan yang menerimanya. Bisa mati aku kalau tetap melanjutkan proyek ini dengan status visa yang sudah kedaluwarsa.” Gadis di depan Elena terus bertanya seakan tak percaya. Meski lebih tua beberapa bulan dari Elena, ia tetap menghargai Elena sebagai ketua tim mereka. Kepala mereka berempat tampak berpikir keras, mencari cara menyelamatkan Elena. Semua juga tahu bahwa Elena sangat mencintai pekerjaannya, sampai dijuluki “Ratu Lembur” di perusahaan. “Coba menikah. Mungkin saja kantor Imigrasi bisa tertipu,” celetuk Daniel. “Sepertinya kau sudah mabuk, Daniel. Bicaramu mulai ngelantur,” ucap pria di sampingnya sambil menepis tangan Daniel saat memperagakan aksi melamar seseorang. Saat melihat pria itu bergidik ngeri, mereka semua tertawa. “Benar juga! Kenapa tidak aku coba saja!” Teriak Elena tiba-tiba sambil memukul meja, membuat semua orang kaget. Daniel pun seakan tersadar dari mabuknya. “Sepertinya mocktail juga bisa bikin orang mabuk. Nggak usah serius menanggapi ucapan Daniel. Dia memang suka asal bicara kalau sudah mabuk,” timpal pria di sebelah Daniel. Mana mungkin Elena akan seserius itu menanggapi gurauan tadi? Namun, sampai acara selesai, Elena masih memikirkan ide yang dilontarkan Daniel tadi. Karena asistennya itu masih dalam keadaan mabuk, terpaksa Elena yang menyetir sampai ke depan rumah kontrakan Daniel. “Daniel.” Elena memberanikan diri menahan langkah asistennya yang hendak keluar dari mobil. Daniel yang sudah hampir setengah sadar menoleh ke belakang, tubuhnya sudah setengah keluar mobil. “Ayo tunangan. Bantu aku mewujudkan ide yang kau bilang.” Daniel, dengan setengah kesadarannya, berusaha menyeimbangkan tubuh. Perlahan ia mundur dengan langkah pendek, lalu menatap Elena di dalam mobil dengan tatapan bingung. “Denganku?” Elena mengangguk cepat, tanpa beban. Lalu ... Daniel pingsan setelahnya.Usai pembicaraan semalam dengan ayah Daniel, Elena langsung mengajak Daniel ke kamar untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja, dia tidak setuju dengan keputusan ayah Daniel yang ingin mereka berdua tinggal di kota ini—apalagi jika itu berarti harus meninggalkan pekerjaan impian Elena. “Kau tahu kenapa aku melakukan ini, kan?!” “Tentu saja, tapi—” “Tidak bisa, Daniel. Aku tidak mau tinggal di sini.” “Aku tahu, tapi saat kau menunjukkan penolakan secara terang-terangan, itu bisa memancing kecurigaan dari ayahku.” Elena tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia mengambil ponselnya, melihat jangka waktu yang sudah ia tandai agar tidak lupa tujuan awal melakukan semua ini. Malam semakin larut. Lebih baik ia beristirahat untuk menjernihkan pikirannya yang masih pusing memikirkan keputusan ayah Daniel. “Tiga hari lagi ada kompetisi desain taman. Mungkin saja itu bisa menghiburmu,” ujar Daniel. Elena pura-pura tidak mendengar. Tubuhnya sudah tertutup selimut.
“Silakan ceritakan bagaimana kisah cinta kalian. Kami ingin mendengarnya,” ujar Nenek Rose, mengambil alih semua percakapan di ruangan itu. Tentu saja, semua orang yang hadir menyetujui apa pun yang dikatakan oleh wanita lanjut usia tersebut. “Anu... itu...” Elena tampak bimbang. Ia tidak tahu kisah seperti apa yang harus ia karang agar semua mata yang saat ini menatapnya percaya. Terlebih lagi, Daniel belum juga menampakkan diri. Habis sudah Elena! “Ayolah, kami sungguh ingin mendengarnya,” tambah Ms. Callahan. Ia tampak ingin melihat bagaimana Elena akan terjebak dengan kebohongan yang ia ciptakan sendiri. Situasi semakin tidak terkendali. Akhirnya, Elena memutuskan untuk berbicara. “Daniel adalah asistenku. Dia cukup mahir dalam pekerjaannya, bahkan saat membuatkan kopi untukku... meski sedikit pahit, hehe.” Tom Harper—ayah Daniel—yang baru saja tiba tak sengaja mendengarnya. Ia menyipitkan mata dan melangkah sedikit lebih dekat untuk mendengarkan dengan seksama.
“Kenapa tidak bilang saja pesta pernikahannya di sini?” “Tidak bisa, Ms. Callahan tidak mau hanya ucapan saja. Kau tidak lihat dia juga ikut untuk membuktikan apa yang kita katakan? Dia bilang foto bisa diedit,” di akhir ucapannya, Daniel sedikit menekankan bahwa ide ini adalah yang paling tepat dibandingkan ide Elena. “Kenapa kau lebih semangat daripada aku?” Saat memasuki pintu pesawat, Elena menyipitkan mata sambil sedikit kaget. Padahal seharusnya Elena yang lebih antusias karena ini menyangkut visa dan pekerjaannya. Tapi Elena tak ambil pusing, karena dia juga diuntungkan di sini. “Kursi bisnis di negara ini memang bagus, tidak membuatku sesak.” “Apa di negaramu sama?” Elena tentu saja mengangguk, tapi ia menjelaskan bahwa warga di Cakrawana tidak semua sering menaiki pesawat seperti dirinya. Namun, Cakrawana memiliki bandara dan pesawat dengan kualitas bagus serta menjaga kenyamanan penumpang. Elena percaya diri. “Aku sudah menghubungi keluargaku lebih awal.
Pagi sudah berlalu. Elena membatalkan keberangkatannya pagi ini karena harus menunggu Daniel yang tiba-tiba pingsan di samping mobilnya tadi malam. Untung saja ada seseorang di sekitar itu yang membantu Elena memapah Daniel ke rumahnya, dan akhirnya mau tak mau Elena terpaksa menginap di rumah pria itu. “Kau sudah bangun?” Elena menyadari gerak Daniel yang tampak terkejut saat melihatnya duduk dengan kedua tangan dilipat di atas dada. Untung saja ada kursi di sana. “K-Kenapa kau bisa ada di rumahku? Bukankah tadi malam—” “Kau mau aku jelaskan bagian kau pingsan atau bagian saat kau memuntahkan isi perutmu di depan pintu?” Daniel mencoba mengingat dengan cermat apa yang dikatakan bosnya. Meski masih pusing, dia mencoba duduk untuk mendengar alasan Elena membantunya tadi malam. “Kita buat kontraknya sekarang. Aku tidak punya waktu menunggumu sampai sadar.” “K-Kontrak apa?” Spontan, ingatan Daniel berputar tentang kejadian tadi malam. “Apa kau mau bertunangan denganku?
Elena berdiri menatap lantai ruang kerja atasannya, menunduk sambil sesekali memainkan ujung pakaiannya karena gelisah mendengar perkataan pria yang duduk di meja besar di depannya. “Aku memanggilmu ke sini untuk menyampaikan surat dari kantor Imigrasi.” Pria itu mendorong sebuah amplop dengan kop resmi ke arahnya, lalu mengetukkan jari telunjuknya di atas meja beberapa kali. “Tap—” Belum sempat Elena membuka suara, pria itu kembali berbicara. “Aku sudah memperingatkanmu dari beberapa bulan lalu untuk melepaskan proyek ini dan mengambil cuti untuk memperpanjang visa. Sekarang percuma, aku sama sekali tidak bisa membantumu. Kau bisa kapan pun dideportasi atau ditahan pihak Imigrasi.” “Maafkan aku. Kukira proyek ini akan siap minggu ini, dan aku bisa kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa.” Elena kembali menunduk, seakan ingin menjelaskan bahwa ia menyesal. “Aku sarankan kau segera memesan tiket kembali sebelum visamu kedaluwarsa.” Pria itu menghela napas,