Elena Santoso, arsitek muda asal Cakrawana, hampir kehilangan izin tinggal di Castelvaux. Terdesak waktu, ia nekat mengajak Daniel Harper—rekan kerja yang pendiam dan tak pernah ia perhitungkan—untuk menikah pura-pura demi menyelamatkan kariernya. Tapi semua jadi rumit saat mereka harus tinggal bersama di kota kecil Tenebris. Keluarga Daniel percaya sepenuhnya pada kebohongan mereka. Saat masa lalu Elena datang mengejar, dan media mulai mencium skandal, perasaan yang seharusnya pura-pura berubah jadi sesuatu yang nyata. Kini, Elena harus memilih: mempertahankan kebohongan demi ambisinya, atau jujur pada hati—meski itu berarti kehilangan segalanya.
Lihat lebih banyakElena berdiri menatap lantai ruang kerja atasannya, menunduk sambil sesekali memainkan ujung pakaiannya karena gelisah mendengar perkataan pria yang duduk di meja besar di depannya.
“Aku memanggilmu ke sini untuk menyampaikan surat dari kantor Imigrasi.” Pria itu mendorong sebuah amplop dengan kop resmi ke arahnya, lalu mengetukkan jari telunjuknya di atas meja beberapa kali. “Tap—” Belum sempat Elena membuka suara, pria itu kembali berbicara. “Aku sudah memperingatkanmu dari beberapa bulan lalu untuk melepaskan proyek ini dan mengambil cuti untuk memperpanjang visa. Sekarang percuma, aku sama sekali tidak bisa membantumu. Kau bisa kapan pun dideportasi atau ditahan pihak Imigrasi.” “Maafkan aku. Kukira proyek ini akan siap minggu ini, dan aku bisa kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa.” Elena kembali menunduk, seakan ingin menjelaskan bahwa ia menyesal. “Aku sarankan kau segera memesan tiket kembali sebelum visamu kedaluwarsa.” Pria itu menghela napas, lalu memosisikan punggungnya ke sandaran kursi, menunjukkan bahwa urusan Elena sudah selesai. Elena mulai bergerak, bersiap keluar dari ruangan atasannya. Namun, belum sempat ia melangkah, pria itu kembali memperingatkan dengan tegas: “Ingat satu hal. Perusahaan ini juga ikut terancam jika mempekerjakan pekerja ilegal. Jadi, jangan membuatku berada dalam posisi itu!” Elena mengangguk paham. Setelah keluar dari ruangan tersebut, ia menghampiri meja kerjanya. Tiga anggota timnya langsung mendekat, ingin tahu alasan atasan memanggilnya. “Malam ini aku mengundang kalian. Kita berkumpul di Café Zone.” “Kau berulang tahun?” Daniel, asistennya yang juga salah satu anggota tim, bertanya. Tak biasanya Elena bersikap seperti itu, terutama dengan raut wajah yang tak tenang. “Apa ada masalah?” Daniel bertanya lagi. “Tenang saja. Besok aku akan kembali ke Cakrawana untuk sementara, dan aku harap kalian bisa mandiri saat aku tidak ada.” “Kau mengatakannya seperti perpisahan terakhir.” Salah satu dari mereka menimpali karena Elena mengatakannya dengan wajah serius. Elena duduk di kursinya, menatap satu per satu benda di atas meja, seakan ini terakhir kalinya ia melihatnya. “Ada berkas yang aku tinggalkan. Kau bisa urus sisanya, Daniel?” “Mungkin. Kita harus siapkan proyek ini secepatnya.” Sorot mata Elena tak sanggup menatap wajah Daniel yang cukup bersemangat mengerjakan proyek ini. Padahal, ini adalah mimpinya untuk bisa bekerja di perusahaan Castelvaux. Tapi kini ia harus menghadapi kenyataan soal visa yang sudah kedaluwarsa. Elena harus mulai berkemas untuk pulang. “Kau pulang secepat ini? Seperti nggak biasanya. Apa ada masalah di ruangan tadi?” Daniel melihat jam yang masih menunjukkan pukul lima sore. Biasanya, Elena baru pulang pukul enam, karena saat orang-orang sudah pergi, itu adalah waktu paling sunyi dan ia bisa fokus bekerja. Elena hanya tersenyum singkat dan segera meminta Daniel untuk membawa barang miliknya ke parkiran mobil. Daniel melihat isi kotak yang dibawanya. “Kau pindah apartemen?” “Apa? Aku hanya membawa barangku, dan kau langsung berpikir aku pindah apartemen?” “Bukan seperti itu. Masalahnya, barang yang ada di dalam ini hampir sebagian besar adalah barang yang ada di meja kerjamu.” Daniel meletakkan kardus tersebut ke bagasi belakang milik Elena dan merapikannya dengan teliti agar semua barang muat. “Kau yang menyetir hari ini. Tanganku sakit.” Elena berpindah duduk ke kursi belakang, membiarkan Daniel mengambil alih kemudi dan membawa mobil menuju rumahnya. Saat tiba di rumah Elena, Daniel masih bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang sebenarnya terjadi. “Apa aku boleh di sini saja sampai acara nanti malam?” Elena menaikkan sebelah alisnya, membuka pintu rumah sembari melirik ke arah Daniel, kemudian berkata, “Kebetulan sekali. Lampu di ruang kerjaku perlu diganti, dan nanti malam kau bisa sekaligus mengantarku ke kafe.” Elena mempersilakan Daniel masuk. Rumah milik wanita itu tidak terlalu besar, namun cukup luas untuk ditinggali satu orang. Meski beberapa kali Daniel mendatangi rumah Elena, ia tidak pernah tinggal lebih dari lima menit seperti sekarang. Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah foto di atas meja. “Keluargamu?” Daniel bertanya sembari menunjuk ke arah foto tersebut. Elena mengangguk, namun bola matanya seakan mengatakan hal berbeda. Ia cepat-cepat mengambil foto tersebut. Malam pun tiba, dan Elena serta Daniel sudah sampai di kafe yang dijanjikan sebelumnya. Setelah memesan beberapa makanan, Elena mempersilakan mereka menikmatinya. “Proyekmu belum selesai. Apa tidak masalah jika kembali ke Cakrawana besok?” Elena menghela napas mendengar pertanyaan salah satu anggota tim, lalu mengambil secangkir mocktail yang sudah disuguhkan Daniel sejak tadi. Elena memang bukan tipe peminum seperti yang lainnya. Ia meneguk satu gelas dengan cepat. “Visa milikku akan kedaluwarsa, dan aku butuh kembali ke Cakrawana untuk memperpanjangnya. Aku tidak punya cara lain untuk membantah atasan.” “Apa kantor Imigrasi yang menghubungimu?” “Bukan aku, tapi perusahaan yang menerimanya. Bisa mati aku kalau tetap melanjutkan proyek ini dengan status visa yang sudah kedaluwarsa.” Gadis di depan Elena terus bertanya seakan tak percaya. Meski lebih tua beberapa bulan dari Elena, ia tetap menghargai Elena sebagai ketua tim mereka. Kepala mereka berempat tampak berpikir keras, mencari cara menyelamatkan Elena. Semua juga tahu bahwa Elena sangat mencintai pekerjaannya, sampai dijuluki “Ratu Lembur” di perusahaan. “Coba menikah. Mungkin saja kantor Imigrasi bisa tertipu,” celetuk Daniel. “Sepertinya kau sudah mabuk, Daniel. Bicaramu mulai ngelantur,” ucap pria di sampingnya sambil menepis tangan Daniel saat memperagakan aksi melamar seseorang. Saat melihat pria itu bergidik ngeri, mereka semua tertawa. “Benar juga! Kenapa tidak aku coba saja!” Teriak Elena tiba-tiba sambil memukul meja, membuat semua orang kaget. Daniel pun seakan tersadar dari mabuknya. “Sepertinya mocktail juga bisa bikin orang mabuk. Nggak usah serius menanggapi ucapan Daniel. Dia memang suka asal bicara kalau sudah mabuk,” timpal pria di sebelah Daniel. Mana mungkin Elena akan seserius itu menanggapi gurauan tadi? Namun, sampai acara selesai, Elena masih memikirkan ide yang dilontarkan Daniel tadi. Karena asistennya itu masih dalam keadaan mabuk, terpaksa Elena yang menyetir sampai ke depan rumah kontrakan Daniel. “Daniel.” Elena memberanikan diri menahan langkah asistennya yang hendak keluar dari mobil. Daniel yang sudah hampir setengah sadar menoleh ke belakang, tubuhnya sudah setengah keluar mobil. “Ayo tunangan. Bantu aku mewujudkan ide yang kau bilang.” Daniel, dengan setengah kesadarannya, berusaha menyeimbangkan tubuh. Perlahan ia mundur dengan langkah pendek, lalu menatap Elena di dalam mobil dengan tatapan bingung. “Denganku?” Elena mengangguk cepat, tanpa beban. Lalu ... Daniel pingsan setelahnya.Daniel menatap Adi lama, rahangnya mengeras, tapi di balik tatapan tegas itu, pikirannya mulai terusik. Apa mungkin... yang dia bilang ada benarnya? Ingatan-inginannya tentang Elena, kejadian beberapa minggu terakhir, semua berputar di kepalanya. Keraguan yang tak pernah ia izinkan masuk, kini perlahan merayap. Namun, ia tak mau menunjukkannya di depan Adi. “Aku nggak tahu apa maksudmu,” ucap Daniel akhirnya, nadanya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. “Tapi kalau kau datang ke sini untuk memprovokasi, aku sarankan kau pergi sebelum aku benar-benar marah.” Adi tahu jika Daniel mungkin saja tak percaya padanya, tapi mustahil tabrakan itu tak disengaja hanya karena kantuk."Kita bisa cari tahu dari CCTV jalan"Adi menambahkan namun Daniel belum sepenuhnya percaya, dia segera menuju ruangan inap Elena. Masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca oleh keluarganya, dia duduk disebelah Elena."Adi sudah pulang?"Daniel menoleh, " Belum, dia ingin menjengukmu"Elena diam, tentu saja dia ta
Daniel berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi. Jarum jam terus bergerak, namun waktu terasa begitu lambat. Setelah hampir dua jam, pintu ruang operasi akhirnya terbuka, dan dokter keluar dengan ekspresi lelah namun tenang. “Operasinya berjalan lancar,” kata sang dokter. “Namun, pasien masih belum sadar. Kita akan memindahkannya ke ruang inap untuk pemantauan.” Daniel mengangguk, mengucapkan terima kasih berkali-kali. Setelah Elena dipindahkan, ia tetap berada di sisinya. Peralatan medis berderit pelan, dan napas Elena yang teratur menjadi satu-satunya hal yang sedikit menenangkan hatinya. Di kursi sebelah tempat tidur, Daniel meletakkan tas dan ponsel Elena yang tadi ia bawa dari lokasi kejadian. Malam semakin larut, hampir semua lampu di lorong rumah sakit sudah redup. Tiba-tiba, ponsel Elena berdering. Daniel menoleh, melihat nama “Adi” terpampang jelas di layar. Alisnya mengerut. Ia mengambil ponsel itu, menekan tombol terima sambil melangkah keluar ruangan agar suar
Sirine ambulans meraung membelah malam. Daniel duduk di dalam, menggenggam tangan Elena yang dingin dan masih berlumur darah. Matanya merah, wajahnya tak tenang. “Bertahan, Elena…,” gumamnya pelan, seakan berbicara pada seseorang yang mungkin sudah tidak mendengar. Sesampainya di rumah sakit, tim medis segera membawa Elena masuk ke ruang IGD. Daniel sempat tertahan di luar, berdiri lemas dengan pakaian berantakan, sebagian basah oleh darah Elena. Tangan dan lututnya gemetar. Tak lama setelah itu, ia segera menghubungi keluarganya. “Nek... tolong datang ke rumah sakit kota. Elena... kecelakaan.” Suaranya tercekat. Kurang dari setengah jam, Nenek Rose datang bersama Lily, yang matanya membelalak ketika melihat Daniel berdiri sendiri di lorong rumah sakit, wajahnya murung. “Daniel! Bagaimana Elena?” tanya Lily panik sambil menggenggam lengan kakaknya. “Dia masih di ruang tindakan...” jawab Daniel lirih, menunduk. “Dia berdarah... dia... pingsan.” Beberapa menit kemudian,
Aroma masakan menguar dari dapur rumah Daniel. Di ruang makan, meja telah tertata rapi dengan berbagai hidangan khas rumahan. Nenek Rose tampak sibuk memastikan semua orang duduk di tempatnya masing-masing, wajahnya ceria seperti biasa. "Kayla, duduk di sebelah Elena ya," ucap Nenek Rose sambil tersenyum hangat. “Margaret, di sebelah saya. Daniel, kamu bantu tuangkan air ya?” Daniel yang berdiri dekat meja hanya mengangguk, mengambil teko dan mulai menuang air putih ke gelas-gelas. “Terima kasih sudah mengundang kami,” ucap Margaret, nenek Kayla, dengan suara lembut dan sopan. “Saya senang melihat Kayla bisa duduk bersama kalian.” Elena tersenyum ramah. “Kami juga senang, Nenek. Semuanya sudah selesai, jadi nggak perlu ada beban lagi.” Kayla menunduk sejenak, lalu mendongak dan menatap Elena dan Daniel bergantian. “Terima kasih… karena kalian mau memaafkan aku. Aku tahu… aku udah lancang. Aku cuma… terlalu tertekan. Tapi sekarang, aku sadar itu bukan cara yang baik.” Dan
Elena membeku. “Kamu dengar?” Daniel mengangguk. “Tidak semua, haha sebagian.” Keheningan menyelimuti mereka beberapa detik sebelum Daniel melanjutkan, “Aku nggak akan nanya apa-apa. Itu masa lalu kamu. Tapi kalau masih ada yang belum selesai di antara kalian, kamu bisa jujur. Kita masih bisa bicara baik-baik.” Elena menggigit bibir bawahnya. “Daniel… aku memang punya masa lalu dengan Adi. Tapi itu sudah lewat. Aku cuma… nggak ingin membuat semua ini makin rumit. Dia cuma....dia cuma ingin bicara.” Daniel menatapnya lama. “Dan kamu masih merasa bersalah?” Elena mengangguk pelan. “Iya. Tapi bukan karena aku masih mencintainya. Tapi karena aku sudah berjalan terlalu jauh dan... aku nggak tahu kapan semuanya berubah.” Daniel menghela napas. Ia menutup laptopnya perlahan. “Aku juga nggak tahu kapan semuanya berubah, Elena. Tapi yang pasti, aku nggak mau jalan sendirian lagi.” Elena menatap Daniel, dan malam itu… hatinya terasa lebih tenang. Keesokan paginya… Langit Maple H
“Bukan menuduh. Kami melihat arsip fotonya. Desain milikmu… terlalu mirip dengan milik kami. Hanya diganti di beberapa bagian kecil. Dan itu bukan kebetulan, Kayla.” Kayla menggigit bibir bawahnya. Matanya memanas, tapi dia menahan diri. “Aku hanya… ingin menang. Itu saja. Dan kalian tidak akan pernah tahu rasanya menjadi orang yang selalu dianggap biasa-biasa saja.”Elena menatapnya, kali ini lebih lembut. “Kami juga bukan siapa-siapa saat itu. Kami menang karena kami percaya pada proses kami sendiri.” “Dan sekarang?” Kayla menatapnya balik. “Apa yang kalian inginkan dariku? Minta aku mengaku di depan semua orang? Menghancurkan nama yang susah payah kubangun?” Elena menarik napas dalam. “Aku hanya ingin kau berhenti menyebar berita palsu. Artikel itu... kami tahu kau yang menyebarkannya lewat kenalanmu di media lokal.” Kayla tak menjawab, tapi sorot matanya jelas mengatakan bahwa Elena tepat sasaran. “Kau masih bisa memperbaikinya, Kayla,” lanjut Elena. “Sebelum semuanya te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen