Juliete tampak syok—tapi bukan karena ketakutan. Bukan panik atau trauma seperti yang kuduga. Yang kulihat di matanya adalah… kemarahan.
Aku sengaja menarik pelatuk itu untuk menguji reaksinya, namun yang kudapat justru sesuatu yang jauh lebih menggelitik daripada rasa takut. Ia bangkit dari kursinya. Berdiri di depanku seperti badai.
“Kau pikir nyawa seseorang cuma permainan?” suaranya bergetar karena emosi. “Kau bajingan sosiopat—psycho! Kau pernah berpikir kalau dia punya anak? Istri? Dan kau membunuhnya begitu saja seolah tak lebih dari lalat di meja makan?! Astaga, aku hampir muak melihat ini!”
Untuk sesaat, aku nyaris membuka mulut.
Bukan karena ingin membantah—tapi karena terkejut. Ini baru pertama kalinya ada orang yang berani memaki wajahku sedekat itu. Bahkan Zelda dan Marvish pun tak berani. Tapi gadis ini? Dia memaki, menampar, bahkan meludahiku. Kini dia memukul egoku tanpa menyentuhku.
“Selera makanku hilang. Aku ingin kembali ke kamar,” katanya dengan nada da