Udara siang itu terasa berat, seperti menyimpan sesuatu yang enggan diungkapkan. Rumah keluarga Pradana dipenuhi aroma sup ayam dan rempah-rempah yang menggoda indera, namun suasana di ruang makan justru jauh dari kehangatan.
Cahaya matahari menyelinap melalui tirai renda, menimpa meja makan panjang dari kayu jati tua, tempat keluarga itu berkumpul untuk makan siang.
Zelina duduk di antara mereka, namun posisinya terasa ganjil—bukan karena jarak fisik, melainkan karena getar tak kasatmata yang menjauhkan dirinya dari inti percakapan dan keakraban yang biasa ada.
Ia tersenyum, tetapi senyumnya seperti lukisan yang nyaris usang: indah, namun tak hidup.
Dengan gerakan luwes yang terlalu sempurna untuk disebut spontan, Zelina meraih sepasang penjepit makanan dan dengan hati-hati menata udang rebus ke piring kecil.
Jemarinya cekatan, mengupas kulit udang satu per satu, seolah ia ingin menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar tamu—bahwa ia punya tempat di