Sekar hampir saja melontarkan argumen tambahan, bibirnya sempat terbuka sedikit, tapi suara batuk kecil dari Ilham menyela ketegangan.
Lembut tapi jelas, Ilham berkata, “Raka benar. Akhir-akhir ini Ellie sering pergi tanpa pengawasan. Kalau dia sampai makan sembarangan di luar, siapa yang bisa bertanggung jawab?”
Nada suaranya tak menggurui, tapi cukup tegas untuk menumbuhkan jeda. Sekar terdiam, matanya menatap kosong sejenak ke arah jendela, seolah menimbang-nimbang di benaknya.
Aroma ayam kecap yang tersisa di meja makan masih menggantung di udara, namun tak satu pun dari mereka mengacuhkannya.
Usai makan siang, Raka bersiap kembali ke kantor. Dengan dasi yang belum sepenuhnya rapi dan tas kerja di tangan, ia berdiri dan bertanya, “Rencana kalian selanjutnya apa?”
Sekar menoleh, sorot matanya berubah hangat, senyum merekah di bibirnya. Ia menatap cucunya dengan pandangan lembut seperti kain halus yang membelai.
“Sudah lama Nenek nggak aja
Sekar hampir saja melontarkan argumen tambahan, bibirnya sempat terbuka sedikit, tapi suara batuk kecil dari Ilham menyela ketegangan.Lembut tapi jelas, Ilham berkata, “Raka benar. Akhir-akhir ini Ellie sering pergi tanpa pengawasan. Kalau dia sampai makan sembarangan di luar, siapa yang bisa bertanggung jawab?”Nada suaranya tak menggurui, tapi cukup tegas untuk menumbuhkan jeda. Sekar terdiam, matanya menatap kosong sejenak ke arah jendela, seolah menimbang-nimbang di benaknya.Aroma ayam kecap yang tersisa di meja makan masih menggantung di udara, namun tak satu pun dari mereka mengacuhkannya.Usai makan siang, Raka bersiap kembali ke kantor. Dengan dasi yang belum sepenuhnya rapi dan tas kerja di tangan, ia berdiri dan bertanya, “Rencana kalian selanjutnya apa?”Sekar menoleh, sorot matanya berubah hangat, senyum merekah di bibirnya. Ia menatap cucunya dengan pandangan lembut seperti kain halus yang membelai.“Sudah lama Nenek nggak aja
Udara siang itu terasa berat, seperti menyimpan sesuatu yang enggan diungkapkan. Rumah keluarga Pradana dipenuhi aroma sup ayam dan rempah-rempah yang menggoda indera, namun suasana di ruang makan justru jauh dari kehangatan.Cahaya matahari menyelinap melalui tirai renda, menimpa meja makan panjang dari kayu jati tua, tempat keluarga itu berkumpul untuk makan siang.Zelina duduk di antara mereka, namun posisinya terasa ganjil—bukan karena jarak fisik, melainkan karena getar tak kasatmata yang menjauhkan dirinya dari inti percakapan dan keakraban yang biasa ada.Ia tersenyum, tetapi senyumnya seperti lukisan yang nyaris usang: indah, namun tak hidup.Dengan gerakan luwes yang terlalu sempurna untuk disebut spontan, Zelina meraih sepasang penjepit makanan dan dengan hati-hati menata udang rebus ke piring kecil.Jemarinya cekatan, mengupas kulit udang satu per satu, seolah ia ingin menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar tamu—bahwa ia punya tempat di
Elina menubruk Raka dengan gemetar yang merambat hingga ke ujung jemari. Tubuh mungilnya melekat erat di dada sang ayah, seakan hanya detak jantung lelaki itu yang sanggup menenangkan badai kecil di dalam dirinya.Wajahnya tertanam dalam lekuk leher Raka, menyerap hangat yang terasa seperti satu-satunya benteng dari dunia yang terlalu keras untuk dipahami bocah seusianya.Di sudut ruangan, Sekar berdiri mematung, menyaksikan adegan itu dengan hati yang berdesir getir.Dinding ruang keluarga yang hangat berlapis cat krem dan lampu kuning temaram tak mampu menyamarkan ketegangan yang menggantung di udara.Aroma teh melati di meja tidak lagi memberi kelegaan.Sekar menghela napas tajam, suaranya menggores kesunyian dengan keluhan yang tak bisa disembunyikan.“Kamu tuh kerja terus, Raka. Gimana Ellie nggak ngerasa sendirian? Anak kecil itu butuh ditemani, dikasihi, bukan ditinggalin tiap hari. Coba kalau kamu punya istri yang bisa nemenin dia...
Selama bertahun-tahun, dunia mengira Elina adalah anak yang bisu. Gadis kecil berambut gelap itu tumbuh dikelilingi bisik-bisik dan tatapan iba, seolah-olah suaranya telah dicuri sejak lahir.Tapi Raka, ayahnya, tak pernah merasa perlu menjelaskan apa pun. Bukan karena malu, tapi karena tak semua hal pantas dijelaskan kepada dunia yang hanya mau mendengar, bukan memahami.Padahal, Elina dulu berbicara lebih dulu dibanding anak-anak lain seusianya. Kata pertamanya bukan “mama” atau “papa,” tapi “bintang”—diucapkan sambil menunjuk langit malam dari jendela kamar.Namun sejak diagnosis itu jatuh—autisme, sebuah kata yang tak ia mengerti namun perlahan membentuk tembok tak kasatmata di sekelilingnya—Elina memilih diam.Kata-kata yang dulu keluar dengan mudah, menguap tanpa jejak. Ia menggantinya dengan tulisan, mencurahkan perasaannya lewat huruf-huruf kecil di buku harian, kertas bekas, atau layar tablet.Bahkan pada Raka, ayah yang selalu mendampingi
"Aidan, Bayu... dengar baik-baik, ya, Nak."Nada suara Kirana pelan, tapi ada sesuatu dalam caranya mengucapkan kalimat itu—seperti benang tipis yang siap putus kapan saja.Ia menatap kedua putranya yang duduk bersila di lantai ruang tamu yang sempit tapi hangat. Udara sore mengendap di antara dinding rumah petak mereka di pinggiran Jakarta, ditemani suara azan yang samar terdengar dari masjid kampung."Jangan pernah cerita ke siapa pun soal keluarga kita. Terutama soal kalian..." Kirana menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatasi rasa sesak yang mengendap di dadanya. "Kalian yang nggak punya ayah."Kepalanya berdenyut. Sisa-sisa stres dari kejadian tadi siang—percakapan yang nyaris terbongkar—masih menghantuinya seperti jejak bayangan di belakang kelopak mata.Syukurlah aku bisa menghentikan obrolan itu tepat waktu, pikirnya. Raka... Dengan otak setajam itu, satu celah kecil saja bisa jadi pintu bagi kecurigaan.Aidan dan Bayu saling meno
"Apa maksudmu nggak punya ayah? Di mana ayah kalian?”Suara Raka terdengar pelan namun penuh desakan, serupa hujan yang turun perlahan tapi mengguyur habis.Ia bersandar di ambang pintu, tubuhnya condong ke depan, seolah dengan begitu ia bisa menangkap lebih jelas kebenaran yang mungkin selama ini tersembunyi.Bayu tak langsung menjawab. Ia hanya memandangi pria itu, menelisik tiap inci wajahnya, seakan menimbang apakah pertanyaan itu layak diberi jawaban.Cahaya matahari sore menembus sela tirai jendela, jatuh di wajah bocah itu, menyoroti gurat keras di keningnya yang masih terlalu muda untuk beban sebesar itu.“Dia ninggalin kami,” ujar Bayu akhirnya, datar tapi mantap, seperti batu yang dilempar ke danau tenang.“Dari dulu, kami cuma hidup bertiga—aku, Aidan, sama Ibu. Dia... nggak pernah mau tahu.”Hening menyeruak. Sejenak, waktu terasa seperti berhenti mengikuti napas ketiganya yang tertahan. Raka menoleh ke arah Kirana yang be