Search
Library
Home / Romansa / Sang Penguasa Dunia Mafia / Nebula Daimoniko

Nebula Daimoniko

2025-03-22 23:44:21

Dua Hari Kemudian rumor tentang Exel dan tiga temannya menyebar bagai api di dalam lapas remaja. Para penghuni sel membicarakan kejadian itu dengan nada serius. Exel dan teman-temannya kini terbaring sekarat di rumah sakit, tulang-tulang mereka hampir seluruhnya retak akibat serangan brutal yang mereka alami. Tidak ada yang bisa melupakan bagaimana Althalan, bocah SMA yang selalu tampak pendiam, tiba-tiba menjelma menjadi sosok yang begitu berbahaya.

“Gila, katanya si Althalan itu bener-bener kayak monster waktu hajar mereka…” salah satu penghuni berbisik.

“Gue denger Exel aja sampe nggak bisa ngomong pas dibawa ke rumah sakit.”

“Nggak mungkin cuma manusia biasa bisa bikin kayak gitu…”

Kabar itu terus bergema di setiap sudut lapas. Namun, sosok yang menjadi sumber rumor tersebut kini dipisahkan di ruangan isolasi, sendirian dalam gelap dan sunyi.

Althalan duduk di tengah ruangan. Tubuhnya membungkuk sedikit, tatapan kosong menatap lantai tanpa makna. Tidak ada suara, tidak ada gerakan, hanya pikiran-pikiran kelam yang berputar di kepalanya. Setiap malam, ia dihantui mimpi buruk bayangan Celine yang memudar, wajahnya yang tersenyum samar sebelum menghilang begitu saja. Dan sosok laki laki asing yang datang dalam mimpinya, berdiri dengan aura yang mencekam, penuh kegelapan.

Laki laki itu selalu menampakkan dirinya dengan mata yang menyala, dan Althalan selalu merasakan aura terintimidasi setiap kali mengingat laki laki yang ada didalam mimpinya itu.

Mata Althalan sayu, lingkaran hitam mulai menghiasi wajahnya. Setiap kali ia memejamkan mata, rasa takut itu datang lagi ia selalu ketakutan bahwa semua orang yang ia sayangi akan pergi satu per satu. Dan kali ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Saat itu juga, tato laba-laba di lehernya yang selama ini ia sembunyikan seakan menjadi simbol kebangkitan sisi lain dirinya. Garis-garis tajamnya nampak lebih jelas, seolah menggambarkan jiwa yang dulu telah mati dilahap oleh penyesalan. Althalan yang dulu yang masih menyimpan harapan dan kelembutan kini telah lenyap. Ia merasa hanya kebencian dan kesakitan yang tersisa.

Suara kunci berderit menggema di ruangan isolasi yang sunyi. Pintu besi berat itu terbuka, memecah keheningan. Dua sipir berdiri di ambang pintu, wajah mereka memucat, seolah mereka melihat sesuatu yang tidak seharusnya mereka lihat.

“Althalan…” panggil salah satu sipir dengan suara gemetar.

Althalan perlahan menoleh, tatapannya menusuk hingga membuat darah kedua sipir itu berdesir dingin. Mereka menelan ludah, merasa aura mencekam memenuhi ruangan begitu saja. Bahkan napas mereka terasa berat, seolah udara telah hilang dari tempat itu.

“Kepala sipir… memanggilmu,” ucap sipir satunya lagi dengan nada penuh ketakutan.

Althalan berdiri, tubuhnya tegak dengan sempurna. Gerakannya begitu tenang, tetapi setiap langkahnya memancarkan aura membunuh yang sangat pekat. Suara sepatu lusuhnya berdecit di lantai beton ketika ia melangkah keluar dari ruangan isolasi. Kedua sipir itu berjalan di belakangnya, mencoba menjaga jarak, tapi tetap waspada jika terjadi sesuatu yang di luar kendali.

Mereka melewati koridor panjang yang hening. Setiap penghuni sel yang kebetulan melihat Althalan berjalan hanya bisa menatapnya dari balik jeruji dengan rasa takut dan penasaran. Desas-desus tentangnya telah membuat namanya menjadi legenda kecil di dalam lapas.

“Dia itu Althalan, ya?” bisik salah seorang narapidana kepada temannya.

“Iya, katanya dia bener-bener gila. Exel sama gengnya aja kayak mau mati sekarang.”

“Lo liat matanya? Itu bukan mata manusia biasa…”

Althalan tidak peduli dengan bisikan itu. Tatapannya lurus ke depan, wajahnya datar, seolah tidak ada emosi yang tersisa di dirinya.

Setibanya di depan pintu ruangan kepala sipir, Althalan berhenti. Salah satu sipir mengangguk ragu dan mengetuk pintu beberapa kali.

“Masuk!” terdengar suara berat dari dalam ruangan.

Pintu terbuka, dan Althalan melangkah masuk tanpa ragu. Kepala sipir, seorang pria berusia 50-an dengan kumis tebal dan wajah keras, duduk di balik meja besar. Tatapannya tajam, tetapi ada sedikit ketakutan yang ia sembunyikan saat melihat Althalan berdiri di hadapannya.

“Duduk,” perintah kepala sipir dengan suara yang tegas, meskipun tidak sekuat biasanya.

Althalan duduk di kursi kayu, masih diam dan tak bersuara. Kepalanya sedikit menunduk, tetapi matanya tetap tajam menatap ke arah kepala sipir. Aura mencekam di sekitar dirinya membuat suasana ruangan terasa begitu berat.

Kepala sipir membuka berkas yang ada di mejanya. “Althalan…” ia memulai dengan hati-hati. “Kau tahu kenapa kau ada di sini, kan?”Althalan tidak menjawab.

Kepala sipir melanjutkan. “Apa yang kau lakukan pada Exel dan teman-temannya sudah melampaui batas. Mereka hampir mati karena ulahmu.”

Suasana kembali hening. Althalan hanya menatap kepala sipir dengan ekspresi kosong atau datar. Tidak ada penyesalan di matanya, tidak ada amarah—hanya kehampaan yang mematikan.

Kepala sipir menghela napas berat. “Dengar, Althalan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi kalau kau terus seperti ini, hukumanmu akan semakin diperberat. Dan lagi aku hanya menghawatirkan jika inspektur keamanan datang ke sini maka reputasi ku akan hancur.”

“Gue nggak peduli,” jawab Althalan singkat. Suaranya dalam, nyaris tidak terdengar, tetapi begitu dingin hingga membuat kepala sipir merinding.

“Apa maksudmu?” Kepala sipir bersandar di kursinya.

“Gue nggak punya alasan buat peduli sama apa pun lagi.” Althalan menatapnya tajam. “Lo nggak ngerti rasanya kehilangan satu-satunya orang yang masih peduli sama lo.”

Kepala sipir terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia bisa melihat dari sorot mata Althalan bahwa remaja itu sedang berada di ujung jurang, dan satu langkah lagi ia akan benar-benar jatuh ke dalam kegelapan.

“Keluar,” perintah kepala sipir akhirnya, suaranya lebih pelan kali ini. “Bawa dia kembali ke ruang isolasi.”

Sipir yang berjaga segera mendekat dan memandu Althalan keluar dari ruangan itu. Althalan hanya menurut, tanpa perlawanan. Namun, aura dingin yang ia tinggalkan membuat kepala sipir termenung lama setelahnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada bocah itu?” gumam kepala sipir pelan. “Siapa dia sebenarnya, aku belum pernah melihat orang seperti dia sebelumnya… apalagi aura dan tatapan itu seakan pemangsa yang sedang memburu.”

Saat Althalan akan melangkah keluar dari ruangan itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya membulat, bola matanya membesar seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang pria dengan aura mengerikan berdiri di ambang pintu-wajahnya yang selalu menghantui ingatan Althalan kini muncul di hadapannya.

Kedua sipir yang ada di belakangnya refleks melangkah mundur. Aura membunuh Althalan tiba-tiba meningkat drastis, begitu padat hingga membuat napas terasa berat. Althalan tahu siapa pria itu-Latozey. Pria yang selama ini ia benci lebih dari apapun. Sosok yang tega membunuh ibunya sendiri, dan sekarang dengan entengnya muncul di sini.

"Sungguh lama tak bertemu, putraku," sapa Latozey dengan senyum miring, suaranya penuh kesombongan dan ejekan.

Tubuh Althalan tegang, otot-ototnya menegang begitu keras hingga urat di lehernya terlihat jelas. Dadanya naik turun menahan amarah yang meluap-luap. "Lo..." gumam Althalan penuh kebencian, suaranya terdengar parau namun tajam.

Para sipir di belakangnya hanya bisa terdiam ketakutan, mengetahui siapa Latozey-ketua organisasi mafia paling berbahaya, Nebula Daimoniko. Rumor tentang Latozey telah lama terdengar di telinga mereka, dan kini sosok itu berdiri di hadapan Althalan dengan penuh percaya diri.

Langkah kaki Latozey bergema di ruangan itu, semakin mendekat ke arah Althalan. Namun, di belakangnya, beberapa pria berbadan kekar dengan setelan hitam bersiaga. Salah satunya adalah Kazuo, tangan kanan Latozey, seorang pria dengan postur tinggi, otot kekar dia adalah laki laki yang masih muda umurnya 25 tahun, ia melihat seperti hewan buas dan tatapan tajam penuh kewaspadaan. Mereka semua bisa merasakan aura gelap yang terpancar dari Althalan, tetapi mereka juga tahu bahwa Kazuo tak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Latozey.

Althalan yang tak lagi mampu menahan amarah, melesat maju, menerjang Latozey. Namun sebelum berhasil mendekat, Kazuo bergerak lebih cepat. Tangannya mencengkeram tubuh Althalan dengan kuat, lalu dengan sekali dorongan, ia menendang Althalan hingga terpental jauh ke belakang.

Brakkk!!

Tubuh Althalan menghantam tembok dengan keras, debu berjatuhan, tetapi ia segera bangkit kembali. Kedua tangannya terkepal erat hingga kuku-kukunya menancap di kulit telapak tangannya sendiri. Darah menetes, tetapi Althalan tak peduli. Mata tajamnya menatap Latozey penuh kebencian.

"Bagus," ucap Latozey tiba-tiba sambil tertawa kecil, senyumnya penuh keangkuhan. "Kau tumbuh menjadi seperti yang aku inginkan, Althalan. Aura membunuhmu... sangat menjanjikan."

"Diam!" geram Althalan, napasnya memburu. "Gue bakal bunuh lo, Latozey!"

Namun, Latozey justru memperdalam senyumnya, seakan puas melihat putranya yang kini benar-benar jatuh ke dalam kegelapan. "Oh, kau ingin membunuhku?" Latozey mendekat sedikit, menatap tajam ke arah Althalan.

"Sebelum itu, kau harus tahu sesuatu... pada saat itu ditempat sepi seorang wanita berjalan akan melewati sebuah trotoar! Dan bomm... dia tewas ditabrak, dengar dia sangat menggangumu Althalan dan yang membunuh jalan* itu adalah aku."

Althalan membeku. Seketika seluruh darah di tubuhnya seperti berhenti mengalir. Latozey mengatakannya begitu santai, sambil tersenyum menyeringai. Namun, bagi Althalan, kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk dadanya.

"Bajingan..." bisik Althalan, suaranya rendah namun penuh dengan kemarahan yang tak tertahankan. Urat-urat di wajahnya mulai muncul, napasnya semakin cepat. Mata Althalan tiba-tiba berubah-gelap dan penuh kebencian, seolah bukan dirinya lagi yang memegang kendali.

Sessst!!! Bughhh!!

Kazuo yang berdiri di samping Latozey segera bersiap. "Dia mulai bangkit lagi," gumam Kazuo, lalu dengan cepat melesat ke arah Althalan.

Kazuo menghantam Althalan dengan satu serangan keras di kepala. Althalan tersungkur ke lantai, tak sadarkan diri. Kazuo berdiri di atasnya sambil terengah, lalu menatap Latozey. "Baru saja... dia hampir lepas kendali, itu sangat berbahaya, akan merepotkan bagi kita." Ucap Kazuo dengan nada serius.

Latozey hanya tertawa kecil sambil menatap tubuh Althalan yang tak bergerak. "Itu yang kuinginkan, Kazuo. Lihatlah dia-putraku. Sebentar lagi dia akan jauh lebih kuat daripada siapapun. Bahkan jika semua anggota eksekusi dikumpulkan maka sudah dipastikan mereka semua akan mati ditangan putraku."

Tak lama kemudian, kepala sipir muncul dari pintu, wajahnya pucat pasi. Melihat Latozey berdiri di sana, ia segera membungkuk dalam-dalam, keringat dingin membasahi pelipisnya. "T-Tuan Latozey... k-kedatangan Anda sangat mengejutkan..." ucap kepala sipir terbata-bata. Namun matanya terbelalak saat melihat Althalan yang tergeletak di lantai.

"Bawa kami ke ruanganmu," perintah Latozey santai, tetapi nadanya penuh intimidasi. Kepala sipir hanya bisa mengangguk patuh, tidak ingin memicu kemarahan pria itu.

Althalan tersadar perlahan, samar-samar mendengar suara di sekitarnya. la membuka matanya dan melihat sepatu hitam mengkilap tepat di depannya. Lalu, suara yang ia kenal membuatnya kembali terjaga.

"Bangunlah, Althalan," ujar Latozey.

Tatapan Althalan kembali menyala penuh kebencian. la menggeram saat menyadari kedua tangan dan kakinya telah diborgol. Namun, itu tak menghentikan rasa amarah yang meluap di dalam dirinya.

Latozey berjongkok, menatap tato laba-laba di leher Althalan. "Tato itu bukan tanpa arti, Nak. Laba-laba kecil, predator yang diam-diam mematikan. Kau adalah predator kecil itu-namun belum siap memangsa ular besar seperti aku."

Althalan menatapnya dengan mata membara. "Gue bakal bunuh lo... bagaimanapun caranya..."

Latozey tersenyum puas. " Aku sangat menantikan ini putraku! Akhirnya dirimu bisa seperti ini dan akan terus seperti ini. Tapi sebelum itu, aku beri kau kesempatan."

"Kesempatan?" Althalan menyipitkan mata.

"Ada beberapa anggota Nebula Daimoniko di lapas ini, kandidat remaja yang ingin naik pangkat menjadi anggota eksekusi. Jika kau berhasil menghabisi mereka semua dalam enam bulan... maka aku akan membiarkanmu keluar dari sini dan menantangku."

Kata-kata Latozey itu membuat seluruh ruangan terasa tegang. Kepala sipir yang berdiri di pojok tak bisa berkata apa-apa.

"Deal," jawab Althalan tanpa berpikir panjang. Matanya menyala, penuh tekad membara. "Gue akan habisi mereka semua. Dan setelah itu, gue bakal hancurin lo, Latozey. Seperti lo hancurin hidup gue!"

Latozey tertawa senang. "Itulah semangat yang kuinginkan, putraku."

Kazuo, yang berdiri di belakang Latozey, memandang Althalan dengan tatapan serius. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Althalan bukan remaja biasa.

'serangan yang aku berikan bukan lah serangan biasa, jika tubuh tuan muda lemah mungkin dia akan mengalami koma. Ini fenomena yang sungguh amat luar biasa, aku akan menunggu hingga pertarungan itu tiba,' batin Kazuo.

Bahkan ia sendiri merasa ragu-jika Althalan tidak berhasil melewati ini semua, mungkin kekuatan laki laki itu benar-benar akan menjadi ancaman bagi siapapun, termasuk Latozey sendiri.

Namun, untuk saat ini, permainan telah dimulai. Dan bagi Althalan, ini bukan sekadar permainan-ini adalah awal dari balas dendamnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP