Ruangan isolasi itu sunyi. Hanya ada suara napas Althalan yang teratur, matanya menatap kosong ke lantai beton di bawahnya. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, menciptakan senyum kecil yang lebih mirip ancaman daripada kebahagiaan. Dia sudah terbiasa dengan kesepian. Sudah bertahun-tahun dia hidup tanpa siapapun. Tapi di ruangan ini, Althalan bukan sedang merenung-dia sedang merencanakan sesuatu.
"Paling lambat, semuanya bakal tunduk sama gue," gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Detik berikutnya, suara derit kunci terdengar di balik pintu besi besar. Sipir membuka gembok dengan gerakan lambat, dan pintu itu pun terbuka lebar. Mata sipir itu tidak pernah bertemu pandang dengan Althalan, seolah ada ketakutan yang tertanam dalam dirinya. "Keluar," kata si sipir dengan suara rendah. Althalan berdiri. Dia melangkah keluar dari ruangan sempit itu tanpa sepatah kata, tatapannya dingin seperti es. Aura di sekitarnya membuat sipir itu menunduk, bahkan mundur beberapa langkah. Sesampainya di kantin, suasana berubah drastis. Ruangan luas itu penuh dengan suara piring beradu, gelas yang diletakkan sembarangan, dan percakapan para napi remaja. Tapi begitu Althalan masuk, suasana mendadak sunyi. Semua kepala berbalik menatapnya. Sebagian besar menampilkan ekspresi tidak suka, sebagian lagi hanya melihat sekilas lalu mengabaikannya. "Lihat tuh, anak baru," gumam seorang napi. "Katanya dia bikin Exel masuk ICU." "Hah, cuma rumor. Gue yakin dia cuma cari sensasi." Althalan tak mempedulikan semua itu. Langkahnya tetap tenang menuju meja makanan. Saat dia sedang mengambil nasi, tiba-tiba ada seorang cowok yang menyela antreannya. "Eh, minggir. Gue duluan," katanya dengan nada meremehkan. Dua orang temannya berdiri di belakang, ikut terkekeh. "Kalo lo ngalah lo aman bro!" "Disini mana ada yang berani ke Rando bro hahaha!" Althalan melirik cowok itu sekilas. Dia masih mencoba menahan diri. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa setiap orang di tempat ini adalah bidak yang harus dia mainkan. Setelah mengambil makanannya, Althalan memilih tempat duduk di pojok, jauh dari kerumunan. Tapi kedamaian itu hanya berlangsung sebentar. Tiba-tiba meja di depannya terangkat dan terbalik. Piringnya jatuh ke lantai, makanannya berhamburan. Brakk!!! "Lo pikir lo bisa seenaknya di sini? Bangsa*!!" suara tajam itu datang dari Costa, seorang cowok berotot dengan tato khas di lengannya. Costa berdiri dengan tangan menyilang, dikelilingi oleh pengikutnya. Althalan menatap tato itu. Urat-uratnya mulai menegang. Tato itu adalah tanda yang sama yang dimiliki Exel. Napas Althalan semakin berat, matanya menyala dengan intensitas yang menakutkan. "Lo anak baru yang udah buat Excel babak belur ya? Dan masuk rumah sakit?" Costa menyeringai. "Gue akan kasih lo kesempatan untuk membuktikannya, jika lo sekuat rumor yang gue dengar." Kerumunan mulai bersorak, membentuk lingkaran di sekitar mereka. Costa mengangkat garpu yang jatuh ke lantai, memainkannya seperti pisau kecil. "Siapa duluan? Lo atau gue?" tantangnya sambil menyeringai lebar. Althalan tak menjawab. Dia bergerak cepat, mengarahkan tendangan tinggi ke kepala Costa. Tapi Costa, dengan refleks yang luar biasa, berhasil menghindarinya. Sebuah pukulan panjang dilayangkan Costa ke arah Althalan, memaksa Althalan untuk mundur beberapa langkah. Sorak-sorai napi lain semakin menjadi-jadi. "Kalahkan dia, Costa!" "Tunjukin siapa bos di sini!" Namun, saat sorak itu semakin keras, sesuatu yang mengerikan muncul di mata Althalan. Pandangannya berubah-satu matanya menjadi heterochromia sektorial violet, memancarkan aura gelap yang membuat Costa sedikit mundur. "L-lo... mata lo..." Costa tergagap. "Lo harus belajar tentang adab makan bajinga*!" Tapi Althalan tak memberinya waktu untuk berpikir. Dia menerjang Costa lagi, kali ini dengan pukulan lurus ke dada. Costa mundur beberapa langkah, terkejut dengan kekuatan itu. Namun Costa bukan lawan biasa. Dia dengan cepat membalas, mengayunkan pukulan panjang yang berhasil mengenai sisi rahang Althalan. Tapi Althalan tetap berdiri, seolah tak merasakan sakit sama sekali. Bugh!!! "Lo kuat juga," ujar Costa dengan senyum penuh semangat. "Tapi gue nggak main-main di sini." Keduanya terus bertarung, saling menukar pukulan dan serangan. Kerumunan napi semakin liar, menyemangati Costa yang mulai memegang kendali. Tapi Althalan tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Saat Costa mencoba melayangkan tendangan, Althalan menangkap kakinya, lalu menghantamnya dengan botol kaca yang ia ambil dari meja. Botol itu pecah, darah mengalir dari kepala Costa. Semua napi terdiam. Costa yang sombong kini terkapar di lantai, tak sadarkan diri. Namun, kemenangan itu tak berlangsung lama. Pengikut Costa segera menyerang Althalan, siap menghajarnya. Tapi sebelum mereka bisa mendekat, seorang napi lain melangkah ke depan. "Stop," katanya dengan nada santai dan tiba tiba semuanya berhenti sesuai ucapannya, Althalan pun ikut diam namun dia juga merasa terkejut. Dia menatap Althalan sambil tersenyum kecil. "Gue suka gaya lo. Lain waktu, kita ngobrol, ya hihihi!!" Althalan menatap napi itu dengan penuh curiga dan juga dia merasa aneh karena senyuman itu seakan akan memberi isyarat bahwa akan ada sesuatu, tapi dia memilih untuk pergi, membiarkan keributan di belakangnya. Ini belum akhir dari rencananya-hanya langkah pertama. * * * Langit malam menggantung berat di atas lapas remaja itu, tapi suasananya jauh dari sepi. Semua tahanan sudah keluar dari sel mereka, berkumpul di sisi lapangan luas yang diterangi lampu-lampu besar. Sorakan mereka menggema, membentuk riuh rendah yang mengguncang malam. Para sipir berdiri di beberapa sudut dengan ekspresi puas, seolah menikmati tontonan yang akan segera dimulai. Bahkan kepala sipir terlihat menyandarkan tubuh di kursi lipat, memegang secangkir kopi sambil tersenyum sinis. Di tengah hiruk-pikuk itu, Althalan duduk di kursi kecil di dalam ruang isolasi, memandangi ujung rokok yang menyala di jemarinya. Asap tipis mengepul, melingkar di udara pengap. Matanya kosong, tidak ada kehidupan yang terpancar di sana. Dia mengisap rokok perlahan, seperti tidak peduli dunia di luar yang semakin ramai. "Hei, lo disuruh keluar," kata salah seorang sipir yang muncul di depan pintu. Althalan menoleh perlahan, melepas rokok dari bibirnya. Dia tidak bertanya apa-apa, hanya berdiri, menjatuhkan sisa rokoknya, dan menginjaknya dengan kaki tanpa alas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berjalan keluar. Lorong-lorong yang ia lewati terasa dingin, namun suara sorakan dari lapangan mulai terdengar semakin jelas. Saat mencapai pintu besar yang mengarah ke lapangan, pandangannya langsung disambut oleh kerumunan tahanan yang berteriak, bercanda, dan bahkan ada yang memasang taruhan dengan tahanan lainnya. "Apaan nih?" gumam Althalan pelan, tapi rasa penasaran membuatnya terus melangkah. Seorang tahanan tua yang berdiri di pinggir lapangan menoleh ketika Althalan mendekat. "Baru ya?, Lo nggak tahu ini acara apa?" tanyanya dengan nada mengejek. Althalan hanya menatapnya dingin. "Gue nggak peduli. Gue cuma mau tahu kenapa semua orang keliatan kayak anjing kelaparan nunggu daging." Tahanan itu tertawa. "Daging? Yah, bisa dibilang gitu. Ini Hand Blood, pertunjukan yang selalu kita tunggu. Lo nggak bakal ngerti kenapa ini seru." Althalan mengangkat alis. "Coba gue denger." Pria itu menjelaskan dengan antusias, suara kasarnya bercampur semangat. "Hand Blood itu pertarungan satu lawan satu. Siapa pun yang menang bakal dapet banyak keuntungan, mulai dari masa hukuman yang dipotong sampai fasilitas ilegal, mendapatkan kebebasan dalam arti kata lain, dan mendapatkan uang dari pertarungan Hand blood. Tapi ya, resikonya besar—kadang lo harus siap tewas." "Dan sipir ngebolehin ini?" tanya Althalan datar, meskipun ada sedikit senyuman miring di wajahnya. "Hei, ini hiburan buat mereka juga! Kepala sipir bahkan pasang taruhan, tahu nggak? Lagian, buat kita ini cara buat nunjukin siapa yang paling kuat. Dan siapa yang berhak berkuasa" Althalan menyandarkan tubuh di pagar, matanya memperhatikan lapangan di tengah yang mulai dipenuhi oleh sorakan liar. Tahanan pertama sudah masuk, tubuhnya penuh luka lama, tapi langkahnya percaya diri. "Lalu, siapa jagoan di sini?" tanya Althalan tanpa mengalihkan pandangan. Tahanan itu menunjuk ke satu arah. "Itu, nomor 078, Roksbeg. Dia udah kayak banteng di sini. Nggak ada yang pernah bisa ngalahin dia selama setahun terakhir." Althalan mengikuti arah telunjuknya dan melihat sosok besar yang perlahan melangkah masuk ke lapangan. Tubuh Roksbeg hampir sepenuhnya tertutup tato dan tato yang paling Althalan benci ada ditubuh Roksbeg, otot-otot dan lemaknya menjadikannya terlihat seperti monster. Tahanan lain langsung bersorak lebih keras, menciptakan atmosfer yang makin mencekam. "Menarik," gumam Althalan sambil mengerutkan bibirnya. Tatapan matanya berubah tajam, mengamati gerakan Roksbeg dengan penuh minat. Saat suara sorakan makin memanas, kepala sipir berdiri dari kursinya. "Mulai!" teriaknya sambil menepuk meja kecil di depannya. Roksbeg melirik sekeliling, senyum lebar di wajahnya yang penuh bekas luka. "Siapa selanjutnya yang mau jadi mangsa gue malam ini?!" tantangnya dengan suara keras. Althalan tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah tenang, dia membuka pagar dan berjalan ke tengah lapangan. Kerumunan mendadak sunyi sejenak, sebelum berubah menjadi bisikan-bisikan heran. "Si bocah baru itu? Gila! Dia cari mati apa gimana?" salah satu tahanan berbisik dengan nada panik. "Mentang mentang udah ngalahin Exel sama Costa dia percaya diri maju ketengah lapangan!? What the hell" Di sisi lain lapangan, seseorang yang sedang berdiri menonton tersenyum tipis, matanya penuh rasa ingin tahu. "Dia akan menyukai ini hihihi!" Gumamnya hampir tak terdengar. Roksbeg memandang Althalan dari ujung kaki hingga kepala, lalu tertawa keras. "Hah! Gue pikir bakal dapet lawan berat. Ternyata cuma bocah kecil kayak lo!" Namun, Althalan tetap diam. Matanya yang dingin menatap lurus ke arah Roksbeg, tanpa menunjukkan emosi sedikit pun. Malam itu semakin larut, tapi sorak-sorai para tahanan di lapangan semakin menggema. Semua mata tertuju pada dua sosok yang berdiri di tengah lapangan berdarah-Althalan, dengan tatapan dingin yang menusuk, dan Roksbeg, si "banteng" dengan tubuh besar seperti tembok hidup. Kepala sipir duduk di kursinya dengan mata penuh minat, tangannya memegang segelas kopi. Althalan berdiri mematung di tempatnya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya terus memindai tubuh Roksbeg. "Kroco kayak lo ngapain turun ke sini? Cih! Gue bakal bikin lo nyesel," ejek Roksbeg sambil mengangkat kedua tangannya ke udara, memancing sorakan lebih keras dari para tahanan. Tanpa balas dendam yang terburu-buru, Althalan hanya membenahi posisi rokok yang masih menggantung di bibirnya. "Ngomong itu gampang. Gue cuma nunggu lo Dead, you know?." Ucapannya datar, tapi penuh keyakinan. "BANTENG VS KROCO! TARUHAN DIBUKA!" seorang tahanan berteriak, dan suara gemuruh semakin menjadi-jadi. Roksbeg, tanpa aba-aba, langsung menyerang. Pukulan besarnya meluncur cepat, memaksa Althalan menghindar ke samping. Angin pukulan itu begitu kencang, hampir membuat rambut Althalan berkibar. "Lumayan juga," gumamnya pelan. Bugh!!! Syutt!!! Tapi Roksbeg tak berhenti. la terus melayangkan pukulan bertubi-tubi, memaksa Althalan hanya bertahan. Satu pukulan keras akhirnya mengenai perut Althalan, membuat tubuhnya terpental ke belakang hingga membentur pagar. "HAHAHAHA! Ini bahkan belum pemanasan, bocah!" seru Roksbeg, disambut tawa riuh. Althalan berdiri perlahan, menatap Roksbeg dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. "Lo besar, tapi otak lo segede kacang. Lo tau nggak, otot lo itu cuma bantal buat pukulan gue?" katanya dengan senyum tipis. Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Roksbeg kembali menyerang. Kali ini, dia menangkap Althalan dengan cengkramannya yang kuat, lalu melemparkan tubuhnya seperti boneka ke tengah lapangan. Althalan mendarat dengan keras, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Para tahanan bersorak liar. Syutt!!! brukk!!! "HANCURKAN DIA, BANTENG!" Roksbeg melangkah mendekat, menginjak-injak tanah dengan berat tubuhnya. "Lo terlalu kecil untuk tempat kayak gini. Gue bakal bikin lo merangkak minta ampun!" Tapi saat Roksbeg hendak menyerang lagi, Althalan bergerak cepat. Dengan satu dorongan tubuh, dia melompat ke sisi lain, menghindari pukulan besar yang nyaris menghantamnya. Dia menyeka darah dari mulutnya dan mulai tertawa pelan. "Lo tau nggak, lo itu tipe orang yang gampang dipancing. Sekarang waktunya gue kasih pelajaran." Althalan melesat ke arah Roksbeg, tapi kali ini dia tak menyerang langsung. Sebaliknya, dia memancing Roksbeg agar terus menyerangnya, membiarkan si banteng menguras energinya sendiri. Setiap pukulan Roksbeg gagal, semakin banyak tenaga yang dia habiskan. "KENAPA NGGAK BALAS, BAJINGAN KECIL? TAKUT YA?" Roksbeg mulai kehilangan kesabaran. Althalan tersenyum sinis. "Gue nggak takut. Gue cuma nunggu lo capek." Saat Roksbeg menyerang lagi, Althalan akhirnya membalas. Satu pukulan keras menghantam rahang Roksbeg, cukup untuk membuat tubuh besarnya bergoyang. Para tahanan yang tadinya mengejek Althalan mulai terdiam. "Nggak mungkin! Dia berhasil nyentuh si Banteng?!" Tapi itu belum selesai. Althalan memanfaatkan momen kebingungan Roksbeg, menyerang lutut kirinya dengan tendangan kuat. Tubuh besar itu akhirnya terjatuh ke tanah. Sorakan mulai bercampur dengan suara kekhawatiran dari pengikut Roksbeg. Roksbeg mencoba bangkit, tapi Althalan sudah berada di atasnya. Dia memukul wajah Roksbeg berulang kali, hingga darah bercipratan ke tanah. Setiap pukulan semakin keras, membuat suara sorakan berganti menjadi keheningan. Kepala sipir melirik ke bawah, senyum tipis muncul di wajahnya. "Anak ini... menarik." Akhirnya, Althalan berhenti. Dia berdiri di atas tubuh tak bergerak Roksbeg, mengatur napasnya yang berat. Mata dinginnya menatap para tahanan yang menonton. "Siapa lagi yang mau turun?!" tantangnya, suaranya menggema di lapangan. Tak ada yang berani menjawab. Semua tahanan hanya diam, menatapnya dengan rasa takut. Kepala sipir bertepuk tangan, memecah keheningan. "Selesaikan pertunjukannya. Yang kalah bawa ke klinik." Perintahnya singkat, tapi cukup membuat beberapa sipir bergerak cepat. Althalan meninggalkan lapangan dengan tubuh penuh darah, milik Roksbeg kini sepenuhnya milik Althalan, dia membuka kemeja tahanannya. Tapi tatapan dinginnya tak berubah. Dia tahu, ini baru permulaan. Untuk mendapatkan apa yang dia mau, dia harus terus memanjat hierarki kegelapan di tempat ini. "hand blood, ya? Gue bakal bikin ini jadi panggung gue sendiri," gumamnya sambil berjalan kembali ke selnya. Dan malam itu nama Althalan mulai menggema di penjara remaja itu. Bukan sebagai kroco, tapi sebagai calon raja baru yang tak kenal takut.Malam itu, nama Althalan menggema di seluruh penjara remaja. Dua bulan berlalu sejak dia pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, dan selama itu pula, dia menciptakan teror yang tak terlupakan. Nightmare, itulah julukan yang kini disematkan padanya.Di dalam sel yang gelap dan pengap, Althalan duduk bersandar di dinding beton yang dingin. Dia menyalakan rokok dengan ujung jarinya yang kasar akibat pertempuran sebelumnya. Asap putih mengepul ke udara, samar-samar memperlihatkan tatapan tajamnya yang penuh perhitungan.BRAKK!Pintu besi terbuka, suara langkah berat terdengar mendekatinya. Seorang sipir berdiri di depan pintu dengan ekspresi tak terbaca."Waktunya hiburan," ucapnya singkat.Althalan membuang puntung rokoknya, lalu bangkit perlahan. Tanpa perlu dikawal, dia melangkah keluar, menyusuri lorong panjang yang dipenuhi tatapan penuh hormat dan ketakutan dari para tahanan lain. Tidak ada yang berani bersuara saat dia lewat.Begitu tiba di lapangan luas, gemuruh sorakan terd
BRAKK!Pintu sel terbuka keras, menghantam tembok dengan suara gemuruh yang menggema di sepanjang koridor. Langkah kaki Althalan terdengar tenang, tapi aura di sekelilingnya terasa seperti pusaran badai yang siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.Mata heterochromia sektorial violetnya berkilat tajam dalam kegelapan, mencerminkan kegelapan yang semakin mencengkeram pikirannya. Darah masih menetes dari jemarinya, meninggalkan jejak merah di lantai yang dingin."Bagus… Lanjutkan," suara Devil Nightmare bergema di dalam kepalanya. "Lebih banyak… Lebih dalam…"Althalan tidak menjawab. Dia hanya berjalan, tubuhnya rileks tapi setiap ototnya menegang, siap menerkam siapa pun yang berani menghalangi.Tahanan lain yang melihatnya langsung mundur ketakutan. Sebagian membungkuk, berpura-pura tak melihat. Yang lain menempel ke tembok, menahan napas. Tidak ada yang berani menantang iblis yang baru saja lahir di dalam penjara ini.Namun, di ujung lorong, tiga pria bertubuh besar berd
Sejak saat itu, suasana di dalam penjara berubah drastis. Semua tahanan kini tahu bahwa Althalan bukan sekadar orang berbahaya—dia adalah sesuatu yang lebih dari itu. Mereka yang sebelumnya merasa punya kekuatan, kini hanya bisa diam dan menghindari kontak mata dengannya.Tapi Althalan? Dia tidak peduli.Dia duduk di sudut selnya, tetap tenang seperti biasanya, namun pikirannya masih berputar-putar dengan suara Devil Nightmare yang terus menggema di dalam kepalanya."Kita lihat sampai kapan lo bisa menahan gue, Althalan."Ucapan itu masih terasa jelas.Althalan menggerakkan jari-jarinya perlahan, merasakan betapa dinginnya udara di dalam sel ini. Dia tahu satu hal—semakin lama dia berada di sini, semakin besar peluang Devil Nightmare untuk mengambil alih dirinya.Dan itu tidak boleh terjadi. Namun, saat dia mulai mencoba menenangkan pikirannya, suara langkah kaki berat terdengar mendekat dari koridor."Tahanan 712, ada yang mau ketemu lo."Althalan tidak langsung bereaksi. Dia hanya m
Langkah Althalan mantap melewati lorong sempit yang kini sunyi setelah pertarungan sebelumnya. Tahanan lain memilih menjauh, tak berani mendekat meskipun hanya sekadar melihatnya. Tatapan mereka dipenuhi rasa takut dan ketidakpercayaan.Tapi Althalan tidak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh suara-suara dari dalam kepalanya."Lebih... lebih... lebih banyak darah..."Tangan kanannya mengepal erat, urat-uratnya menonjol. Aura kegelapan yang berasal dari Devil Nightmare terus merayapi tubuhnya, semakin kuat seiring bertambahnya korban. Matanya yang heterochromia sektorial violet berkilat tajam di bawah penerangan lampu redup lorong itu."Tersisa dua," gumamnya pelan.Di depan, sebuah pintu baja besar terlihat. Dua orang penjaga berdiri di sana, ekspresi mereka menegang saat melihat Althalan mendekat."Lo gak bisa masuk," kata salah satu penjaga dengan suara bergetar.Althalan tidak menjawab. Dia hanya berhenti sejenak, mengangkat kepalanya sedikit, menatap mereka dengan dingin."Pinda
Dalam satu hentakan, Althalan melesat dengan kecepatan mengerikan. Xaviel bahkan belum sempat mengangkat tangannya ketika—BUGH!Althalan meninju dadanya dengan brutal, membuat pria itu terangkat ke udara beberapa meter. Tidak ada waktu untuk bernapas.Serangkaian pukulan menghantam wajah Xaviel secara sadis, tulang hidungnya patah, darah menyembur, matanya membelalak karena guncangan otaknya. Tapi Althalan belum puas."Lo pikir udah cukup?"Xaviel masih setengah sadar ketika tangan Althalan mencengkeram kepalanya, Dia menghantamkan kepala Xaviel ke lantai beton.Lagi.Lagi.LAGI!Darah menyebar, bercampur dengan retakan di lantai. Beberapa narapidana yang menonton dari jauh mulai gemetar. Mereka melihat sesuatu yang lebih dari manusia.Mereka melihat iblis, Tapi Althalan tidak berhenti. Devil Nightmare menggeliat dalam dirinya, mendesaknya untuk lebih, untuk menikmati kesengsaraan lawannya."Bangun."Xaviel menggeliat, setengah sadar, tubuhnya berlumuran darah. Tapi sebelum dia bisa
Keesokan harinya, nama Althalan Zeyasel telah menjadi legenda di dalam lapas remaja itu. Tidak ada lagi yang berani menantangnya, bahkan kepala sipir pun memilih untuk menghindari tatapan matanya. Orang-orang terkuat di sana hanya bisa menunduk ketika melewatinya, sadar bahwa tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk menantang kekuasaan.Hari ini, Althalan memilih untuk beristirahat. Luka-lukanya masih terasa perih setelah pertarungan yang tiada henti, tetapi pikirannya tetap tajam.Saat itulah seorang sipir mendekatinya dengan wajah sedikit cemas."Tuan Althalan, ada yang menjengukmu."Althalan menoleh dengan tatapan dingin. Tanpa banyak bicara, dia berdiri dan berjalan mengikuti sipir itu menuju ruang kunjungan.Di balik kaca pemisah ruangan itu, duduklah Kazuo, tangan kanan Latozey. Pria itu mengenakan jas hitam yang rapi seperti biasa, tetapi ada ketegangan di wajahnya. Begitu melihat Althalan masuk, Kazuo hanya menundukkan pandangannya sejenak sebelum akhirnya duduk dengan tenang d
Matahari pagi menyinari gerbang Luminos Academy, sekolah elite yang dipenuhi anak-anak dari keluarga berpengaruh. Para siswa sudah mulai berdatangan, sebagian sibuk berbicara, sementara yang lain berdiri di sudut koridor dengan tatapan malas.Namun, pagi itu sedikit berbeda. Ada satu rumor yang sudah menyebar sejak kemarin—akan ada murid baru.Banyak siswa, terutama para siswi, sibuk bergosip tentang siapa yang akan masuk ke sekolah mereka. Beberapa bahkan sudah membayangkan seorang anak pejabat dengan wajah tampan dan gaya hidup mewah.Namun, sebelum mereka bisa terus berimajinasi, suara deru mesin mobil sport menarik perhatian.Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang. Dari dalam, lima orang pria keluar dengan gaya penuh percaya diri. Mereka adalah kelompok yang dijuluki "Most Wanted", sekumpulan anak orang kaya yang menguasai sekolah ini. Galaksi, Thomas, Venro, Ropal, dan Yeon.Mereka terkenal karena ketampanan, kekayaan, dan sikap arogan mereka. Tak hanya itu, mereka ju
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Suara siswa-siswi yang berhamburan keluar dari kelas terdengar di seluruh koridor. Mereka bercanda, berbicara tentang tugas, atau sekadar merencanakan untuk nongkrong setelah sekolah.Di sisi lain, Althalan berjalan keluar dari gerbang Luminos Academy dengan santai, tangannya masih menggenggam buku yang ia bawa sejak tadi. Meski terlihat tenang, pikirannya masih memikirkan aura misterius yang ia rasakan di perpustakaan tadi."Siapa pun itu… dia pasti memperhatikan gue sejak awal."Althalan tak menunjukkan ekspresi apa pun, namun dalam hatinya, ia tahu ini bukan hal biasa.Langkahnya terhenti sejenak di trotoar depan sekolah. Langit sudah sedikit mendung, angin sore berhembus pelan. Beberapa murid lain yang melihatnya masih berbisik-bisik, terutama para siswi yang sejak tadi menaruh perhatian padanya.Namun, Althalan tidak peduli. Saat dia hendak melanjutkan langkahnya, sebuah suara memanggilnya dari belakang."Hei, Althalan!"Althalan menoleh. Ter
Malam itu, suasana di mansion Ombra Thanatos terasa tenang. Tapi bagi Amore, Jovenica, Ellen, dan Moreno, ini adalah ketenangan yang terasa aneh.Mereka duduk di ruang tengah, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ellen menatap layar laptopnya dengan mata tajam, Jovenica sibuk mengasah pisaunya, sedangkan Amore duduk dengan kaki disilangkan, memainkan belati kecil di tangannya.Sementara itu, Moreno…"Woi, lo bisa diem nggak?!" Jovenica menggeram, menatap Moreno yang duduk bersila di lantai, mengunyah keripik dengan suara berisik."Lagian kenapa sih mukanya pada tegang gitu? Apa karena kejadian tadi di sekolah?" Moreno mendecak, lalu menyeringai, "Atau karena kalian masih kepikiran cowok iblis itu?"Amore mendelik. "Cowok iblis?""Ya siapa lagi kalau bukan Althalan," Moreno mengangkat bahu santai. "Gue udah lihat rekaman dari hacker kita. Malam ini dia ‘main’ di mansionnya Valentino."Mata Ellen langsung melirik ke arah Moreno dengan penuh minat. "Lo serius?""Ya iyalah. Gue ngapain
Malam di kota ini tak pernah benar-benar tenang. Lampu jalan berkedip samar, dan suara klakson kendaraan dari kejauhan terdengar sesekali. Di sebuah kawasan industri yang hampir ditinggalkan, berdiri sebuah bangunan besar yang tampak tak mencolok—gudang tua dengan cat yang mulai pudar dan pintu baja yang berkarat.Namun, di balik tampilan kumuh itu, tempat ini adalah salah satu pusat kekuatan Organisasi Rafael. Gudang ini menyimpan berbagai senjata ilegal yang mereka edarkan ke berbagai sindikat di kota.Dua pria bertubuh besar berjaga di depan pintu, masing-masing menggenggam senapan serbu. Sesekali, mereka berbincang santai, merokok, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir mereka.Tak jauh dari sana, di atas gedung seberang, sosok bertudung berdiri di tepi, menatap gudang dengan mata tajam. Althalan.Angin dingin malam menyapu jaketnya, namun dia tetap tak bergerak, mengamati pola penjagaan dengan cermat. Lima orang di luar,
Althalan baru saja tiba di sekolah, berjalan santai melewati gerbang tanpa memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang menarik di sini. Sekolah hanyalah formalitas baginya, dan dia tidak punya niat untuk buang-buang waktu.Namun, baru saja dia hendak menuju kelas, suara nyaring yang menyebalkan itu terdengar."Oh? Ternyata Kamu ada disini Althalan. Aku sudah nunggu kamu."Althalan tetap berjalan tanpa peduli, tapi dari belakang, Amore mendesis pelan. "Tch, Medusa."Di sana, berdiri dengan angkuhnya, Runela bersama tiga temannya. Seperti biasa, mereka berjalan seolah-olah sekolah ini milik mereka, dengan senyum penuh kepercayaan diri. Rok seragamnya lebih pendek dari aturan, riasannya terlalu berlebihan untuk standar sekolah, dan ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak datang hanya untuk sekadar menyapa.Runela tersenyum manis ke arah Althalan, berjalan lebih dekat dengan tatapan genit. "Kenapa buru-buru, hm? Aku baru aja datang, sayang
Ellen mengetik dengan cekatan di laptopnya, wajahnya serius sementara layar menampilkan berbagai informasi tentang Althalan. Jari-jarinya terus bergerak, hingga akhirnya dia berhenti dan menatap layar dengan mata membesar."Holy sh*t…" Ellen berseru pelan, membuat Amore, Deul, dan Jovenica langsung mendekat."Kenapa?" Amore bertanya, melirik layar laptop yang menampilkan sebuah dokumen rahasia.Ellen menelan ludah, lalu memutar laptopnya agar mereka semua bisa melihat. "Althalan… dia bukan orang biasa. Dia anak dari Latozey."Ruangan seketika sunyi. Deul dan Jovenica menegang, sementara Amore menyipitkan mata. Nama itu bukanlah nama asing di dunia mafia. Latozey adalah legenda, seorang pemimpin yang namanya dibisikkan dengan ketakutan di seluruh dunia bawah."Bukan cuma itu," Ellen melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Althalan juga berhasil menghabisi organisasi Pradipta sendirian. Organisasi itu bukan sembarangan, mereka salah satu j
Keesokan paginya, Amore, Ellen, Deul, dan Jovenica dipanggil ke ruang rapat utama mansion. Mereka melangkah masuk dengan santai, meskipun mereka tahu betul bahwa jika ayah mereka memanggil mereka secara langsung, itu berarti sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan, Razoes sudah duduk di kursi utama dengan ekspresi seriusnya. Di hadapannya, ada empat kotak hitam yang masing-masing memiliki nama mereka terukir di atasnya. "Duduk," kata Razoes dengan suara dalam yang penuh wibawa. Keempatnya mengambil tempat, menatap kotak itu dengan rasa penasaran. "Daddy udah mengamati perkembangan kalian sejak pertama kali kalian Daddy latih. Kalian sudah berkembang, tapi masih ada banyak hal yang harus kalian pelajari." Razoes melipat tangan di depan dadanya. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan naik ke level berikutnya." Deul menaikkan alis. "Maksud Daddy?" Razoes menyeringai kecil. "Buka kotaknya." Tanpa banyak basa-basi, Amore dan saudara-saudaranya membuka kotak masing-masing. Begi
Althalan menarik napas dalam, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal akibat pertarungan tadi. Malam ini seharusnya dia hanya ingin fokus mencari informasi tentang organisasi Rafael, tapi justru bertemu dengan Maverick yang memaksanya bertarung tanpa rencana. Mesin motor sport barunya meraung pelan saat dia menarik gas, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, suara batuk kasar terdengar dari belakangnya. "Hah… Lo pikir gue bakal tumbang cuma segini aja, hah?" Althalan melirik dari spion. Maverick masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka dan darah menetes dari sudut bibirnya. Matanya masih dipenuhi api perlawanan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. "Heh, lo masih bisa berdiri?" Althalan mendecakkan lidah, memutar gas motornya sedikit. Maverick menyeringai, lalu meludah ke tanah. "Lo pikir gue bakal kalah semudah itu?" Suaranya parau, tapi tekadnya masih membara. "Gue janji akan ngalahin lo, dan gue nggak akan berhenti sebelum itu terjadi!" Alth
Langit sore mulai meredup saat Althalan berjalan keluar dari apartemennya. Jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya sedikit berkibar tertiup angin. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan mulai menelusuri jalanan kota yang dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Tidak ada misi hari ini. Tidak ada pertempuran, tidak ada darah. Hanya hari biasa yang terasa asing baginya. Althalan menatap ke langit. Entah kenapa, akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi dengan sesuatu yang tidak ia mengerti. Sebuah ingatan samar yang terus muncul, seolah ada sesuatu yang ingin dia ingat. Saat melintasi sebuah pertokoan, pandangannya tertuju pada satu tempat—sebuah dealer motor mewah. "Motor..." gumamnya pelan. Langkahnya terhenti di depan kaca besar yang memajang berbagai jenis motor sport dengan desain futuristik dan kecepatan yang menggoda. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah motor dengan bodi hitam mengkilap, aksen merah tua di sisi bodinya membuatnya terlihat garang dan memat
Gudang itu berdiri di ujung dermaga, lampunya redup, dan di sekitarnya ada beberapa truk kontainer yang diparkir berjejer. Suara deburan ombak samar-samar terdengar di kejauhan. Althalan berdiri di balik bayangan sebuah kontainer besar, matanya tajam menatap ke arah gudang. Dia sudah menghitung jumlah musuh dari kejauhan—sebelas orang berjaga di luar, beberapa memegang senjata laras panjang, dan sisanya membawa pistol. "Transaksi ini bernilai lebih dari lima ratus juta... masuk akal kalau mereka mengamankan tempat ini mati-matian," pikirnya. Dia tidak peduli siapa mereka. Yang dia pedulikan hanya misinya: ambil senjata, habisi semua orang yang ada di sini. Althalan menarik napas dalam. Lalu, dia bergerak. Tubuhnya melesat cepat seperti bayangan, tanpa suara, hanya langkah-langkah ringan yang hampir tak terdengar di atas aspal basah. Dia mendekati penjaga pertama yang sedang merokok di dekat kontainer. Tanpa ragu, dia menyergap dari belakang, tangan kirinya membungkam mulut pria i
Semuanya terjadi dalam sekejap. Satu detik yang lalu, geng Galaksi masih berdiri dengan percaya diri, merasa jumlah mereka cukup untuk menghancurkan siapa pun. Tapi detik berikutnya… dunia berubah. Tulang patah, daging terkoyak, dan jeritan kesakitan mengisi udara. Althalan tidak bisa berkata apa-apa. Matanya hanya terpaku pada sosok di depannya. Amore. Cewek itu bergerak lebih cepat dari yang bisa ditangkap oleh mata manusia biasa. Satu pukulan—hanya satu—dan tubuh salah satu anak buah Galaksi terpental seperti boneka kain, menabrak tembok dengan bunyi keras. "A-Apa...?" Galaksi mundur selangkah, matanya membelalak saat melihat rekannya mengerang di tanah dengan lengan yang patah ke arah yang tidak seharusnya. Tapi Amore belum selesai.Dia menghilang. Menghilang!!. Atau setidaknya, begitulah yang terlihat di mata mereka. Tapi bagi Althalan, dia masih bisa menangkap gerakan Amore—cewek itu bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Satu tendangan ke lutut, dan seorang pria jatuh s