Search
Library
Home / Romansa / Sang Penguasa Dunia Mafia / hand blood

hand blood

2025-03-22 23:44:44

Ruangan isolasi itu sunyi. Hanya ada suara napas Althalan yang teratur, matanya menatap kosong ke lantai beton di bawahnya. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, menciptakan senyum kecil yang lebih mirip ancaman daripada kebahagiaan. Dia sudah terbiasa dengan kesepian. Sudah bertahun-tahun dia hidup tanpa siapapun. Tapi di ruangan ini, Althalan bukan sedang merenung-dia sedang merencanakan sesuatu.

"Paling lambat, semuanya bakal tunduk sama gue," gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Detik berikutnya, suara derit kunci terdengar di balik pintu besi besar. Sipir membuka gembok dengan gerakan lambat, dan pintu itu pun terbuka lebar. Mata sipir itu tidak pernah bertemu pandang dengan Althalan, seolah ada ketakutan yang tertanam dalam dirinya.

"Keluar," kata si sipir dengan suara rendah.

Althalan berdiri. Dia melangkah keluar dari ruangan sempit itu tanpa sepatah kata, tatapannya dingin seperti es. Aura di sekitarnya membuat sipir itu menunduk, bahkan mundur beberapa langkah.

Sesampainya di kantin, suasana berubah drastis. Ruangan luas itu penuh dengan suara piring beradu, gelas yang diletakkan sembarangan, dan percakapan para napi remaja. Tapi begitu Althalan masuk, suasana mendadak sunyi. Semua kepala berbalik menatapnya. Sebagian besar menampilkan ekspresi tidak suka, sebagian lagi hanya melihat sekilas lalu mengabaikannya.

"Lihat tuh, anak baru," gumam seorang napi.

"Katanya dia bikin Exel masuk ICU."

"Hah, cuma rumor. Gue yakin dia cuma cari sensasi."

Althalan tak mempedulikan semua itu. Langkahnya tetap tenang menuju meja makanan. Saat dia sedang mengambil nasi, tiba-tiba ada seorang cowok yang menyela antreannya.

"Eh, minggir. Gue duluan," katanya dengan nada meremehkan. Dua orang temannya berdiri di belakang, ikut terkekeh.

"Kalo lo ngalah lo aman bro!"

"Disini mana ada yang berani ke Rando bro hahaha!"

Althalan melirik cowok itu sekilas. Dia masih mencoba menahan diri. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa setiap orang di tempat ini adalah bidak yang harus dia mainkan.

Setelah mengambil makanannya, Althalan memilih tempat duduk di pojok, jauh dari kerumunan. Tapi kedamaian itu hanya berlangsung sebentar. Tiba-tiba meja di depannya terangkat dan terbalik. Piringnya jatuh ke lantai, makanannya berhamburan.

Brakk!!!

"Lo pikir lo bisa seenaknya di sini? Bangsa*!!" suara tajam itu datang dari Costa, seorang cowok berotot dengan tato khas di lengannya. Costa berdiri dengan tangan menyilang, dikelilingi oleh pengikutnya.

Althalan menatap tato itu. Urat-uratnya mulai menegang. Tato itu adalah tanda yang sama yang dimiliki Exel. Napas Althalan semakin berat, matanya menyala dengan intensitas yang menakutkan.

"Lo anak baru yang udah buat Excel babak belur ya? Dan masuk rumah sakit?" Costa menyeringai. "Gue akan kasih lo kesempatan untuk membuktikannya, jika lo sekuat rumor yang gue dengar."

Kerumunan mulai bersorak, membentuk lingkaran di sekitar mereka. Costa mengangkat garpu yang jatuh ke lantai, memainkannya seperti pisau kecil.

"Siapa duluan? Lo atau gue?" tantangnya sambil menyeringai lebar.

Althalan tak menjawab. Dia bergerak cepat, mengarahkan tendangan tinggi ke kepala Costa. Tapi Costa, dengan refleks yang luar biasa, berhasil menghindarinya. Sebuah pukulan panjang dilayangkan Costa ke arah Althalan, memaksa Althalan untuk mundur beberapa langkah.

Sorak-sorai napi lain semakin menjadi-jadi.

"Kalahkan dia, Costa!"

"Tunjukin siapa bos di sini!"

Namun, saat sorak itu semakin keras, sesuatu yang mengerikan muncul di mata Althalan. Pandangannya berubah-satu matanya menjadi heterochromia sektorial violet, memancarkan aura gelap yang membuat Costa sedikit mundur.

"L-lo... mata lo..." Costa tergagap.

"Lo harus belajar tentang adab makan bajinga*!"

Tapi Althalan tak memberinya waktu untuk berpikir. Dia menerjang Costa lagi, kali ini dengan pukulan lurus ke dada. Costa mundur beberapa langkah, terkejut dengan kekuatan itu.

Namun Costa bukan lawan biasa. Dia dengan cepat membalas, mengayunkan pukulan panjang yang berhasil mengenai sisi rahang Althalan. Tapi Althalan tetap berdiri, seolah tak merasakan sakit sama sekali.

Bugh!!!

"Lo kuat juga," ujar Costa dengan senyum penuh semangat. "Tapi gue nggak main-main di sini."

Keduanya terus bertarung, saling menukar pukulan dan serangan. Kerumunan napi semakin liar, menyemangati Costa yang mulai memegang kendali. Tapi Althalan tak menunjukkan tanda-tanda menyerah.

Saat Costa mencoba melayangkan tendangan, Althalan menangkap kakinya, lalu menghantamnya dengan botol kaca yang ia ambil dari meja. Botol itu pecah, darah mengalir dari kepala Costa.

Semua napi terdiam. Costa yang sombong kini terkapar di lantai, tak sadarkan diri.

Namun, kemenangan itu tak berlangsung lama. Pengikut Costa segera menyerang Althalan, siap menghajarnya. Tapi sebelum mereka bisa mendekat, seorang napi lain melangkah ke depan.

"Stop," katanya dengan nada santai dan tiba tiba semuanya berhenti sesuai ucapannya, Althalan pun ikut diam namun dia juga merasa terkejut. Dia menatap Althalan sambil tersenyum kecil. "Gue suka gaya lo. Lain waktu, kita ngobrol, ya hihihi!!"

Althalan menatap napi itu dengan penuh curiga dan juga dia merasa aneh karena senyuman itu seakan akan memberi isyarat bahwa akan ada sesuatu, tapi dia memilih untuk pergi, membiarkan keributan di belakangnya. Ini belum akhir dari rencananya-hanya langkah pertama.

* * *

Langit malam menggantung berat di atas lapas remaja itu, tapi suasananya jauh dari sepi. Semua tahanan sudah keluar dari sel mereka, berkumpul di sisi lapangan luas yang diterangi lampu-lampu besar. Sorakan mereka menggema, membentuk riuh rendah yang mengguncang malam. Para sipir berdiri di beberapa sudut dengan ekspresi puas, seolah menikmati tontonan yang akan segera dimulai. Bahkan kepala sipir terlihat menyandarkan tubuh di kursi lipat, memegang secangkir kopi sambil tersenyum sinis.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Althalan duduk di kursi kecil di dalam ruang isolasi, memandangi ujung rokok yang menyala di jemarinya. Asap tipis mengepul, melingkar di udara pengap. Matanya kosong, tidak ada kehidupan yang terpancar di sana. Dia mengisap rokok perlahan, seperti tidak peduli dunia di luar yang semakin ramai.

"Hei, lo disuruh keluar," kata salah seorang sipir yang muncul di depan pintu.

Althalan menoleh perlahan, melepas rokok dari bibirnya. Dia tidak bertanya apa-apa, hanya berdiri, menjatuhkan sisa rokoknya, dan menginjaknya dengan kaki tanpa alas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berjalan keluar.

Lorong-lorong yang ia lewati terasa dingin, namun suara sorakan dari lapangan mulai terdengar semakin jelas. Saat mencapai pintu besar yang mengarah ke lapangan, pandangannya langsung disambut oleh kerumunan tahanan yang berteriak, bercanda, dan bahkan ada yang memasang taruhan dengan tahanan lainnya.

"Apaan nih?" gumam Althalan pelan, tapi rasa penasaran membuatnya terus melangkah.

Seorang tahanan tua yang berdiri di pinggir lapangan menoleh ketika Althalan mendekat. "Baru ya?, Lo nggak tahu ini acara apa?" tanyanya dengan nada mengejek.

Althalan hanya menatapnya dingin. "Gue nggak peduli. Gue cuma mau tahu kenapa semua orang keliatan kayak anjing kelaparan nunggu daging."

Tahanan itu tertawa. "Daging? Yah, bisa dibilang gitu. Ini Hand Blood, pertunjukan yang selalu kita tunggu. Lo nggak bakal ngerti kenapa ini seru."

Althalan mengangkat alis. "Coba gue denger."

Pria itu menjelaskan dengan antusias, suara kasarnya bercampur semangat. "Hand Blood itu pertarungan satu lawan satu. Siapa pun yang menang bakal dapet banyak keuntungan, mulai dari masa hukuman yang dipotong sampai fasilitas ilegal, mendapatkan kebebasan dalam arti kata lain, dan mendapatkan uang dari pertarungan Hand blood. Tapi ya, resikonya besar—kadang lo harus siap tewas."

"Dan sipir ngebolehin ini?" tanya Althalan datar, meskipun ada sedikit senyuman miring di wajahnya.

"Hei, ini hiburan buat mereka juga! Kepala sipir bahkan pasang taruhan, tahu nggak? Lagian, buat kita ini cara buat nunjukin siapa yang paling kuat. Dan siapa yang berhak berkuasa"

Althalan menyandarkan tubuh di pagar, matanya memperhatikan lapangan di tengah yang mulai dipenuhi oleh sorakan liar. Tahanan pertama sudah masuk, tubuhnya penuh luka lama, tapi langkahnya percaya diri.

"Lalu, siapa jagoan di sini?" tanya Althalan tanpa mengalihkan pandangan.

Tahanan itu menunjuk ke satu arah. "Itu, nomor 078, Roksbeg. Dia udah kayak banteng di sini. Nggak ada yang pernah bisa ngalahin dia selama setahun terakhir."

Althalan mengikuti arah telunjuknya dan melihat sosok besar yang perlahan melangkah masuk ke lapangan. Tubuh Roksbeg hampir sepenuhnya tertutup tato dan tato yang paling Althalan benci ada ditubuh Roksbeg, otot-otot dan lemaknya menjadikannya terlihat seperti monster. Tahanan lain langsung bersorak lebih keras, menciptakan atmosfer yang makin mencekam.

"Menarik," gumam Althalan sambil mengerutkan bibirnya. Tatapan matanya berubah tajam, mengamati gerakan Roksbeg dengan penuh minat.

Saat suara sorakan makin memanas, kepala sipir berdiri dari kursinya. "Mulai!" teriaknya sambil menepuk meja kecil di depannya.

Roksbeg melirik sekeliling, senyum lebar di wajahnya yang penuh bekas luka. "Siapa selanjutnya yang mau jadi mangsa gue malam ini?!" tantangnya dengan suara keras.

Althalan tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah tenang, dia membuka pagar dan berjalan ke tengah lapangan. Kerumunan mendadak sunyi sejenak, sebelum berubah menjadi bisikan-bisikan heran.

"Si bocah baru itu? Gila! Dia cari mati apa gimana?" salah satu tahanan berbisik dengan nada panik.

"Mentang mentang udah ngalahin Exel sama Costa dia percaya diri maju ketengah lapangan!? What the hell"

Di sisi lain lapangan, seseorang yang sedang berdiri menonton tersenyum tipis, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Dia akan menyukai ini hihihi!" Gumamnya hampir tak terdengar.

Roksbeg memandang Althalan dari ujung kaki hingga kepala, lalu tertawa keras. "Hah! Gue pikir bakal dapet lawan berat. Ternyata cuma bocah kecil kayak lo!"

Namun, Althalan tetap diam. Matanya yang dingin menatap lurus ke arah Roksbeg, tanpa menunjukkan emosi sedikit pun.

Malam itu semakin larut, tapi sorak-sorai para tahanan di lapangan semakin menggema. Semua mata tertuju pada dua sosok yang berdiri di tengah lapangan berdarah-Althalan, dengan tatapan dingin yang menusuk, dan Roksbeg, si "banteng" dengan tubuh besar seperti tembok hidup.

Kepala sipir duduk di kursinya dengan mata penuh minat, tangannya memegang segelas kopi.

Althalan berdiri mematung di tempatnya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya terus memindai tubuh Roksbeg. "Kroco kayak lo ngapain turun ke sini? Cih! Gue bakal bikin lo nyesel," ejek Roksbeg sambil mengangkat kedua tangannya ke udara, memancing sorakan lebih keras dari para tahanan.

Tanpa balas dendam yang terburu-buru,

Althalan hanya membenahi posisi rokok yang masih menggantung di bibirnya. "Ngomong itu gampang. Gue cuma nunggu lo Dead, you know?." Ucapannya datar, tapi penuh keyakinan.

"BANTENG VS KROCO! TARUHAN DIBUKA!" seorang tahanan berteriak, dan suara gemuruh semakin menjadi-jadi.

Roksbeg, tanpa aba-aba, langsung menyerang. Pukulan besarnya meluncur cepat, memaksa Althalan menghindar ke samping. Angin pukulan itu begitu kencang, hampir membuat rambut Althalan berkibar. "Lumayan juga," gumamnya pelan.

Bugh!!! Syutt!!!

Tapi Roksbeg tak berhenti. la terus melayangkan pukulan bertubi-tubi, memaksa Althalan hanya bertahan. Satu pukulan keras akhirnya mengenai perut Althalan, membuat tubuhnya terpental ke belakang hingga membentur pagar.

"HAHAHAHA! Ini bahkan belum pemanasan, bocah!" seru Roksbeg, disambut tawa riuh.

Althalan berdiri perlahan, menatap Roksbeg dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. "Lo besar, tapi otak lo segede kacang. Lo tau nggak, otot lo itu cuma bantal buat pukulan gue?" katanya dengan senyum tipis.

Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Roksbeg kembali menyerang. Kali ini, dia menangkap Althalan dengan cengkramannya yang kuat, lalu melemparkan tubuhnya seperti boneka ke tengah lapangan. Althalan mendarat dengan keras, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Para tahanan bersorak liar.

Syutt!!! brukk!!!

"HANCURKAN DIA, BANTENG!"

Roksbeg melangkah mendekat, menginjak-injak tanah dengan berat tubuhnya. "Lo terlalu kecil untuk tempat kayak gini. Gue bakal bikin lo merangkak minta ampun!"

Tapi saat Roksbeg hendak menyerang lagi, Althalan bergerak cepat. Dengan satu dorongan tubuh, dia melompat ke sisi lain, menghindari pukulan besar yang nyaris menghantamnya. Dia menyeka darah dari mulutnya dan mulai tertawa pelan.

"Lo tau nggak, lo itu tipe orang yang gampang dipancing. Sekarang waktunya gue kasih pelajaran."

Althalan melesat ke arah Roksbeg, tapi kali ini dia tak menyerang langsung. Sebaliknya, dia memancing Roksbeg agar terus menyerangnya, membiarkan si banteng menguras energinya sendiri. Setiap pukulan Roksbeg gagal, semakin banyak tenaga yang dia habiskan.

"KENAPA NGGAK BALAS, BAJINGAN KECIL? TAKUT YA?" Roksbeg mulai kehilangan kesabaran.

Althalan tersenyum sinis. "Gue nggak takut. Gue cuma nunggu lo capek."

Saat Roksbeg menyerang lagi, Althalan akhirnya membalas. Satu pukulan keras menghantam rahang Roksbeg, cukup untuk membuat tubuh besarnya bergoyang. Para tahanan yang tadinya mengejek Althalan mulai terdiam.

"Nggak mungkin! Dia berhasil nyentuh si Banteng?!"

Tapi itu belum selesai. Althalan memanfaatkan momen kebingungan Roksbeg, menyerang lutut kirinya dengan tendangan kuat. Tubuh besar itu akhirnya terjatuh ke tanah. Sorakan mulai bercampur dengan suara kekhawatiran dari pengikut Roksbeg.

Roksbeg mencoba bangkit, tapi Althalan sudah berada di atasnya. Dia memukul wajah Roksbeg berulang kali, hingga darah bercipratan ke tanah. Setiap pukulan semakin keras, membuat suara sorakan berganti menjadi keheningan.

Kepala sipir melirik ke bawah, senyum tipis muncul di wajahnya. "Anak ini... menarik."

Akhirnya, Althalan berhenti. Dia berdiri di atas tubuh tak bergerak Roksbeg, mengatur napasnya yang berat. Mata dinginnya menatap para tahanan yang menonton. "Siapa lagi yang mau turun?!" tantangnya, suaranya menggema di lapangan.

Tak ada yang berani menjawab. Semua tahanan hanya diam, menatapnya dengan rasa takut.

Kepala sipir bertepuk tangan, memecah keheningan. "Selesaikan pertunjukannya. Yang kalah bawa ke klinik." Perintahnya singkat, tapi cukup membuat beberapa sipir bergerak cepat.

Althalan meninggalkan lapangan dengan tubuh penuh darah, milik Roksbeg kini sepenuhnya milik Althalan, dia membuka kemeja tahanannya. Tapi tatapan dinginnya tak berubah. Dia tahu, ini baru permulaan. Untuk mendapatkan apa yang dia mau, dia harus terus memanjat hierarki kegelapan di tempat ini.

"hand blood, ya? Gue bakal bikin ini jadi panggung gue sendiri," gumamnya sambil berjalan kembali ke selnya.

Dan malam itu nama Althalan mulai menggema di penjara remaja itu. Bukan sebagai kroco, tapi sebagai calon raja baru yang tak kenal takut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP