Share

menjadi satu

last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-22 23:48:10

Malam itu, nama Althalan menggema di seluruh penjara remaja. Dua bulan berlalu sejak dia pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, dan selama itu pula, dia menciptakan teror yang tak terlupakan. Nightmare, itulah julukan yang kini disematkan padanya.

Di dalam sel yang gelap dan pengap, Althalan duduk bersandar di dinding beton yang dingin. Dia menyalakan rokok dengan ujung jarinya yang kasar akibat pertempuran sebelumnya. Asap putih mengepul ke udara, samar-samar memperlihatkan tatapan tajamnya yang penuh perhitungan.

BRAKK!

Pintu besi terbuka, suara langkah berat terdengar mendekatinya. Seorang sipir berdiri di depan pintu dengan ekspresi tak terbaca.

"Waktunya hiburan," ucapnya singkat.

Althalan membuang puntung rokoknya, lalu bangkit perlahan. Tanpa perlu dikawal, dia melangkah keluar, menyusuri lorong panjang yang dipenuhi tatapan penuh hormat dan ketakutan dari para tahanan lain. Tidak ada yang berani bersuara saat dia lewat.

Begitu tiba di lapangan luas, gemuruh sorakan terdengar mengguncang udara. Para tahanan berkumpul di tepi pagar, berdesakan untuk mendapatkan pandangan terbaik. Di tengah lapangan itu, seorang pria bertubuh penuh tato berdiri dengan senyum mengejek.

Muzan.

Tahanan dengan nomor 253, jauh di atas Althalan yang saat ini masih memegang nomor 053. Semakin tinggi nomor tahanan, semakin besar tingkat kriminalitas yang telah mereka lakukan. Muzan adalah salah satu dari enam penguasa di tempat ini—orang-orang yang telah lama menguasai penjara dengan kekuatan brutal mereka.

Althalan hanya menyeringai kecil, sementara sorakan semakin membahana.

"Gue udah lama pengen hancurin lo, Nightmare," kata Muzan dengan nada santai, sembari meregangkan lehernya. "Dua bulan lo bikin onar, sekarang saatnya gue ajarin lo gimana caranya tunduk."

Althalan tidak menjawab, hanya menatap dingin dengan matanya yang tajam seperti predator.

Kepala sipir duduk di tribun atas bersama beberapa sipir lain. Dia mengamati pertarungan ini dengan ekspresi penuh ketertarikan.

"Hand Blood dimulai sekarang!" teriaknya.

Muzan langsung melesat ke depan, pukulannya melayang cepat ke wajah Althalan.

BUGH!

Pukulan itu tepat mengenai pipi Althalan, membuat kepalanya sedikit miring ke samping. Darah menetes dari sudut bibirnya.

Tapi dia tidak bergeming.

Muzan menyeringai. "Hah? Lo gak jatuh? Ayo sini!"

Althalan masih diam, memutar lehernya sedikit. Lalu tiba-tiba—

SESST!

Dia menghindari pukulan kedua Muzan dengan gerakan halus, lalu berbalik dan mengayunkan tinjunya ke arah perut lawannya.

BUGH!

Muzan terdorong ke belakang, tetapi tetap berdiri.

"Lo cukup kuat," kata Althalan dingin, mengangkat kepalanya sedikit. "Tapi lo masih lambat."

Muzan menggeram, lalu menerjang lagi dengan tinju beruntun. Althalan berhasil menghindari beberapa serangan, tetapi satu pukulan keras berhasil menghantam dadanya.

BRAKK!

Tubuhnya terpental ke belakang, berguling di tanah sebelum berhenti dengan satu lutut menyentuh tanah.

Sorakan membahana, beberapa tahanan bersorak mendukung Muzan.

Kepala sipir mengangkat alisnya, sedikit terkejut.

"Hmm... kelihatannya Nightmare bukan tandingan Muzan," gumamnya sambil menyeruput kopi.

Namun di tengah kerumunan, beberapa tahanan yang telah mengenal Althalan justru tersenyum kecil. Mereka tahu—ini belum selesai.

Althalan perlahan berdiri, menepuk debu di tubuhnya. Dia melangkah maju lagi, kali ini dengan senyum kecil di wajahnya.

"Hanya segitu?" tanyanya dengan nada rendah.

Muzan mengernyit. "Hah? Sok jago lo?"

Althalan tidak menjawab. Dia hanya mengangkat satu tangan dan memberi isyarat.

"Coba lagi."

Muzan yang tersulut amarah langsung menerjang, tinjunya melayang ke wajah Althalan. Namun—

SESST!

Althalan menghindar ke samping dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lalu dalam sekejap—

BUGH!

Sebuah uppercut keras menghantam dagu Muzan, membuatnya terangkat dari tanah.

KRAKK!

Suara retakan terdengar, rahangnya bergeser!

Muzan jatuh tersungkur, matanya membelalak dalam rasa sakit yang luar biasa. Dia mencoba bangkit, tetapi sebelum sempat berdiri, Althalan sudah ada di belakangnya.

BRAKK!

Sebuah tendangan menghantam punggungnya, membuatnya tersungkur kembali ke tanah.

"Sekarang gue yang ajarin lo," kata Althalan pelan, suaranya tajam seperti pisau. "Gue gak tunduk sama siapapun."

Muzan mencoba melawan lagi, tetapi Althalan tidak memberinya kesempatan.

BUGH! BUGH! BUGH!

Tinju bertubi-tubi menghantam wajah dan perut Muzan. Darah mulai bercipratan ke tanah.

Tahanan lain terdiam, beberapa bahkan mulai mundur perlahan.

Akhirnya, setelah beberapa pukulan terakhir—

Muzan tergeletak tak bergerak.

Pemenang Althalan hening, lalu, tiba-tiba— Sorakan meledak di seluruh lapangan!

"Nightmare menang!"

"Gila! Dia beneran ngebantai Muzan!"

Kepala sipir kembali menyeruput kopinya, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya.

"Menarik. Sepertinya kita punya calon raja baru di sini."

Althalan berdiri di tengah lapangan, melihat ke arah tribun atas. Dia tidak tertarik dengan sorakan atau penghormatan dari para tahanan. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah satu hal—

Lima penguasa lainnya. Satu sudah tumbang. Masih ada sisa empat lagi.

Di antara kerumunan, seseorang memperhatikan Althalan dengan tatapan tajam. Dia bukan tahanan biasa. Dia adalah salah satu dari lima penguasa lainnya.

Dan dia baru saja menjadikan Althalan sebagai target berikutnya.

Althalan bersandar di dinding selnya, matanya menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Tapi dalam pikirannya, pertempuran brutal sebelumnya masih terngiang. Muzan sudah dia kalahkan, tapi itu bukan akhir. Masih ada lima orang lagi yang harus dia hadapi.

BRAKK!

Pintu sel terbuka dengan kasar, suara langkah kaki bergema di lorong sempit penjara itu. Seorang pria muda dilempar ke dalam sel di seberang Althalan. Tubuhnya tegap, rahangnya tegas, dan sorot matanya dingin. Tato kecil di lehernya mengintip dari balik kerah bajunya yang robek. Pria itu mengusap hidungnya yang sedikit berdarah, lalu menatap Althalan dengan mata yang sulit ditebak.

Althalan tidak bereaksi. Dia hanya mengangkat sebelah alis, mengamati pria itu dengan diam.

"Kau yang mereka sebut Nightmare, huh?" suara pria itu serak, tapi terdengar jelas di antara kesunyian lorong.

Althalan tetap diam.

Pria itu menyeringai kecil. "Gue gak nyangka bakal ketemu lo di tempat kayak gini..."

Althalan memutar bola matanya, malas. "Lo siapa?"

Pria itu mengusap darah di bibirnya, lalu menjawab, "Nama gue Veyron."

Althalan tidak menunjukkan ketertarikan. "Terus?"

Veyron menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap langit-langit selnya yang kotor. "Gue ada di sini bukan tanpa alasan... dan lo juga."

Althalan menyipitkan mata. Ada sesuatu dalam nada bicara Veyron yang membuatnya sedikit terusik. "Maksud lo?"

Veyron menoleh, tatapannya dalam. "Gue di sini buat nyelesaiin sesuatu. Dan kayaknya, lo juga punya urusan yang belum kelar."

Althalan mengepalkan tangannya perlahan. "Jangan sok tau."

Veyron terkekeh pelan. "Gue gak sok tau. Gue cuma... penasaran, apa lo tahu siapa yang sebenernya bunuh Celine?"

BUGH!

Althalan langsung berdiri, ekspresinya berubah tajam. Dia mendekat ke jeruji besi yang memisahkan mereka, matanya bersinar penuh kemarahan. "Lo bilang apa barusan?"

Veyron tetap tenang, meski jelas dia merasakan tekanan yang luar biasa dari aura Althalan. "Lo percaya gitu aja kalo bokap lo yang bunuh dia?"

Althalan mencengkeram jeruji besi begitu keras hingga buku jarinya memutih. "Lo jangan main-main sama gue."

Veyron tersenyum samar, lalu bangkit dari duduknya. "Gue gak main-main, Nightmare. Gue cuma ngasih lo sesuatu buat dipikirin."

BRAKK!

Pintu sel Veyron kembali terbuka, dua sipir berdiri di depannya. "Tahanan baru, pindah ke blok lain!"

Veyron menatap Althalan sebentar sebelum melangkah keluar. "Gue gak nyari masalah sama lo, tapi kalau lo pengen tahu lebih banyak... kita bakal ketemu lagi."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Veyron pergi, meninggalkan Althalan yang berdiri diam dengan ekspresi gelap.

Sesst...

Althalan menarik napas panjang, pikirannya kacau. Siapa sebenarnya Veyron? Dan kenapa dia bicara soal Celine seolah dia tahu sesuatu yang tidak Althalan ketahui?

Althalan mengepalkan tinjunya. Ini belum selesai.

* * *

Semuanya sunyi. Tidak ada suara sorakan, tidak ada derak pintu besi, tidak ada aroma penjara yang biasanya menusuk hidung. Hanya ada kegelapan yang melingkupi Althalan. Nafasnya berat, matanya terpaku pada kekosongan yang tak berujung.

Namun, dia tidak sendirian.

"Kenapa lo masih berusaha nahan gue?" Suara itu terdengar di telinganya, berbisik, tapi bergema di setiap sudut pikirannya.

Tiba-tiba, dari kegelapan, sosok itu muncul. Dirinya sendiri—atau lebih tepatnya, sisi tergelapnya. Devil Nightmare berdiri di hadapannya, dengan mata heterochromia sektorial violet yang berkilau seperti permata neraka. Aura hitam pekat membungkus tubuhnya, menyelimuti tubuh yang tampak lebih besar, lebih kuat, dan jauh lebih mengintimidasi dari Althalan yang sekarang.

"Lo tau kalau pada akhirnya gue bakal menang, kan?" Devil Nightmare menyeringai, memperlihatkan taringnya yang mengerikan.

Althalan mengepalkan tinjunya. "Lo cuma bagian dari gue, lo gak akan pernah nguasain gue sepenuhnya!"

"Oh ya?"

BRAKK!

Sebuah hantaman keras menghantam dada Althalan. Rasanya seperti ditabrak oleh ombak raksasa yang langsung menghancurkan paru-parunya. Dia terpental ke belakang, tubuhnya berguling di atas kegelapan kosong.

"Lo lemah, Althalan. Tanpa gue, lo gak akan pernah bisa balas dendam. Gak akan pernah bisa bunuh Latozey. Gak akan pernah bisa ngelindungin orang yang lo sayang!"

Althalan berusaha bangkit, tetapi Devil Nightmare sudah ada di hadapannya, mencengkeram tengkuknya dengan tangan kuat seperti cakar iblis.

"Lo pikir lo bisa nahan gue selamanya? Hah?! LO PIKIR LO PUNYA PILIHAN?!"

BUGH!

Pukulan mendarat di perutnya. Althalan tersentak, darah mengalir dari sudut bibirnya. Devil Nightmare menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan ejekan.

"Lo gak sadar, kan? Gue ini bukan cuma bagian dari lo. Gue ADALAH lo. Gue yang bikin lo tetep berdiri. Gue yang bikin lo kuat. Dan lo tau apa yang bikin lo terus jatuh? Kelemahan lo! Lo masih berpikir manusia itu pantas dikasihani!"

Althalan menatapnya dengan tatapan tajam. "Lo salah. Kekuatan gue datang dari diri gue sendiri, bukan dari lo!"

"Omong kosong!"

KRAKK!

Devil Nightmare memutar lengan Althalan ke belakang dengan brutal, hampir membuatnya patah. Althalan berteriak, tapi dia menggertakkan giginya, menahan rasa sakit.

"Lo bisa ngelawan sekeras apapun, tapi pada akhirnya gue yang bakal menang. Makin lo marah, makin lo benci, makin gue berkuasa. Lo pikir lo bisa bunuh Latozey tanpa gue? Gak akan pernah! Semakin lo bertarung melawan gue, semakin lo bakal kehilangan segalanya!"

Althalan terengah-engah, tubuhnya sudah penuh luka akibat serangan dari dirinya sendiri. Tapi dia tidak akan menyerah.

Dia menatap Devil Nightmare dengan mata tajam. "Gue gak akan jatuh ke dalam permainan lo."

Devil Nightmare menyeringai. "Oh, lo akan jatuh, Althalan. Pertanyaannya cuma… seberapa dalam?"

Gelap itu semakin menelan segalanya, sementara suara tawa Devil Nightmare menggema dalam kesadaran Althalan.

Althalan menggigit bibirnya sampai berdarah. Tangannya mencengkeram rambut, kuku-kukunya menekan kulit kepala seakan ingin merobek tengkoraknya sendiri. Suara itu…

"Lo pikir bisa lari dari gue, huh?"

Suaranya menggema di dalam pikirannya, gelap, dalam, dan penuh ejekan. Devil Nightmare berdiri di hadapannya, dengan mata yang sama persis—heterochromia sektorial violet. Hanya saja, sorotnya lebih buas, lebih liar, lebih penuh rasa haus akan kehancuran.

Althalan merasakan tubuhnya bergetar. Nafasnya memburu. Sekelilingnya berubah. Dari lapangan penjara, dia sekarang berdiri di dalam kegelapan yang seakan tak berujung. Bayangan-bayangan hitam menjalar di sekitarnya, berbisik dengan suara mengerikan.

"Lo udah dua bulan jadi monster di sini, Althalan. Lo bikin semua orang ketakutan, lo buat mereka merangkak minta ampun. Tapi gue tau yang sebenarnya…"

Devil Nightmare berjalan mendekat, dengan tatapan penuh penghinaan.

"Lo masih terlalu lemah."

Althalan mengeram. "DIAM!"

BUGH!

Pukulannya melesat ke wajah Devil Nightmare—tapi tembus kosong. Althalan tersentak. Dalam sekejap, Devil Nightmare muncul di belakangnya dan—

BRAKK!

Sebuah tendangan menghantam punggung Althalan. Tubuhnya terpental ke dalam kegelapan, sebelum sesuatu mencengkeram lehernya dengan kuat.

"Lo pikir bisa ngelawan gue?"

Cengkeraman itu semakin erat. Althalan meronta, mencoba melepaskan diri, tapi kekuatan Devil Nightmare tak tertandingi.

"Gue udah ada di dalam diri lo sejak lama, Althalan. Lo bukan penguasa di sini. Gue yang ngatur semua."

Sesuatu mulai merayap di kulitnya—urat-urat hitam yang menjalar dari tangannya, naik ke lengan, leher, dan wajah. Matanya mulai berubah lebih dalam, lebih tajam.

Althalan menggertakkan giginya. Dia harus melawan. Kalau dia tunduk, dia akan benar-benar kehilangan dirinya sendiri.

Tapi… apa dia masih punya kendali?

Atau ini awal dari jatuhnya sang raja ke dalam kegelapan yang tak berujung?

Althalan menjerit. Urat-urat hitam itu terus menjalar, membelit tubuhnya seperti akar kematian yang mencoba menelannya hidup-hidup. Napasnya tersengal, tubuhnya seakan ditarik masuk ke dalam kegelapan.

"Udah waktunya lo nyerah, Althalan."

Suara Devil Nightmare menggema seperti bisikan iblis di telinga. Althalan merasa seolah tenggelam dalam lumpur hitam yang lengket, berat, menekan tubuhnya dari segala arah. Dia mencoba bergerak, tapi semakin dia berusaha, semakin dalam dia tenggelam.

"Lo pikir bisa lawan gue? Gue adalah lo, dan lo adalah gue."

Bayangan itu semakin dekat, sorot matanya berkilat dalam kegelapan.

"Lo udah mulai menikmati kekuatan ini kan? Lo suka gimana mereka takut sama lo? Lo suka gimana lo bisa ngehancurin mereka secepat lo kedip?"

Althalan menutup matanya erat-erat. Dia tahu kalau dia dengerin terus omongan iblis ini, dia bakal kehilangan kendali. Tapi… bukankah itu memang yang dia inginkan? Bukankah dia sudah kehilangan segalanya?

BRAKK!

Tiba-tiba tubuhnya jatuh menghantam lantai. Althalan membuka mata. Dia kembali ke dunia nyata, tapi tubuhnya terasa lebih berat, lebih panas. Tangannya gemetar, pupil matanya melebar, tubuhnya diselimuti energi hitam yang berdenyut seperti nyala api.

Di sekelilingnya, para tahanan mundur ketakutan. Bahkan yang selama ini mengagungkan Althalan kini melangkah menjauh, wajah mereka pucat.

"Gak mungkin… Itu apa?!"

"Itu bukan manusia lagi… Itu iblis!"

Althalan mengangkat wajahnya. Tatapannya kosong, tapi di dalamnya tersimpan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih… buas.

Tangan kanannya mengepal, otot-ototnya menegang. Ada rasa haus yang menggerogoti dadanya. Rasa haus akan… darah.

"Gue udah kasih lo waktu buat nyerah," suara Devil Nightmare terdengar samar di kepalanya. "Sekarang… gue yang bakal ambil alih."

Althalan tersenyum miring. Senyum yang bahkan dia sendiri gak sadar telah muncul di wajahnya.

Karena sekarang, sang iblis telah terlepas dari rantainya.

BUGH!

Althalan menendang udara kosong, tapi hantaman anginnya saja sudah cukup buat seorang tahanan terpental ke belakang dan menabrak tembok. Lantai bergetar ketika tubuhnya mendarat, dan suara jeritan mulai terdengar di sekelilingnya.

Tahanan lain melangkah mundur, wajah mereka pucat. Apa yang baru saja mereka lihat? Itu bukan kekuatan manusia lagi.

SESST!

Althalan menghilang dalam sekejap, dan dalam satu detik berikutnya, dia sudah ada di belakang seorang tahanan yang tadi berani mengangkat suara padanya.

BUGH!

Tahanan itu terhempas ke depan, muntah darah di lantai, tubuhnya tergeletak tak bergerak.

"Lanjut," suara Devil Nightmare bergema di kepala Althalan. "Hancurkan mereka semua."

Tangan Althalan bergetar, otot-ototnya menegang. Napasnya berat. Ada sesuatu di dalam dadanya yang mendesak keluar, dorongan yang menuntut untuk dilepaskan. Dia ingin menghancurkan lebih banyak.

Lima tahanan maju bersamaan, wajah mereka penuh teror, tapi mereka tahu bahwa jika mereka diam saja, Althalan akan datang kepada mereka duluan.

"Serang!!!"

Satu orang mencoba menebas Althalan dengan pisau yang dia sembunyikan di pakaiannya.

SESST!

Dalam sekejap, pisau itu lenyap. Althalan sudah menggenggamnya, memelintir pergelangan tangan si tahanan dengan kecepatan yang tak terlihat.

KRAKK!

Jeritan terdengar. Pergelangan tangan itu patah, pisau terjatuh, dan Althalan langsung menyambarnya.

BRAKK!

Althalan menendang pria itu ke tembok, membuat tulang punggungnya retak. Dia tidak berhenti di situ. Dalam satu gerakan, dia menebas seorang lainnya di dada dengan pisaunya. Darah menyembur ke lantai.

Tiga orang tersisa membeku di tempat mereka berdiri.

Mereka bukan hanya melawan manusia. Mereka melawan monster.

"Lo nikmatin ini, kan?" Devil Nightmare berbisik. "Semakin banyak yang lo bunuh, semakin lo kuat."

Mata Althalan—heterochromia sektorial violet—berkilat di bawah cahaya remang. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena euforia.

"Lanjutkan," bisikan itu semakin dalam, semakin menusuk ke dalam kesadarannya. "Hancurkan lebih banyak."

Althalan melangkah ke depan. Tahanan-tahanan itu mundur ketakutan.

"Tolong… Jangan!"

Mereka berlari. Mereka mencoba kabur. Althalan tersenyum miring.

Dia menghilang lagi.

BRAKK!

Tahanan pertama yang mencoba lari langsung terhantam ke lantai, tubuhnya bergetar seperti ikan yang dilempar ke daratan. Yang kedua bahkan tak sempat berteriak sebelum tendangan Althalan menghantam rahangnya dan membuatnya kehilangan kesadaran.

Yang ketiga berhasil mencapai pintu. Dia sudah di ambang kebebasan, tapi…

SESST!

Tangan Althalan mencengkeram lehernya dari belakang.

Tahanan itu meronta, tapi genggaman Althalan seperti besi. Dia tidak bisa bergerak.

"Pl… Please… Gue—"

KRAKK!

Tulang lehernya patah seketika. Tubuhnya jatuh lemas.

Althalan berdiri di atas mayat-mayat yang berserakan di lantai, napasnya masih berat.

Dia melihat tangannya. Darah di mana-mana.

Lalu dia tertawa.

"Hahaha…"

Tawa itu rendah, pelan, tapi semakin lama semakin keras.

"Gimana rasanya?" Devil Nightmare bertanya. "Gimana rasanya menjadi monster yang mereka takuti?"

Althalan mengangkat wajahnya. Senyumnya masih ada, tapi matanya… kosong.

"Belum cukup," dia berbisik pada dirinya sendiri. "Gue masih haus darah."

Lalu dia berjalan keluar, meninggalkan genangan darah di belakangnya.

Malam ini, penjara itu milik sang iblis.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Penguasa Dunia Mafia   milikku?

    Malam itu, suasana di mansion Ombra Thanatos terasa tenang. Tapi bagi Amore, Jovenica, Ellen, dan Moreno, ini adalah ketenangan yang terasa aneh.Mereka duduk di ruang tengah, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ellen menatap layar laptopnya dengan mata tajam, Jovenica sibuk mengasah pisaunya, sedangkan Amore duduk dengan kaki disilangkan, memainkan belati kecil di tangannya.Sementara itu, Moreno…"Woi, lo bisa diem nggak?!" Jovenica menggeram, menatap Moreno yang duduk bersila di lantai, mengunyah keripik dengan suara berisik."Lagian kenapa sih mukanya pada tegang gitu? Apa karena kejadian tadi di sekolah?" Moreno mendecak, lalu menyeringai, "Atau karena kalian masih kepikiran cowok iblis itu?"Amore mendelik. "Cowok iblis?""Ya siapa lagi kalau bukan Althalan," Moreno mengangkat bahu santai. "Gue udah lihat rekaman dari hacker kita. Malam ini dia ‘main’ di mansionnya Valentino."Mata Ellen langsung melirik ke arah Moreno dengan penuh minat. "Lo serius?""Ya iyalah. Gue ngapain

  • Sang Penguasa Dunia Mafia   Teror Valentino

    Malam di kota ini tak pernah benar-benar tenang. Lampu jalan berkedip samar, dan suara klakson kendaraan dari kejauhan terdengar sesekali. Di sebuah kawasan industri yang hampir ditinggalkan, berdiri sebuah bangunan besar yang tampak tak mencolok—gudang tua dengan cat yang mulai pudar dan pintu baja yang berkarat.Namun, di balik tampilan kumuh itu, tempat ini adalah salah satu pusat kekuatan Organisasi Rafael. Gudang ini menyimpan berbagai senjata ilegal yang mereka edarkan ke berbagai sindikat di kota.Dua pria bertubuh besar berjaga di depan pintu, masing-masing menggenggam senapan serbu. Sesekali, mereka berbincang santai, merokok, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir mereka.Tak jauh dari sana, di atas gedung seberang, sosok bertudung berdiri di tepi, menatap gudang dengan mata tajam. Althalan.Angin dingin malam menyapu jaketnya, namun dia tetap tak bergerak, mengamati pola penjagaan dengan cermat. Lima orang di luar,

  • Sang Penguasa Dunia Mafia   cari tahu sendiri

    Althalan baru saja tiba di sekolah, berjalan santai melewati gerbang tanpa memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang menarik di sini. Sekolah hanyalah formalitas baginya, dan dia tidak punya niat untuk buang-buang waktu.Namun, baru saja dia hendak menuju kelas, suara nyaring yang menyebalkan itu terdengar."Oh? Ternyata Kamu ada disini Althalan. Aku sudah nunggu kamu."Althalan tetap berjalan tanpa peduli, tapi dari belakang, Amore mendesis pelan. "Tch, Medusa."Di sana, berdiri dengan angkuhnya, Runela bersama tiga temannya. Seperti biasa, mereka berjalan seolah-olah sekolah ini milik mereka, dengan senyum penuh kepercayaan diri. Rok seragamnya lebih pendek dari aturan, riasannya terlalu berlebihan untuk standar sekolah, dan ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak datang hanya untuk sekadar menyapa.Runela tersenyum manis ke arah Althalan, berjalan lebih dekat dengan tatapan genit. "Kenapa buru-buru, hm? Aku baru aja datang, sayang

  • Sang Penguasa Dunia Mafia   Moreno

    Ellen mengetik dengan cekatan di laptopnya, wajahnya serius sementara layar menampilkan berbagai informasi tentang Althalan. Jari-jarinya terus bergerak, hingga akhirnya dia berhenti dan menatap layar dengan mata membesar."Holy sh*t…" Ellen berseru pelan, membuat Amore, Deul, dan Jovenica langsung mendekat."Kenapa?" Amore bertanya, melirik layar laptop yang menampilkan sebuah dokumen rahasia.Ellen menelan ludah, lalu memutar laptopnya agar mereka semua bisa melihat. "Althalan… dia bukan orang biasa. Dia anak dari Latozey."Ruangan seketika sunyi. Deul dan Jovenica menegang, sementara Amore menyipitkan mata. Nama itu bukanlah nama asing di dunia mafia. Latozey adalah legenda, seorang pemimpin yang namanya dibisikkan dengan ketakutan di seluruh dunia bawah."Bukan cuma itu," Ellen melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Althalan juga berhasil menghabisi organisasi Pradipta sendirian. Organisasi itu bukan sembarangan, mereka salah satu j

  • Sang Penguasa Dunia Mafia   Bertemu

    Keesokan paginya, Amore, Ellen, Deul, dan Jovenica dipanggil ke ruang rapat utama mansion. Mereka melangkah masuk dengan santai, meskipun mereka tahu betul bahwa jika ayah mereka memanggil mereka secara langsung, itu berarti sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan, Razoes sudah duduk di kursi utama dengan ekspresi seriusnya. Di hadapannya, ada empat kotak hitam yang masing-masing memiliki nama mereka terukir di atasnya. "Duduk," kata Razoes dengan suara dalam yang penuh wibawa. Keempatnya mengambil tempat, menatap kotak itu dengan rasa penasaran. "Daddy udah mengamati perkembangan kalian sejak pertama kali kalian Daddy latih. Kalian sudah berkembang, tapi masih ada banyak hal yang harus kalian pelajari." Razoes melipat tangan di depan dadanya. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan naik ke level berikutnya." Deul menaikkan alis. "Maksud Daddy?" Razoes menyeringai kecil. "Buka kotaknya." Tanpa banyak basa-basi, Amore dan saudara-saudaranya membuka kotak masing-masing. Begi

  • Sang Penguasa Dunia Mafia   Ombra Thanatos

    Althalan menarik napas dalam, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal akibat pertarungan tadi. Malam ini seharusnya dia hanya ingin fokus mencari informasi tentang organisasi Rafael, tapi justru bertemu dengan Maverick yang memaksanya bertarung tanpa rencana. Mesin motor sport barunya meraung pelan saat dia menarik gas, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, suara batuk kasar terdengar dari belakangnya. "Hah… Lo pikir gue bakal tumbang cuma segini aja, hah?" Althalan melirik dari spion. Maverick masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka dan darah menetes dari sudut bibirnya. Matanya masih dipenuhi api perlawanan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. "Heh, lo masih bisa berdiri?" Althalan mendecakkan lidah, memutar gas motornya sedikit. Maverick menyeringai, lalu meludah ke tanah. "Lo pikir gue bakal kalah semudah itu?" Suaranya parau, tapi tekadnya masih membara. "Gue janji akan ngalahin lo, dan gue nggak akan berhenti sebelum itu terjadi!" Alth

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status