Dua Hari Kemudian rumor tentang Exel dan tiga temannya menyebar bagai api di dalam lapas remaja. Para penghuni sel membicarakan kejadian itu dengan nada serius. Exel dan teman-temannya kini terbaring sekarat di rumah sakit, tulang-tulang mereka hampir seluruhnya retak akibat serangan brutal yang mereka alami. Tidak ada yang bisa melupakan bagaimana Althalan, bocah SMA yang selalu tampak pendiam, tiba-tiba menjelma menjadi sosok yang begitu berbahaya.
“Gila, katanya si Althalan itu bener-bener kayak monster waktu hajar mereka…” salah satu penghuni berbisik. “Gue denger Exel aja sampe nggak bisa ngomong pas dibawa ke rumah sakit.” “Nggak mungkin cuma manusia biasa bisa bikin kayak gitu…” Kabar itu terus bergema di setiap sudut lapas. Namun, sosok yang menjadi sumber rumor tersebut kini dipisahkan di ruangan isolasi, sendirian dalam gelap dan sunyi. Althalan duduk di tengah ruangan. Tubuhnya membungkuk sedikit, tatapan kosong menatap lantai tanpa makna. Tidak ada suara, tidak ada gerakan, hanya pikiran-pikiran kelam yang berputar di kepalanya. Setiap malam, ia dihantui mimpi buruk bayangan Celine yang memudar, wajahnya yang tersenyum samar sebelum menghilang begitu saja. Dan sosok laki laki asing yang datang dalam mimpinya, berdiri dengan aura yang mencekam, penuh kegelapan. Laki laki itu selalu menampakkan dirinya dengan mata yang menyala, dan Althalan selalu merasakan aura terintimidasi setiap kali mengingat laki laki yang ada didalam mimpinya itu. Mata Althalan sayu, lingkaran hitam mulai menghiasi wajahnya. Setiap kali ia memejamkan mata, rasa takut itu datang lagi ia selalu ketakutan bahwa semua orang yang ia sayangi akan pergi satu per satu. Dan kali ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu juga, tato laba-laba di lehernya yang selama ini ia sembunyikan seakan menjadi simbol kebangkitan sisi lain dirinya. Garis-garis tajamnya nampak lebih jelas, seolah menggambarkan jiwa yang dulu telah mati dilahap oleh penyesalan. Althalan yang dulu yang masih menyimpan harapan dan kelembutan kini telah lenyap. Ia merasa hanya kebencian dan kesakitan yang tersisa. Suara kunci berderit menggema di ruangan isolasi yang sunyi. Pintu besi berat itu terbuka, memecah keheningan. Dua sipir berdiri di ambang pintu, wajah mereka memucat, seolah mereka melihat sesuatu yang tidak seharusnya mereka lihat. “Althalan…” panggil salah satu sipir dengan suara gemetar. Althalan perlahan menoleh, tatapannya menusuk hingga membuat darah kedua sipir itu berdesir dingin. Mereka menelan ludah, merasa aura mencekam memenuhi ruangan begitu saja. Bahkan napas mereka terasa berat, seolah udara telah hilang dari tempat itu. “Kepala sipir… memanggilmu,” ucap sipir satunya lagi dengan nada penuh ketakutan. Althalan berdiri, tubuhnya tegak dengan sempurna. Gerakannya begitu tenang, tetapi setiap langkahnya memancarkan aura membunuh yang sangat pekat. Suara sepatu lusuhnya berdecit di lantai beton ketika ia melangkah keluar dari ruangan isolasi. Kedua sipir itu berjalan di belakangnya, mencoba menjaga jarak, tapi tetap waspada jika terjadi sesuatu yang di luar kendali. Mereka melewati koridor panjang yang hening. Setiap penghuni sel yang kebetulan melihat Althalan berjalan hanya bisa menatapnya dari balik jeruji dengan rasa takut dan penasaran. Desas-desus tentangnya telah membuat namanya menjadi legenda kecil di dalam lapas. “Dia itu Althalan, ya?” bisik salah seorang narapidana kepada temannya. “Iya, katanya dia bener-bener gila. Exel sama gengnya aja kayak mau mati sekarang.” “Lo liat matanya? Itu bukan mata manusia biasa…” Althalan tidak peduli dengan bisikan itu. Tatapannya lurus ke depan, wajahnya datar, seolah tidak ada emosi yang tersisa di dirinya. Setibanya di depan pintu ruangan kepala sipir, Althalan berhenti. Salah satu sipir mengangguk ragu dan mengetuk pintu beberapa kali. “Masuk!” terdengar suara berat dari dalam ruangan. Pintu terbuka, dan Althalan melangkah masuk tanpa ragu. Kepala sipir, seorang pria berusia 50-an dengan kumis tebal dan wajah keras, duduk di balik meja besar. Tatapannya tajam, tetapi ada sedikit ketakutan yang ia sembunyikan saat melihat Althalan berdiri di hadapannya. “Duduk,” perintah kepala sipir dengan suara yang tegas, meskipun tidak sekuat biasanya. Althalan duduk di kursi kayu, masih diam dan tak bersuara. Kepalanya sedikit menunduk, tetapi matanya tetap tajam menatap ke arah kepala sipir. Aura mencekam di sekitar dirinya membuat suasana ruangan terasa begitu berat. Kepala sipir membuka berkas yang ada di mejanya. “Althalan…” ia memulai dengan hati-hati. “Kau tahu kenapa kau ada di sini, kan?”Althalan tidak menjawab. Kepala sipir melanjutkan. “Apa yang kau lakukan pada Exel dan teman-temannya sudah melampaui batas. Mereka hampir mati karena ulahmu.” Suasana kembali hening. Althalan hanya menatap kepala sipir dengan ekspresi kosong atau datar. Tidak ada penyesalan di matanya, tidak ada amarah—hanya kehampaan yang mematikan. Kepala sipir menghela napas berat. “Dengar, Althalan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi kalau kau terus seperti ini, hukumanmu akan semakin diperberat. Dan lagi aku hanya menghawatirkan jika inspektur keamanan datang ke sini maka reputasi ku akan hancur.” “Gue nggak peduli,” jawab Althalan singkat. Suaranya dalam, nyaris tidak terdengar, tetapi begitu dingin hingga membuat kepala sipir merinding. “Apa maksudmu?” Kepala sipir bersandar di kursinya. “Gue nggak punya alasan buat peduli sama apa pun lagi.” Althalan menatapnya tajam. “Lo nggak ngerti rasanya kehilangan satu-satunya orang yang masih peduli sama lo.” Kepala sipir terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia bisa melihat dari sorot mata Althalan bahwa remaja itu sedang berada di ujung jurang, dan satu langkah lagi ia akan benar-benar jatuh ke dalam kegelapan. “Keluar,” perintah kepala sipir akhirnya, suaranya lebih pelan kali ini. “Bawa dia kembali ke ruang isolasi.” Sipir yang berjaga segera mendekat dan memandu Althalan keluar dari ruangan itu. Althalan hanya menurut, tanpa perlawanan. Namun, aura dingin yang ia tinggalkan membuat kepala sipir termenung lama setelahnya. “Apa yang sebenarnya terjadi pada bocah itu?” gumam kepala sipir pelan. “Siapa dia sebenarnya, aku belum pernah melihat orang seperti dia sebelumnya… apalagi aura dan tatapan itu seakan pemangsa yang sedang memburu.” Saat Althalan akan melangkah keluar dari ruangan itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya membulat, bola matanya membesar seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang pria dengan aura mengerikan berdiri di ambang pintu-wajahnya yang selalu menghantui ingatan Althalan kini muncul di hadapannya. Kedua sipir yang ada di belakangnya refleks melangkah mundur. Aura membunuh Althalan tiba-tiba meningkat drastis, begitu padat hingga membuat napas terasa berat. Althalan tahu siapa pria itu-Latozey. Pria yang selama ini ia benci lebih dari apapun. Sosok yang tega membunuh ibunya sendiri, dan sekarang dengan entengnya muncul di sini. "Sungguh lama tak bertemu, putraku," sapa Latozey dengan senyum miring, suaranya penuh kesombongan dan ejekan. Tubuh Althalan tegang, otot-ototnya menegang begitu keras hingga urat di lehernya terlihat jelas. Dadanya naik turun menahan amarah yang meluap-luap. "Lo..." gumam Althalan penuh kebencian, suaranya terdengar parau namun tajam. Para sipir di belakangnya hanya bisa terdiam ketakutan, mengetahui siapa Latozey-ketua organisasi mafia paling berbahaya, Nebula Daimoniko. Rumor tentang Latozey telah lama terdengar di telinga mereka, dan kini sosok itu berdiri di hadapan Althalan dengan penuh percaya diri. Langkah kaki Latozey bergema di ruangan itu, semakin mendekat ke arah Althalan. Namun, di belakangnya, beberapa pria berbadan kekar dengan setelan hitam bersiaga. Salah satunya adalah Kazuo, tangan kanan Latozey, seorang pria dengan postur tinggi, otot kekar dia adalah laki laki yang masih muda umurnya 25 tahun, ia melihat seperti hewan buas dan tatapan tajam penuh kewaspadaan. Mereka semua bisa merasakan aura gelap yang terpancar dari Althalan, tetapi mereka juga tahu bahwa Kazuo tak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Latozey. Althalan yang tak lagi mampu menahan amarah, melesat maju, menerjang Latozey. Namun sebelum berhasil mendekat, Kazuo bergerak lebih cepat. Tangannya mencengkeram tubuh Althalan dengan kuat, lalu dengan sekali dorongan, ia menendang Althalan hingga terpental jauh ke belakang. Brakkk!! Tubuh Althalan menghantam tembok dengan keras, debu berjatuhan, tetapi ia segera bangkit kembali. Kedua tangannya terkepal erat hingga kuku-kukunya menancap di kulit telapak tangannya sendiri. Darah menetes, tetapi Althalan tak peduli. Mata tajamnya menatap Latozey penuh kebencian. "Bagus," ucap Latozey tiba-tiba sambil tertawa kecil, senyumnya penuh keangkuhan. "Kau tumbuh menjadi seperti yang aku inginkan, Althalan. Aura membunuhmu... sangat menjanjikan." "Diam!" geram Althalan, napasnya memburu. "Gue bakal bunuh lo, Latozey!" Namun, Latozey justru memperdalam senyumnya, seakan puas melihat putranya yang kini benar-benar jatuh ke dalam kegelapan. "Oh, kau ingin membunuhku?" Latozey mendekat sedikit, menatap tajam ke arah Althalan. "Sebelum itu, kau harus tahu sesuatu... pada saat itu ditempat sepi seorang wanita berjalan akan melewati sebuah trotoar! Dan bomm... dia tewas ditabrak, dengar dia sangat menggangumu Althalan dan yang membunuh jalan* itu adalah aku." Althalan membeku. Seketika seluruh darah di tubuhnya seperti berhenti mengalir. Latozey mengatakannya begitu santai, sambil tersenyum menyeringai. Namun, bagi Althalan, kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk dadanya. "Bajingan..." bisik Althalan, suaranya rendah namun penuh dengan kemarahan yang tak tertahankan. Urat-urat di wajahnya mulai muncul, napasnya semakin cepat. Mata Althalan tiba-tiba berubah-gelap dan penuh kebencian, seolah bukan dirinya lagi yang memegang kendali. Sessst!!! Bughhh!! Kazuo yang berdiri di samping Latozey segera bersiap. "Dia mulai bangkit lagi," gumam Kazuo, lalu dengan cepat melesat ke arah Althalan. Kazuo menghantam Althalan dengan satu serangan keras di kepala. Althalan tersungkur ke lantai, tak sadarkan diri. Kazuo berdiri di atasnya sambil terengah, lalu menatap Latozey. "Baru saja... dia hampir lepas kendali, itu sangat berbahaya, akan merepotkan bagi kita." Ucap Kazuo dengan nada serius. Latozey hanya tertawa kecil sambil menatap tubuh Althalan yang tak bergerak. "Itu yang kuinginkan, Kazuo. Lihatlah dia-putraku. Sebentar lagi dia akan jauh lebih kuat daripada siapapun. Bahkan jika semua anggota eksekusi dikumpulkan maka sudah dipastikan mereka semua akan mati ditangan putraku." Tak lama kemudian, kepala sipir muncul dari pintu, wajahnya pucat pasi. Melihat Latozey berdiri di sana, ia segera membungkuk dalam-dalam, keringat dingin membasahi pelipisnya. "T-Tuan Latozey... k-kedatangan Anda sangat mengejutkan..." ucap kepala sipir terbata-bata. Namun matanya terbelalak saat melihat Althalan yang tergeletak di lantai. "Bawa kami ke ruanganmu," perintah Latozey santai, tetapi nadanya penuh intimidasi. Kepala sipir hanya bisa mengangguk patuh, tidak ingin memicu kemarahan pria itu. Althalan tersadar perlahan, samar-samar mendengar suara di sekitarnya. la membuka matanya dan melihat sepatu hitam mengkilap tepat di depannya. Lalu, suara yang ia kenal membuatnya kembali terjaga. "Bangunlah, Althalan," ujar Latozey. Tatapan Althalan kembali menyala penuh kebencian. la menggeram saat menyadari kedua tangan dan kakinya telah diborgol. Namun, itu tak menghentikan rasa amarah yang meluap di dalam dirinya. Latozey berjongkok, menatap tato laba-laba di leher Althalan. "Tato itu bukan tanpa arti, Nak. Laba-laba kecil, predator yang diam-diam mematikan. Kau adalah predator kecil itu-namun belum siap memangsa ular besar seperti aku." Althalan menatapnya dengan mata membara. "Gue bakal bunuh lo... bagaimanapun caranya..." Latozey tersenyum puas. " Aku sangat menantikan ini putraku! Akhirnya dirimu bisa seperti ini dan akan terus seperti ini. Tapi sebelum itu, aku beri kau kesempatan." "Kesempatan?" Althalan menyipitkan mata. "Ada beberapa anggota Nebula Daimoniko di lapas ini, kandidat remaja yang ingin naik pangkat menjadi anggota eksekusi. Jika kau berhasil menghabisi mereka semua dalam enam bulan... maka aku akan membiarkanmu keluar dari sini dan menantangku." Kata-kata Latozey itu membuat seluruh ruangan terasa tegang. Kepala sipir yang berdiri di pojok tak bisa berkata apa-apa. "Deal," jawab Althalan tanpa berpikir panjang. Matanya menyala, penuh tekad membara. "Gue akan habisi mereka semua. Dan setelah itu, gue bakal hancurin lo, Latozey. Seperti lo hancurin hidup gue!" Latozey tertawa senang. "Itulah semangat yang kuinginkan, putraku." Kazuo, yang berdiri di belakang Latozey, memandang Althalan dengan tatapan serius. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Althalan bukan remaja biasa. 'serangan yang aku berikan bukan lah serangan biasa, jika tubuh tuan muda lemah mungkin dia akan mengalami koma. Ini fenomena yang sungguh amat luar biasa, aku akan menunggu hingga pertarungan itu tiba,' batin Kazuo. Bahkan ia sendiri merasa ragu-jika Althalan tidak berhasil melewati ini semua, mungkin kekuatan laki laki itu benar-benar akan menjadi ancaman bagi siapapun, termasuk Latozey sendiri. Namun, untuk saat ini, permainan telah dimulai. Dan bagi Althalan, ini bukan sekadar permainan-ini adalah awal dari balas dendamnya.Ruangan isolasi itu sunyi. Hanya ada suara napas Althalan yang teratur, matanya menatap kosong ke lantai beton di bawahnya. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, menciptakan senyum kecil yang lebih mirip ancaman daripada kebahagiaan. Dia sudah terbiasa dengan kesepian. Sudah bertahun-tahun dia hidup tanpa siapapun. Tapi di ruangan ini, Althalan bukan sedang merenung-dia sedang merencanakan sesuatu."Paling lambat, semuanya bakal tunduk sama gue," gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Detik berikutnya, suara derit kunci terdengar di balik pintu besi besar. Sipir membuka gembok dengan gerakan lambat, dan pintu itu pun terbuka lebar. Mata sipir itu tidak pernah bertemu pandang dengan Althalan, seolah ada ketakutan yang tertanam dalam dirinya."Keluar," kata si sipir dengan suara rendah.Althalan berdiri. Dia melangkah keluar dari ruangan sempit itu tanpa sepatah kata, tatapannya dingin seperti es. Aura di sekitarnya membuat sipir itu menunduk, bahkan mundur
Malam itu, nama Althalan menggema di seluruh penjara remaja. Dua bulan berlalu sejak dia pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, dan selama itu pula, dia menciptakan teror yang tak terlupakan. Nightmare, itulah julukan yang kini disematkan padanya.Di dalam sel yang gelap dan pengap, Althalan duduk bersandar di dinding beton yang dingin. Dia menyalakan rokok dengan ujung jarinya yang kasar akibat pertempuran sebelumnya. Asap putih mengepul ke udara, samar-samar memperlihatkan tatapan tajamnya yang penuh perhitungan.BRAKK!Pintu besi terbuka, suara langkah berat terdengar mendekatinya. Seorang sipir berdiri di depan pintu dengan ekspresi tak terbaca."Waktunya hiburan," ucapnya singkat.Althalan membuang puntung rokoknya, lalu bangkit perlahan. Tanpa perlu dikawal, dia melangkah keluar, menyusuri lorong panjang yang dipenuhi tatapan penuh hormat dan ketakutan dari para tahanan lain. Tidak ada yang berani bersuara saat dia lewat.Begitu tiba di lapangan luas, gemuruh sorakan terd
BRAKK!Pintu sel terbuka keras, menghantam tembok dengan suara gemuruh yang menggema di sepanjang koridor. Langkah kaki Althalan terdengar tenang, tapi aura di sekelilingnya terasa seperti pusaran badai yang siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.Mata heterochromia sektorial violetnya berkilat tajam dalam kegelapan, mencerminkan kegelapan yang semakin mencengkeram pikirannya. Darah masih menetes dari jemarinya, meninggalkan jejak merah di lantai yang dingin."Bagus… Lanjutkan," suara Devil Nightmare bergema di dalam kepalanya. "Lebih banyak… Lebih dalam…"Althalan tidak menjawab. Dia hanya berjalan, tubuhnya rileks tapi setiap ototnya menegang, siap menerkam siapa pun yang berani menghalangi.Tahanan lain yang melihatnya langsung mundur ketakutan. Sebagian membungkuk, berpura-pura tak melihat. Yang lain menempel ke tembok, menahan napas. Tidak ada yang berani menantang iblis yang baru saja lahir di dalam penjara ini.Namun, di ujung lorong, tiga pria bertubuh besar berd
Sejak saat itu, suasana di dalam penjara berubah drastis. Semua tahanan kini tahu bahwa Althalan bukan sekadar orang berbahaya—dia adalah sesuatu yang lebih dari itu. Mereka yang sebelumnya merasa punya kekuatan, kini hanya bisa diam dan menghindari kontak mata dengannya.Tapi Althalan? Dia tidak peduli.Dia duduk di sudut selnya, tetap tenang seperti biasanya, namun pikirannya masih berputar-putar dengan suara Devil Nightmare yang terus menggema di dalam kepalanya."Kita lihat sampai kapan lo bisa menahan gue, Althalan."Ucapan itu masih terasa jelas.Althalan menggerakkan jari-jarinya perlahan, merasakan betapa dinginnya udara di dalam sel ini. Dia tahu satu hal—semakin lama dia berada di sini, semakin besar peluang Devil Nightmare untuk mengambil alih dirinya.Dan itu tidak boleh terjadi. Namun, saat dia mulai mencoba menenangkan pikirannya, suara langkah kaki berat terdengar mendekat dari koridor."Tahanan 712, ada yang mau ketemu lo."Althalan tidak langsung bereaksi. Dia hanya m
Langkah Althalan mantap melewati lorong sempit yang kini sunyi setelah pertarungan sebelumnya. Tahanan lain memilih menjauh, tak berani mendekat meskipun hanya sekadar melihatnya. Tatapan mereka dipenuhi rasa takut dan ketidakpercayaan.Tapi Althalan tidak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh suara-suara dari dalam kepalanya."Lebih... lebih... lebih banyak darah..."Tangan kanannya mengepal erat, urat-uratnya menonjol. Aura kegelapan yang berasal dari Devil Nightmare terus merayapi tubuhnya, semakin kuat seiring bertambahnya korban. Matanya yang heterochromia sektorial violet berkilat tajam di bawah penerangan lampu redup lorong itu."Tersisa dua," gumamnya pelan.Di depan, sebuah pintu baja besar terlihat. Dua orang penjaga berdiri di sana, ekspresi mereka menegang saat melihat Althalan mendekat."Lo gak bisa masuk," kata salah satu penjaga dengan suara bergetar.Althalan tidak menjawab. Dia hanya berhenti sejenak, mengangkat kepalanya sedikit, menatap mereka dengan dingin."Pinda
Dalam satu hentakan, Althalan melesat dengan kecepatan mengerikan. Xaviel bahkan belum sempat mengangkat tangannya ketika—BUGH!Althalan meninju dadanya dengan brutal, membuat pria itu terangkat ke udara beberapa meter. Tidak ada waktu untuk bernapas.Serangkaian pukulan menghantam wajah Xaviel secara sadis, tulang hidungnya patah, darah menyembur, matanya membelalak karena guncangan otaknya. Tapi Althalan belum puas."Lo pikir udah cukup?"Xaviel masih setengah sadar ketika tangan Althalan mencengkeram kepalanya, Dia menghantamkan kepala Xaviel ke lantai beton.Lagi.Lagi.LAGI!Darah menyebar, bercampur dengan retakan di lantai. Beberapa narapidana yang menonton dari jauh mulai gemetar. Mereka melihat sesuatu yang lebih dari manusia.Mereka melihat iblis, Tapi Althalan tidak berhenti. Devil Nightmare menggeliat dalam dirinya, mendesaknya untuk lebih, untuk menikmati kesengsaraan lawannya."Bangun."Xaviel menggeliat, setengah sadar, tubuhnya berlumuran darah. Tapi sebelum dia bisa
Keesokan harinya, nama Althalan Zeyasel telah menjadi legenda di dalam lapas remaja itu. Tidak ada lagi yang berani menantangnya, bahkan kepala sipir pun memilih untuk menghindari tatapan matanya. Orang-orang terkuat di sana hanya bisa menunduk ketika melewatinya, sadar bahwa tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk menantang kekuasaan.Hari ini, Althalan memilih untuk beristirahat. Luka-lukanya masih terasa perih setelah pertarungan yang tiada henti, tetapi pikirannya tetap tajam.Saat itulah seorang sipir mendekatinya dengan wajah sedikit cemas."Tuan Althalan, ada yang menjengukmu."Althalan menoleh dengan tatapan dingin. Tanpa banyak bicara, dia berdiri dan berjalan mengikuti sipir itu menuju ruang kunjungan.Di balik kaca pemisah ruangan itu, duduklah Kazuo, tangan kanan Latozey. Pria itu mengenakan jas hitam yang rapi seperti biasa, tetapi ada ketegangan di wajahnya. Begitu melihat Althalan masuk, Kazuo hanya menundukkan pandangannya sejenak sebelum akhirnya duduk dengan tenang d
Matahari pagi menyinari gerbang Luminos Academy, sekolah elite yang dipenuhi anak-anak dari keluarga berpengaruh. Para siswa sudah mulai berdatangan, sebagian sibuk berbicara, sementara yang lain berdiri di sudut koridor dengan tatapan malas.Namun, pagi itu sedikit berbeda. Ada satu rumor yang sudah menyebar sejak kemarin—akan ada murid baru.Banyak siswa, terutama para siswi, sibuk bergosip tentang siapa yang akan masuk ke sekolah mereka. Beberapa bahkan sudah membayangkan seorang anak pejabat dengan wajah tampan dan gaya hidup mewah.Namun, sebelum mereka bisa terus berimajinasi, suara deru mesin mobil sport menarik perhatian.Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang. Dari dalam, lima orang pria keluar dengan gaya penuh percaya diri. Mereka adalah kelompok yang dijuluki "Most Wanted", sekumpulan anak orang kaya yang menguasai sekolah ini. Galaksi, Thomas, Venro, Ropal, dan Yeon.Mereka terkenal karena ketampanan, kekayaan, dan sikap arogan mereka. Tak hanya itu, mereka ju
Malam itu, suasana di mansion Ombra Thanatos terasa tenang. Tapi bagi Amore, Jovenica, Ellen, dan Moreno, ini adalah ketenangan yang terasa aneh.Mereka duduk di ruang tengah, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ellen menatap layar laptopnya dengan mata tajam, Jovenica sibuk mengasah pisaunya, sedangkan Amore duduk dengan kaki disilangkan, memainkan belati kecil di tangannya.Sementara itu, Moreno…"Woi, lo bisa diem nggak?!" Jovenica menggeram, menatap Moreno yang duduk bersila di lantai, mengunyah keripik dengan suara berisik."Lagian kenapa sih mukanya pada tegang gitu? Apa karena kejadian tadi di sekolah?" Moreno mendecak, lalu menyeringai, "Atau karena kalian masih kepikiran cowok iblis itu?"Amore mendelik. "Cowok iblis?""Ya siapa lagi kalau bukan Althalan," Moreno mengangkat bahu santai. "Gue udah lihat rekaman dari hacker kita. Malam ini dia ‘main’ di mansionnya Valentino."Mata Ellen langsung melirik ke arah Moreno dengan penuh minat. "Lo serius?""Ya iyalah. Gue ngapain
Malam di kota ini tak pernah benar-benar tenang. Lampu jalan berkedip samar, dan suara klakson kendaraan dari kejauhan terdengar sesekali. Di sebuah kawasan industri yang hampir ditinggalkan, berdiri sebuah bangunan besar yang tampak tak mencolok—gudang tua dengan cat yang mulai pudar dan pintu baja yang berkarat.Namun, di balik tampilan kumuh itu, tempat ini adalah salah satu pusat kekuatan Organisasi Rafael. Gudang ini menyimpan berbagai senjata ilegal yang mereka edarkan ke berbagai sindikat di kota.Dua pria bertubuh besar berjaga di depan pintu, masing-masing menggenggam senapan serbu. Sesekali, mereka berbincang santai, merokok, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir mereka.Tak jauh dari sana, di atas gedung seberang, sosok bertudung berdiri di tepi, menatap gudang dengan mata tajam. Althalan.Angin dingin malam menyapu jaketnya, namun dia tetap tak bergerak, mengamati pola penjagaan dengan cermat. Lima orang di luar,
Althalan baru saja tiba di sekolah, berjalan santai melewati gerbang tanpa memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang menarik di sini. Sekolah hanyalah formalitas baginya, dan dia tidak punya niat untuk buang-buang waktu.Namun, baru saja dia hendak menuju kelas, suara nyaring yang menyebalkan itu terdengar."Oh? Ternyata Kamu ada disini Althalan. Aku sudah nunggu kamu."Althalan tetap berjalan tanpa peduli, tapi dari belakang, Amore mendesis pelan. "Tch, Medusa."Di sana, berdiri dengan angkuhnya, Runela bersama tiga temannya. Seperti biasa, mereka berjalan seolah-olah sekolah ini milik mereka, dengan senyum penuh kepercayaan diri. Rok seragamnya lebih pendek dari aturan, riasannya terlalu berlebihan untuk standar sekolah, dan ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak datang hanya untuk sekadar menyapa.Runela tersenyum manis ke arah Althalan, berjalan lebih dekat dengan tatapan genit. "Kenapa buru-buru, hm? Aku baru aja datang, sayang
Ellen mengetik dengan cekatan di laptopnya, wajahnya serius sementara layar menampilkan berbagai informasi tentang Althalan. Jari-jarinya terus bergerak, hingga akhirnya dia berhenti dan menatap layar dengan mata membesar."Holy sh*t…" Ellen berseru pelan, membuat Amore, Deul, dan Jovenica langsung mendekat."Kenapa?" Amore bertanya, melirik layar laptop yang menampilkan sebuah dokumen rahasia.Ellen menelan ludah, lalu memutar laptopnya agar mereka semua bisa melihat. "Althalan… dia bukan orang biasa. Dia anak dari Latozey."Ruangan seketika sunyi. Deul dan Jovenica menegang, sementara Amore menyipitkan mata. Nama itu bukanlah nama asing di dunia mafia. Latozey adalah legenda, seorang pemimpin yang namanya dibisikkan dengan ketakutan di seluruh dunia bawah."Bukan cuma itu," Ellen melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Althalan juga berhasil menghabisi organisasi Pradipta sendirian. Organisasi itu bukan sembarangan, mereka salah satu j
Keesokan paginya, Amore, Ellen, Deul, dan Jovenica dipanggil ke ruang rapat utama mansion. Mereka melangkah masuk dengan santai, meskipun mereka tahu betul bahwa jika ayah mereka memanggil mereka secara langsung, itu berarti sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan, Razoes sudah duduk di kursi utama dengan ekspresi seriusnya. Di hadapannya, ada empat kotak hitam yang masing-masing memiliki nama mereka terukir di atasnya. "Duduk," kata Razoes dengan suara dalam yang penuh wibawa. Keempatnya mengambil tempat, menatap kotak itu dengan rasa penasaran. "Daddy udah mengamati perkembangan kalian sejak pertama kali kalian Daddy latih. Kalian sudah berkembang, tapi masih ada banyak hal yang harus kalian pelajari." Razoes melipat tangan di depan dadanya. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan naik ke level berikutnya." Deul menaikkan alis. "Maksud Daddy?" Razoes menyeringai kecil. "Buka kotaknya." Tanpa banyak basa-basi, Amore dan saudara-saudaranya membuka kotak masing-masing. Begi
Althalan menarik napas dalam, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal akibat pertarungan tadi. Malam ini seharusnya dia hanya ingin fokus mencari informasi tentang organisasi Rafael, tapi justru bertemu dengan Maverick yang memaksanya bertarung tanpa rencana. Mesin motor sport barunya meraung pelan saat dia menarik gas, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, suara batuk kasar terdengar dari belakangnya. "Hah… Lo pikir gue bakal tumbang cuma segini aja, hah?" Althalan melirik dari spion. Maverick masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka dan darah menetes dari sudut bibirnya. Matanya masih dipenuhi api perlawanan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. "Heh, lo masih bisa berdiri?" Althalan mendecakkan lidah, memutar gas motornya sedikit. Maverick menyeringai, lalu meludah ke tanah. "Lo pikir gue bakal kalah semudah itu?" Suaranya parau, tapi tekadnya masih membara. "Gue janji akan ngalahin lo, dan gue nggak akan berhenti sebelum itu terjadi!" Alth
Langit sore mulai meredup saat Althalan berjalan keluar dari apartemennya. Jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya sedikit berkibar tertiup angin. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan mulai menelusuri jalanan kota yang dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Tidak ada misi hari ini. Tidak ada pertempuran, tidak ada darah. Hanya hari biasa yang terasa asing baginya. Althalan menatap ke langit. Entah kenapa, akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi dengan sesuatu yang tidak ia mengerti. Sebuah ingatan samar yang terus muncul, seolah ada sesuatu yang ingin dia ingat. Saat melintasi sebuah pertokoan, pandangannya tertuju pada satu tempat—sebuah dealer motor mewah. "Motor..." gumamnya pelan. Langkahnya terhenti di depan kaca besar yang memajang berbagai jenis motor sport dengan desain futuristik dan kecepatan yang menggoda. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah motor dengan bodi hitam mengkilap, aksen merah tua di sisi bodinya membuatnya terlihat garang dan memat
Gudang itu berdiri di ujung dermaga, lampunya redup, dan di sekitarnya ada beberapa truk kontainer yang diparkir berjejer. Suara deburan ombak samar-samar terdengar di kejauhan. Althalan berdiri di balik bayangan sebuah kontainer besar, matanya tajam menatap ke arah gudang. Dia sudah menghitung jumlah musuh dari kejauhan—sebelas orang berjaga di luar, beberapa memegang senjata laras panjang, dan sisanya membawa pistol. "Transaksi ini bernilai lebih dari lima ratus juta... masuk akal kalau mereka mengamankan tempat ini mati-matian," pikirnya. Dia tidak peduli siapa mereka. Yang dia pedulikan hanya misinya: ambil senjata, habisi semua orang yang ada di sini. Althalan menarik napas dalam. Lalu, dia bergerak. Tubuhnya melesat cepat seperti bayangan, tanpa suara, hanya langkah-langkah ringan yang hampir tak terdengar di atas aspal basah. Dia mendekati penjaga pertama yang sedang merokok di dekat kontainer. Tanpa ragu, dia menyergap dari belakang, tangan kirinya membungkam mulut pria i
Semuanya terjadi dalam sekejap. Satu detik yang lalu, geng Galaksi masih berdiri dengan percaya diri, merasa jumlah mereka cukup untuk menghancurkan siapa pun. Tapi detik berikutnya… dunia berubah. Tulang patah, daging terkoyak, dan jeritan kesakitan mengisi udara. Althalan tidak bisa berkata apa-apa. Matanya hanya terpaku pada sosok di depannya. Amore. Cewek itu bergerak lebih cepat dari yang bisa ditangkap oleh mata manusia biasa. Satu pukulan—hanya satu—dan tubuh salah satu anak buah Galaksi terpental seperti boneka kain, menabrak tembok dengan bunyi keras. "A-Apa...?" Galaksi mundur selangkah, matanya membelalak saat melihat rekannya mengerang di tanah dengan lengan yang patah ke arah yang tidak seharusnya. Tapi Amore belum selesai.Dia menghilang. Menghilang!!. Atau setidaknya, begitulah yang terlihat di mata mereka. Tapi bagi Althalan, dia masih bisa menangkap gerakan Amore—cewek itu bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Satu tendangan ke lutut, dan seorang pria jatuh s