Langit Jakarta masih mendung. Hujan semalam belum benar-benar mengering dari aspal, menyisakan genangan kecil di sepanjang jalanan kota. Udara pagi itu lembap dan dingin, membawa aroma tanah basah yang tajam—seperti mengingatkan seseorang pada kenangan yang belum juga usai.
Arsen terbangun dengan kepala berat. Bekas alkohol malam itu membuat tubuhnya terasa lemas dan otaknya berkabut. Ia mengerjapkan mata, menoleh perlahan ke sisi ranjangnya, seolah berharap melihat sosok Dinda tertidur di sana—membelakanginya, seperti biasa. Tapi bantal di sisi kiri kosong. Dingin. Selimutnya pun masih rapi, seakan tak pernah dipakai. Ia tidak ada. Bahkan jejak kepergiannya pun terlalu sunyi untuk dirasakan. Arsen terduduk pelan, menatap sekeliling apartemen yang terasa begitu asing pagi itu. Tak ada suara panci dari dapur, tak ada aroma kopi hitam khas Dinda yang biasa menyambutnya. Tak ada keluhan kecil tentang kaus kotor yang berserakan. Yang ada hanya denting detik dari jam dinding, menggema dalam keheningan yang menusuk. Pandangan matanya akhirnya berhenti pada meja makan. Di sana, sebuah cangkir kopi hitam berdiri sendiri, uapnya sudah lama hilang, warnanya hitam pekat seperti suasana hatinya. Di sebelahnya, tergeletak sebuah amplop putih terbuka. Jantung Arsen langsung mencelos. Dengan langkah pelan, ia mendekat, meraih kertas di dalam amplop itu. Ia sudah bisa menebak isinya bahkan sebelum membaca, tapi tetap saja matanya menyusuri baris demi baris tulisan tangan Dinda yang rapi, seperti ritual menyakiti diri sendiri. Surat permohonan cerai. Arsen memejamkan mata sesaat. Tapi saat matanya kembali terbuka, ia menatap satu kalimat di bagian akhir surat itu. Tulisan kecil, sederhana, tapi menghujam tanpa ampun. “Terima kasih pernah memilih aku, meski akhirnya kamu memilih dia.” Tangan Arsen meremas lembar itu tanpa sadar. Matanya panas. Jantungnya berdetak tak karuan. Mulutnya kering. “Dinda…” bisiknya, nyaris tanpa suara. Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya. Mencari nama itu di daftar kontak, menekan tombol panggil. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tak satu pun diangkat. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama lain muncul di layar: Alya. Arsen mematung sejenak. Perutnya terasa mual. Nama itu, sekali lagi, membawa beban lebih dari yang bisa ia tanggung. Dengan setengah hati, ia mengangkat panggilan. Suara di seberang terdengar ketus. Alya bertanya keberadaannya, mengatakan sudah menunggu di kafe sejak tadi. Arsen mengusap wajahnya dengan lelah, menjawab bahwa ia tak bisa datang. Suaranya serak. Alya langsung tahu arah percakapan itu. Ia menyebut nama Dinda, menuduh Arsen masih terjebak dalam hubungan yang belum selesai. Suaranya meninggi. Ia mengungkit komitmen yang tak pernah utuh. Dan seperti biasa, Arsen tak menjawab. Ia terlalu lelah untuk melawan, terlalu hancur untuk membela siapa pun. “Gue cari Dinda dulu,” ucap Arsen akhirnya, pelan. Alya tertawa pahit. “Dia tahu, Sen. Cewek kayak Dinda… nggak bakal ninggalin lo kalau bukan karena benar-benar lelah.” Kata-kata itu terasa seperti belati. Tanpa membalas lagi, Arsen memutuskan panggilan. Ia mengambil jaket, meraih kunci mobil, lalu keluar apartemen. Hujan tipis mulai turun kembali. Langit masih kelabu. Tapi kali ini, gerimis seolah mengantar kepergian seseorang yang baru menyadari betapa kosong hidupnya tanpa perempuan yang ia sia-siakan. ⸻ Di sebuah taman kecil di ujung perumahan pinggiran kota, Dinda duduk sendirian. Tangannya menggenggam payung biru robek yang kini telah pudar warnanya. Kainnya berlubang kecil di sana-sini, pinggirannya keriting dan lusuh. Payung itu saksi bisu atas begitu banyak hal—kebahagiaan sederhana, janji-janji hujan, dan cinta yang perlahan berubah menjadi luka. Matanya masih sembap. Tapi bibirnya mengukir senyum tipis saat melihat anak kecil berlarian mengejar balon. Genangan air di depannya memantulkan langit yang mendung. Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar. Ia hanya menatapnya sejenak. Jari telunjuknya bergerak pelan, menyentuh ikon merah. Panggilan itu diputus. Satu helaan napas keluar dari mulutnya. “Maaf, Sen… kali ini bukan aku yang nunggu.” Langkah pelan terdengar mendekat. Seorang ibu paruh baya duduk di bangku sebelah, membawa kantong plastik belanja. Perempuan itu melirik Dinda dan tersenyum hangat, lalu berkata perlahan bahwa wajah seperti Dinda adalah wajah orang yang sedang patah hati. Dinda tersenyum kecil, hanya mengangguk. Perempuan itu melanjutkan dengan suara lembut, seperti hujan tipis di musim penghujan. Ia berkata, tak ada gunanya memaksa seseorang untuk tetap tinggal. Yang ingin pergi, akan pergi. Yang mencintai, akan bertahan. Kalimatnya sederhana, tapi justru itu yang paling menampar. “Ibu ngerti dari mata kamu… kamu bukan orang yang gampang nyerah. Tapi kalau kamu terus nunggu yang nggak mau pulang, kamu capek sendiri, Nak.” Dinda terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia hanya menatap jauh, ke arah genangan yang semakin lebar di depannya. Lalu perlahan menjawab, bahwa mungkin memang waktunya berhenti. Ibu itu tersenyum, menepuk pelan bahu Dinda, lalu pamit pergi. “Hidup nggak nungguin kita sedih kok,” katanya sebelum berlalu. Dinda menatap payung biru robek di pangkuannya. Dan seperti angin yang menyeret ingatan, kenangan itu datang berlarian— Janji-janji manis yang diucapkan Arsen, malam-malam hujan di balkon kontrakan, kopi instan dan tawa kecil, pelukan hangat di bawah payung yang sama. Semua itu kini terasa seperti mimpi buruk yang nyaris indah. Suara langkah tergesa mendekat. “Dinda!” Suara itu. Dinda membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi tubuhnya tetap tenang. Arsen datang tergopoh-gopoh, wajahnya kusut dan basah oleh gerimis. Napasnya memburu. “Jangan pergi kayak gini,” katanya lirih, hampir memohon. Dinda berdiri perlahan. Ia tidak menoleh. Tangannya meraih koper kecil di sampingnya. Suaranya tenang saat berbicara, tanpa emosi berlebih. Ia tidak pergi karena membenci, tapi karena lelah. Lelah pura-pura baik-baik saja. Lelah menahan luka yang terus dibiarkan terbuka. Arsen mencoba mendekat, memohon satu kesempatan lagi. Tapi Dinda hanya menatapnya, kali ini dengan mata yang jernih—bukan karena tak lagi mencintai, tapi karena sudah mencintai dirinya sendiri lebih dari sebelumnya. “Aku sudah kasih terlalu banyak kesempatan. Sampai akhirnya aku kehilangan diriku sendiri.” Kata-kata itu menampar Arsen keras. Ia terdiam, tak bisa menjawab. Tubuhnya gemetar. Air mata perlahan mengalir di pipinya, tak terbendung lagi. Dinda meletakkan payung biru robek itu di bangku taman. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik, berjalan menjauh. Hujan turun lebih deras. Arsen meraih payung itu, menggenggamnya seperti seseorang yang mencoba memeluk masa lalu. Tangisnya pecah pelan. Suara isaknya tenggelam dalam suara hujan. “Maaf, Din…” Tapi yang tersisa hanya suara air yang menetes dari langit.