Langit masih menggantung mendung, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung turun. Jakarta telah mulai merangkai hujan sejak pagi, tapi belum satu pun tetesnya jatuh ke tanah. Angin dingin yang menyelinap di antara dedaunan membawa aroma kenangan yang belum luruh. Sudah sebulan sejak Dinda pergi.
Arsen duduk sendirian di bangku taman yang pernah menjadi saksi awal pertemuan mereka. Tangannya menggenggam sebuah payung kecil berwarna biru—yang sudah robek di beberapa sisinya. Payung itu masih menyisakan embun tipis dari sisa hujan semalam. Benda sederhana itu seakan menjadi jembatan yang memaksa kenangan datang tak diundang. Sejenak, dunia di sekelilingnya meredup. Ingatan itu menyeruak kembali, hidup di balik tatapan kosongnya. “Setiap malam, sejelek apa pun harinya, kita harus pulang. Pulang ke sini. Ke aku, ke kamu. Deal?” “Deal.” Tawa Dinda menggema dalam memori, jernih seperti denting gelas kaca. Aroma kopi instan dan denting hujan di atap halte menjadi latar dari janji yang dulu mereka buat bersama. Arsen kembali menunduk, menggenggam payung itu erat. Retakan di permukaan plastiknya kini dibasahi air matanya sendiri. Satu helaan napas panjang meluncur dari bibirnya yang gemetar. “Aku telah mengkhianati semua itu,” lirihnya, nyaris tak terdengar. Ia merogoh sakunya dan menyalakan layar ponsel. Satu pesan terus muncul sebagai notifikasi terakhir—pesan dari seseorang yang kini membuat sesaknya bertambah. “Aku minta maaf.” Nama pengirimnya terpampang jelas: Alya. Alya—nama itu seperti racun. Arsen tahu, jauh di balik drama yang telah terjadi, Alya masih menunggunya. Menunggu agar Arsen berpaling sepenuhnya. Tapi hatinya sudah hancur. Tidak bisa lagi menampung cinta lain, apalagi cinta yang lahir dari pengkhianatan. Satu tegukan kopi dingin dari termos kecil menuruni tenggorokannya. Rasanya hambar. Begitu juga dengan hidupnya kini. “Din… aku kehilanganmu.” Dengan tangan yang masih bergetar, ia membuka aplikasi catatan di ponselnya. Jari-jarinya mengetik perlahan. Dinda, jika kau membaca ini, ketahuilah aku selalu menyesal. Janji itu bukan cuma kata di bibir, tapi janji jiwa. Dan aku telah mengkhianatinya… Namun sebelum kalimat berikutnya terbentuk, jari-jarinya terhenti. Ada jeda. Waktu terasa beku. Akhirnya ia menutup aplikasi itu tanpa menyimpan. Surat itu hanya satu halaman, tapi baginya terasa seperti menulis seluruh dosa dalam satu tarikan napas. Payung biru itu akhirnya dilempar ke atas rerumputan basah. Ia berdiri, membiarkan hujan gerimis mulai menyentuh rambut dan jaketnya. “Maaf…” gumamnya pelan, lalu melangkah meninggalkan taman. Jalan setapak itu pernah menjadi jalur pulang mereka—kini hanya miliknya sendiri. ⸻ Dinda di Kos Lama Sekitar sembilan puluh menit dari Jakarta, di sebuah kota kecil yang tak terlalu dikenal, Dinda kini menetap di kamar kos sederhana. Sudah sebulan sejak ia memutuskan untuk pindah, mencari ulang siapa dirinya sebenarnya. Hidupnya berubah drastis—dari istri seorang pria mapan menjadi wanita yang merajut ulang hidupnya dari awal. Rutinitas barunya teratur: pagi hari olahraga ringan, siang bekerja di sebuah agensi desain lokal, sore menghabiskan waktu membaca atau berjalan ke taman terdekat, dan malam hari menulis diary sebelum tidur lebih awal. Tidak ada lagi perdebatan, tidak ada lagi luka yang harus ditambal setiap malam. Hari ini Jumat, matahari tak muncul, hanya awan mendung yang menggantung rendah. Gerimis tipis mulai turun ketika Dinda melangkah ke taman yang tak jauh dari kosnya. Ia membawa sebuah payung kecil berwarna merah—payung baru, simbol kehidupan baru yang sedang ia susun. Bangku kayu di sudut taman kosong. Ia duduk, membuka tas, lalu menarik buku diary dari dalam. Helaan napas panjang ia hembuskan, sebelum mulai menulis di halaman kosong. Ini bukan tentang membencimu, Arsen. Tapi tentang mencintai diri sendiri dengan tulus. Setiap harinya aku tumbuh lebih kuat. Perlahan-lahan aku jatuh cinta kembali pada diri yang dulu nyaris hilang… Dinda menutup matanya sejenak, membiarkan hujan menyatu dengan pikirannya. Saat itulah langkah kaki terdengar menghampiri. Seorang pria muda berkacamata membawa termos kopi dan tabung gambar silinder. Ia duduk di bangku tak jauh darinya. “Maaf, saya tidak mengganggu, kan?” suaranya lembut, agak serak tapi terdengar sopan. Dinda membuka mata dan mengangkat kepala. “Sedikit… ini ruang pribadi.” Pria itu tersenyum kecil. “Maaf… saya cuma lihat kamu sedang menulis. Saya fotografer amatir, suka dokumentasi orang-orang di tempat tenang. Nama saya Rayhan.” Ada nada jujur di suaranya yang membuat Dinda tidak langsung merasa risih. Ia mengangguk pelan. “Dinda.” “Senang kenal, Dinda. Cuaca mendung memang cocok untuk menulis,” Rayhan berkata sambil membuka termos dan menuang kopi ke dalam cangkir kecil dari stainless. Ia lalu mengeluarkan sepotong biskuit dan meletakkannya di atas tisu kecil, mendorongnya ke arah Dinda. Ia menolak dengan isyarat tangan, lalu berkata, “Saya cuma menulis target hidup. Supaya lebih jelas saja.” Rayhan tersenyum. “Bagus. Kadang saya juga begitu. Nulis ‘to-do list’ biar nggak hanyut sama waktu.” Dinda tertawa pelan, tanpa sadar. “Kamu suka foto?” tanyanya. “Iya. Dan kamu desain, kan?” Dinda mengangguk. “Baru mulai lepas dari masa lalu.” “Wajar,” jawab Rayhan ringan. “Semua orang punya masa lalu. Yang penting, kita terus hidup.” Kalimat itu begitu sederhana, tapi bagai menyentuh ruang yang lama tak dijamah dalam hati Dinda. Tidak menghakimi, tidak menasihati. Hanya sekadar menemani. Mereka duduk dalam diam. Gerimis turun seperti musik latar dari momen yang anehnya terasa tenang. Dinda menutup diary-nya, memasukkan pena ke dalam tas, lalu menerima kopi hangat dari Rayhan. “Aku nggak tahu bisa jatuh cinta lagi atau tidak,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. Rayhan menatapnya. “Jangan takut jatuh cinta lagi. Dan jangan takut bahagia.” Dinda menatap cangkir kopi itu, lalu berbisik pelan, “Terima kasih, Ray.” Mereka mengobrol kecil tentang kota ini, tentang kopi kesukaan, tentang desain dan foto. Tidak ada yang memaksa untuk tahu lebih dalam. Tapi setiap kalimat yang lahir malam itu seperti memberikan ruang bagi Dinda untuk bernapas sedikit lebih lega. Menjelang waktu pulang, Rayhan menawarkan untuk mengantarnya sampai ke kos. Dinda menolak dengan sopan, lalu beranjak. Namun sebelum benar-benar menjauh, ia menoleh sejenak, menemukan Rayhan masih duduk di bangku, memandangnya dengan tatapan lembut. Seperti berharap, pertemuan ini bukanlah kebetulan.Sendiri di Tengah KeramaianDinda berdiri di depan taman kota yang letaknya tak jauh dari museum seni di Jakarta Pusat. Suara bising kendaraan dan hiruk pikuk orang-orang yang berlalu-lalang menjadi latar belakang yang kontras dengan isi hatinya yang sunyi.Ia duduk di bangku taman, membawa termos kecil berisi teh hangat dan buku catatan yang biasa ia tulisi sejak beberapa bulan terakhir. Halaman-halamannya berisi goresan-goresan rindu, amarah, pengampunan, dan luka yang tak sempat diceritakan ke siapa-siapa.Sore itu, Dinda tidak ingin kabur dari rasa. Ia ingin menatap semuanya, satu per satu, termasuk luka yang masih menganga.Ia membuka halaman terakhir di buku catatannya dan mulai menulis:“Hari ini, aku kembali ke tempat yang aku hindari. Bukan karena ingin mengingatmu, tapi karena aku ingin mengingat siapa diriku sebelum semuanya berakhir.”“Ternyata, aku pernah begitu mencintai seseorang sampai lupa mencintai diri sendiri. Dan hari ini, aku mencoba menemukanku lagi.”Air matany
Langkah Baru yang Ragu Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat Dinda melangkah ke kantor. Wajahnya terlihat tenang, tapi langkahnya masih membawa jejak kehati-hatian. Setiap orang yang menyapanya ia balas dengan senyuman tipis, dengan sopan. Di dalam lift, ia sempat menatap pantulan wajahnya di dinding logam. Ada kantung mata yang belum sempat tertutupi concealer, dan ada sorot sendu yang belum benar-benar pergi. Tapi di balik itu, ada satu hal yang berbeda: ia tak lagi sembunyi dari dirinya sendiri. Hari itu, Dinda mulai mengerjakan proposal baru yang diberikan oleh atasannya. Tangannya bergerak lambat di atas keyboard, tapi otaknya berusaha tetap fokus. Satu demi satu, rutinitas mulai dijalani kembali. Setidaknya, hari ini ia tak ingin hanya duduk di pantry, diam, dan menangisi masa lalu yang sudah tak bisa dijangkau. Saat makan siang, Rayhan datang menghampiri meja kerjanya. “Din, makan bareng, yuk?” Dinda menoleh, sedikit tersenyum. “Kantin aja, ya? Aku lagi ngg
Perpisahan Tanpa UcapanDinda masih duduk mematung di pojok pantry kantor. Cangkir kopi di tangannya sudah tak lagi hangat, tapi tak ada niat untuk menyesapnya. Di luar kaca jendela kecil, matahari bersinar terik menyorot gedung-gedung tinggi Jakarta, tapi tak satu pun dari itu bisa menghangatkan dada yang sedang kosong.Pikirannya masih tertahan di lorong rumah sakit beberapa malam lalu. Bau disinfektan, lampu redup, dan suara mesin monitor yang monoton… semuanya masih membekas seperti ukiran di dinding kenangan.Saat itu, ia berpikir perpisahan sudah usai. Bahwa dengan mengucapkan “selamat tinggal”, semuanya akan lebih mudah. Tapi ternyata tidak. Tidak saat kabar duka datang, tiba-tiba dan mengguncang tanpa aba-aba.Langkah kaki perlahan mendekat, membawa suara familiar yang terasa seperti penyeimbang di tengah badai.“Din…” suara Rayhan lembut, nyaris seperti bisikan.Dinda hanya menoleh sekilas. Tak ada kata, hanya lirih gerakan kepala. Rayhan duduk di kursi seberangnya tanpa bany
Langit Jakarta masih berwarna kelabu ketika Dinda turun dari bus yang membawanya kembali dari Semarang. Jejak hujan semalam masih melekat di aspal, memantulkan bias cahaya lampu kendaraan yang berlalu-lalang. Suara klakson, desah angin, dan aroma khas pagi kota menyambutnya dalam keheningan batin.Ia berdiri di pinggir jalan terminal, menunggu taksi online dengan ransel tergantung di bahu. Tangannya menggenggam ponsel, bergetar pelan oleh notifikasi yang masuk satu demi satu. Ada ucapan selamat pagi dari rekan kerja, dua pesan dari Rayhan yang menanyakan kabarnya… dan satu pesan dari nomor asing yang membuat langkahnya seketika tertahan.“Terima kasih sudah datang, Din. Maaf untuk segalanya. — Ibu Dita”Dinda menatap pesan itu lama. Bibirnya bergerak, namun tak satu kata pun terucap. Dadanya sesak, tapi juga lapang dalam waktu yang bersamaan. Ada perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan—seperti membuka jendela setelah sekian lama terkurung dalam ruangan pengap. Udara masuk, meski masih
Bus malam melaju perlahan di atas aspal yang licin, meninggalkan jejak cahaya dan suara roda yang mendesis oleh air hujan. Dinda menatap kosong ke luar jendela. Butiran air mengalir membentuk pola tak tentu di kaca, seolah menggambarkan pikirannya yang sama-sama kusut dan tak jelas arah.Ponselnya masih tergenggam di tangan, layar menyala memunculkan satu notifikasi:“Kondisi pasien atas nama Arsen Wibowo masih kritis. Mohon keluarga segera hadir untuk keputusan medis lanjutan.”Tangannya gemetar. Pesan itu seperti tamparan lain yang datang di antara gelombang rasa yang belum juga reda. Dinda memejamkan mata, mencoba menahan napas panjang yang beratnya tak bisa diukur.Benar nggak sih aku ke sini? Apa aku nggak terlalu bodoh datang buat seseorang yang dulu pergi tanpa menoleh?Namun suara lain di dalam hatinya tak membiarkan ia lari.“Dia pernah jadi rumahmu, Din. Dan rumah yang hancur pun kadang tetap perlu kau tengok… untuk benar-benar bisa pergi.”Ia menunduk, menatap jemarinya yan
Sudah dua minggu sejak malam ketika Dinda mengatakan “selamat tinggal” pada suara yang pernah ia sebut rumah. Semua sudah ia bersihkan — pesan, foto, video, bahkan rekaman suara yang dulu begitu ia peluk dalam sepi. Ia kira, jika semua itu dihapus, maka lukanya pun akan ikut lenyap. Tapi luka tak hidup di memori digital. Luka tinggal di tempat paling dalam yaitu dada.Di kantor, Dinda tampak lebih sibuk dari sebelumnya. Proposal baru datang beruntun, revisi bertubi-tubi, dan jam lembur makin sering dijalani. Rayhan, seperti biasa, setia untuk hadir. Kadang membawakan kopi tanpa diminta, kadang diam menunggu di lobi kantor hanya untuk memastikan Dinda pulang dengan senyuman.Hubungan mereka belum punya label, belum ada pengakuan resmi. Tapi semua orang tahu: Rayhan lebih dari sekedar teman kantor. Terlalu jelas caranya menatap Dinda, terlalu lembut caranya memperlakukan setiap luka yang belum sembuh.Dan justru ketika semuanya mulai terasa tertata… hidup kembali mengetuk luka lama yang