Search
Library
Home / Rumah Tangga / Setelah Kamu Pilih Dia / Luka yang Tak Bisa Disangkal

Luka yang Tak Bisa Disangkal

Author: Lina Astriani
2025-06-19 08:52:19

Hujan turun sejak fajar. Langit kelabu tak menunjukkan jeda, seakan langit pun ikut berkabung atas luka-luka yang tak terlihat oleh mata. Di balik jendela kamarnya yang berembun, Dinda berdiri mematung. Tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang sudah kehilangan uapnya. Pandangannya kosong, menembus tirai hujan yang jatuh perlahan. Di balik pintu kamar, tergantung payung biru tua — robek di sisi kanan, kusam, namun menyimpan terlalu banyak kenangan yang enggan dilupakan.

Kenangan yang datang tanpa diundang. Luka yang selama ini dia bungkus rapi, kini mulai meronta dari balik perban keikhlasan.

Kabar dari Masa Lalu

Suara getar ponsel di atas meja membuyarkan keheningan. Dinda menoleh pelan. Nama yang tertera di layar membuatnya mengerutkan kening.

Edo - Kakak Alya.

Dia tak menyangka nama itu akan muncul lagi dalam hidupnya. Dunia seakan berhenti sejenak. Jantungnya berdetak pelan, namun berat. Antara ingin tahu dan ingin menghindar. Tapi jarinya bergerak juga, menyentuh ikon hijau.

“Hallo?”

“Din?” suara Edo di seberang terdengar serak. Lelah. Berat. “Ini Edo…”

“Iya, Mas. Ada apa?” Dinda duduk di pinggir ranjang, mencoba menstabilkan napasnya.

Hening sesaat. Lalu suara itu terdengar lagi, lebih pelan. “Alya… dia sakit, Din. Udah seminggu dirawat di rumah sakit. Kemarin dia sempat nyebut nama kamu.”

Seakan ada yang memukul dada Dinda dari dalam. “Dia kenapa?”

“Kanker hati. Stadium empat. Dokter bilang… udah gak banyak waktu.”

Dunia Dinda runtuh dalam diam. Hujan di luar terdengar seperti suara detik jam yang menjerit.

“Mas…” suaranya tercekat. “Aku… aku gak tahu harus gimana.”

“Dia cuma minta satu hal. Ketemu kamu. Dia bilang, dia pengen minta maaf. Itu aja.”

Kata-kata itu menusuk seperti pisau berkarat. Dinda memejamkan mata. Luka lama yang belum kering, kini dipaksa terbuka lagi.

“Aku pikir dulu, ya, Mas.”

“Iya. Tapi sebaiknya jangan lama-lama, Din.”

Sambungan terputus. Dinda meletakkan ponsel di pangkuannya. Di sudut matanya, air mata menggantung—tak jatuh, tak menguap. Diam.

Payung biru itu, yang dulu selalu menemaninya dan Arsen menembus hujan, kini hanya menjadi saksi betapa payahnya cinta yang dipertahankan sendirian.

Satu Pesan Terakhir

Di sebuah kafe yang sepi, Arsen duduk menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Uapnya hilang. Sama seperti semangat hidupnya sejak Dinda benar-benar pergi.

Ia baru saja menerima kabar dari Edo. Tentang Alya. Tentang permintaan terakhirnya.

Arsen tahu betul, kalau ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki sesuatu—meskipun bukan dengan dirinya, mungkin setidaknya lewat maaf Dinda.

Tangannya bergetar saat mengetik pesan:

“Din… aku tahu aku gak pantas ganggu kamu. Tapi, Alya sakit parah. Dia pengen ketemu kamu. Demi kebaikan semua, aku mohon… sekali aja.”

Ia menatap layar. Dikirim. Tapi tidak ada balasan.

Arsen memejamkan mata. Udara seperti berhenti di dadanya. Ia tahu Dinda membencinya. Dan dia pantas dibenci.

Beberapa jam kemudian, ponselnya berdering.

Dinda.

Tanpa pikir panjang, Arsen mengangkat.

“Din?”

“Aku ke rumah sakit,” ucap Dinda datar. “Tapi aku gak datang buat kamu. Aku datang karena Alya.”

Arsen terdiam. Lalu mengangguk meski tak terlihat. “Makasih, Din. Aku…”

“Udah, Sen. Jangan banyak ngomong. Aku datang bukan buat ngungkit apa-apa.”

Klik. Telepon diputus.

Arsen menggenggam ponselnya erat-erat. Sesak. Tapi dalam hatinya yang berantakan, ada sedikit rasa lega. Setidaknya… Dinda masih cukup manusiawi untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan Alya.

Pertemuan Terakhir

Langit belum berubah. Kelabu dan tak bersahabat. Rumah Sakit Siloam, sore itu, sunyi seperti tak ingin mengganggu luka yang tak bisa dilihat oleh stetoskop mana pun.

Dinda berdiri di depan pintu ruang rawat inap nomor 306. Dari balik kaca, ia melihat sosok Alya — sangat kurus, pucat, dan seperti bayangan dari perempuan yang dulu begitu percaya diri.

Langkah Dinda berat saat mendorong pintu.

Alya menoleh, senyumnya lemah. “Dinda…”

Dinda menggenggam ujung jaketnya erat-erat. “Aku di sini.”

Alya mencoba duduk, tapi tubuhnya tak mampu. Suaranya nyaris tak terdengar. “Gue… nyakitin lo.”

Dinda duduk di kursi di sisi ranjang. Matanya nanar menatap perempuan yang dulu pernah merebut segalanya.

“Alya, gak usah banyak ngomong.”

“Gue mesti ngomong, Din. Sebelum gue gak bisa lagi.”

Dinda menggigit bibirnya. “Aku maafin kamu, Alya.”

Alya menutup mata, lalu menangis. Tubuhnya kecil, kurus, namun air matanya jatuh seperti beban bertahun-tahun yang akhirnya runtuh.

“Gue nyesel… Gue nyesel banget.”

Dinda menggenggam tangan Alya yang dingin. “Kita semua pernah salah.”

Arsen berdiri di depan pintu, menyaksikan semuanya. Tubuhnya kaku, matanya berkaca. Ia tak berani masuk. Tak tahu harus berdiri di sisi siapa. Mungkin… tak layak berdiri di sisi siapa pun.

Alya menatap Arsen dari tempat tidur. “Sen… makasih ya, pernah sayang sama gue. Tapi sekarang, gue titip Dinda.”

Arsen tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk, pelan, penuh penyesalan.

“Alya…” suara Dinda bergetar, “kita semua pernah jadi orang jahat untuk orang lain. Tapi sekarang… kita cuma perempuan yang sama-sama punya luka.”

Alya tersenyum tipis. “Gue… tenang sekarang.”

Dan Dinda memeluk Alya. Tangisan mereka membaur dalam diam, dalam rintik hujan yang terus turun tanpa jeda.

Dan Esoknya

Langit pagi tak berubah. Masih kelabu. Masih diguyur hujan. Tapi kamar nomor 306 tak lagi ditempati oleh Alya.

Dia telah pergi dalam tidur. Tenang. Tak lagi menangis.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, luka itu tak hilang — tapi tak lagi menyangkal keberadaannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP