Jakarta belum juga benar-benar kering. Hujan yang sejak tadi sore turun hanya berubah menjadi gerimis tipis yang tak kunjung usai. Langit malam tetap kelabu, dan udara masih lembab oleh sisa dingin yang mengendap di trotoar basah dan dinding-dinding yang berembun.
Di balik kemudi mobilnya, Arsen mengemudi perlahan. Wajahnya sembab. Di kaca spion, mata itu terlihat merah, letih oleh tangis yang tertahan, tertumpah, lalu tertahan lagi. Radio mobil dibiarkan mati. Sunyi lebih cocok untuk menemani hatinya yang riuh oleh penyesalan. Ia menyusuri jalanan yang pernah ia lewati bertahun lalu, saat hidup masih sederhana dan cinta belum dibumbui luka. Jalanan kecil di pinggiran Jakarta Selatan, yang kini terasa jauh meski hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Ia mencari jejak. Bukan sekedar rumah. Tapi sisa dirinya yang dulu. ⸻ Mobil Arsen berhenti di depan rumah kontrakan sederhana. Rumah kecil bercat kusam dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Rumah itu… tempat mereka dulu memulai semuanya. Bukan tempat yang mewah, tapi cukup untuk menciptakan tawa dan mimpi kecil bersama. Gerimis masih jatuh saat ia turun. Payung hitam ia buka dengan enggan. Tapi langkahnya tetap tertuju ke rumah itu. Lampunya padam. Jendela tertutup rapat. Namun kehadiran kenangan begitu terang, menyala dari dalam. Ia mengetuk pintu perlahan. Tok. Tok. Tok. Hening. Sekali lagi. Tok. Tok. Tok. Masih tak ada jawaban. Pintu rumah sebelah terbuka pelan. Seorang pria paruh baya muncul dari balik tirai, menyipitkan mata menatap sosok yang familiar di bawah payung. “Mas Arsen?” Arsen menoleh cepat. “Pak Soleh?” Pria itu tersenyum kecil. “Masih inget saya? Tetangga lama.” “Iya, Pak. Masih ingat. Bapak sehat?” Pak Soleh mengangguk. “Alhamdulillah. Tapi Dinda udah lama nggak di sini, Mas. Udah pindah sebulan lalu.” Deg. Arsen menunduk. “Bapak tahu… dia pindah ke mana?” “Gak bilang, Mas. Cuma pamit. Katanya pengen mulai dari awal. Nyari tempat yang tenang, katanya. Dia bawain kue terakhir kali. Bilang makasih udah jadi tetangga baik.” Kalimat itu seperti hantaman. Arsen menggenggam payung lebih erat, menahan gemetar. “Kalau… kalau Bapak ketemu dia, saya titip salam ya. Bilang… saya nyesel.” Pak Soleh menepuk bahunya pelan. “Kamu baik-baik ya, Sen. Kadang, yang paling kita sakiti… justru yang paling tulus sayangnya.” Arsen hanya mengangguk. Tak sanggup bicara lagi. Ia kembali ke mobil. Udara dalam kabin terasa seperti kamar sempit tanpa ventilasi. Ia mengambil cincin pernikahan dari dashboard. Digenggam. Didekap. “Maaf, Din…” bisiknya. “Gue terlalu egois. Dan sekarang gue kehilangan lo.” ⸻ Di sisi lain kota, sebuah kafe kecil di pinggiran Depok jadi latar yang berbeda. Payung besar menaungi dua orang dari gerimis tipis. Kafe itu tenang, jauh dari hiruk-piruk Jakarta. Seolah menciptakan ruang di mana waktu bergerak lebih lambat, memberi napas bagi hati yang lelah. Dinda duduk di sana. Sweater krem dan celana jeans longgar, tanpa riasan berlebihan. Wajahnya masih memancarkan sisa-sisa luka, tapi tatapannya kini lebih tenang. Rayhan datang membawakan dua gelas kopi dan sepiring pasta. “Maaf ya, agak lama,” katanya sambil duduk. Dinda tersenyum kecil. “Gak apa. Aku juga baru nyampe.” Rayhan menatap sekeliling. “Tempat ini tenang, kan? Seperti bukan Jakarta.” “Iya,” jawab Dinda, mengangguk. “Aku suka. Rasanya kayak… bisa berhenti mikir sebentar.” Rayhan tertawa. “Itu tujuan aku ngajak kamu ke sini. Biar kamu bisa tarik napas panjang.” Dinda menatapnya lama. Di mata pria itu, ia melihat sesuatu yang berbeda dari Rayhan. Bukan godaan. Bukan bujukan. Hanya penerimaan. Tanpa syarat. “Boleh aku nanya sesuatu?” tanya Rayhan. “Boleh,” jawab Dinda hati-hati. “Kamu kayaknya masih nyimpen luka yang dalam. Maaf kalau aku lancang.” Dinda menarik napas. “Nggak apa. Kamu gak salah. Memang belum sembuh.” Rayhan tak menimpali. Hanya tersenyum pelan. “Aku gak minta kamu lupain siapa-siapa, Din. Aku cuma pengen kamu bahagia.” Ucapan itu sederhana. Tapi seperti tali yang menahan Dinda agar tidak jatuh terlalu dalam. “Aku takut, Han. Takut buka hati lagi. Takut jatuh ke lubang yang sama.” “Takut itu manusiawi. Yang penting… jangan tutup semua pintu buat diri sendiri.” Dinda menunduk. Ada benjolan di tenggorokannya. Tapi tak ada air mata. Hanya kelegaan yang samar. “Aku belum siap.” Rayhan mengangguk. “Gak apa. Aku gak buru-buru. Aku cuma pengen temenan. Teman yang bisa nemenin kamu ngobrol, ketawa, atau diem bareng kalau kamu butuh.” Dinda menatapnya. Lalu tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyum itu tulus. “Makasih ya, Han.” Mereka lanjut bicara, mulai dari film, pekerjaan, hingga hal-hal remeh yang biasanya tak penting—tapi sore itu jadi pengisi kekosongan. Dinda tertawa kecil beberapa kali. Tawa yang sudah lama tidak terdengar. Hatinya belum pulih. Tapi sore itu, dia tahu dirinya sedang mengarah ke sesuatu yang lebih sehat. ⸻ Arsen menyetir tanpa arah. Sampai akhirnya ia berhenti di taman kecil yang pernah jadi tempat kencan pertamanya dengan Dinda. Taman itu sepi. Bangku kayu tempat dulu mereka duduk masih ada di sana. Basah oleh gerimis. Tapi tetap utuh. Ia duduk. Menatap langit. Lalu menutup mata. “Aku suka tempat kayak gini,” ucap Dinda waktu itu. “Kenapa?” “Karena di sini semua orang sama. Gak ada status. Gak ada topeng. Semua cuma pengen tenang.” Suara Dinda bergema dalam kepalanya. Membuat dadanya nyeri. Teramat nyeri. Telepon berdering. Nama di layar: Alya. Arsen menatapnya beberapa detik. Lalu menekan reject. Seketika, notifikasi pesan masuk. Alya “Jangan pernah hubungi gue kalau lo gak bisa lepasin dia.” Arsen menutup layar. Napasnya berat. Seberat semua kesalahan yang kini menumpuk dan tak bisa ia benarkan lagi. Ia menatap langit. “Din…” bisiknya. “Kalau lo masih bisa maafin gue… gue janji, gue gak akan sia-siain lo lagi.” Namun kata-kata itu hanya tertinggal di udara malam. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang menjawab. Hanya suara gerimis yang jatuh pelan di daun-daun basah. Dan untuk pertama kalinya, Arsen sadar… mungkin semua ini memang pantas ia tanggung sendiri.Hari-hari setelah arisan pertama berjalan begitu indah bagi Dinda. Ponselnya kini ramai notifikasi dari grup WhatsApp ibu-ibu komplek. Setiap hari ada saja obrolan—mulai dari resep sederhana, tips belanja hemat, sampai sekadar membagikan foto anak-anak mereka.Dinda merasa lebih hidup. Ia tak lagi merasa asing di lingkungan baru. Bahkan beberapa kali ia diajak mampir ke rumah tetangga, sekadar minum teh sambil mengobrol.Namun, tak semua berjalan semulus itu.Suatu sore, ketika Dinda sedang menyapu halaman, ia mendengar dua ibu yang lewat di depan rumahnya bercakap dengan suara agak pelan tapi cukup jelas terdengar.“Eh, itu Bu Dinda ya? Baru juga pindah, udah langsung deket banget sama Bu Wati sama Bu Ratna,” ucap salah satunya.“Iya, aku juga lihat. Cepet banget akrabnya. Jangan-jangan ada maunya,” timpal yang lain.Dinda terdiam, sapunya berhenti bergerak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tak menyangka akan mendengar komentar seperti itu.Malamnya, saat Rayhan pulang, Dinda menc
Hari Minggu tiba, matahari pagi bersinar cerah. Sejak pagi, Dinda sudah bersiap dengan mengenakan gamis sederhana warna biru muda dan jilbab polos yang membuat wajahnya terlihat segar. Tangannya sempat gemetar saat menata hijabnya di depan cermin.“Han, aku grogi banget,” ucapnya sambil menatap Rayhan yang sedang menggendong bayi mereka.Rayhan tersenyum menenangkan. “Kenapa grogi? Kan cuma arisan. Santai aja, Din. Kamu tinggal jadi diri kamu sendiri.”“Tapi ini pertama kali aku kumpul sama ibu-ibu komplek. Aku takut salah ngomong atau malah nggak nyambung,” jawab Dinda pelan.Rayhan mendekat, menepuk pelan bahu istrinya. “Kamu kan orangnya ramah. Aku yakin mereka bakal suka sama kamu. Lagian, Bu Ratna juga pasti nemenin.”Dinda menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Iya, semoga aja.”Tepat pukul sembilan, Bu Ratna datang menjemput. Ia tersenyum hangat saat melihat Dinda sudah siap. “Wah, cantik sekali, Bu Dinda. Ayok, jangan malu-malu. Semua ibu-ibu pasti senang kenal dengan tetang
Pagi berikutnya, aroma masakan sederhana dari dapur tetangga mulai tercium. Suara ayam berkokok dan anak-anak berlarian membuat suasana perumahan terasa hidup. Dinda membuka pintu depan rumah, membiarkan udara segar masuk sambil menatap lingkungan sekitar.Di halaman sebelah, Bu Ratna sedang menyapu. Begitu melihat Dinda, ia melambaikan tangan. “Pagi, Bu Dinda! Sudah agak rapi rumahnya?”Dinda tersenyum hangat. “Alhamdulillah, Bu. Kemarin seharian beres-beres sama suami. Capek, tapi senang.”Tak lama kemudian, Bu Ratna menghampiri sambil membawa sepiring kue tradisional. “Ini saya bawain onde-onde sama risoles. Biar ada camilan pagi. Anggap aja ucapan selamat datang.”Dinda terharu menerima itu. “Ya Allah, terima kasih banyak, Bu. Jadi malu saya, baru pindah sudah dikasih begini.”“Ah, nggak usah sungkan. Di sini kita semua saling bantu. Kalau ada apa-apa, tinggal ketok rumah saya aja,” jawab Bu Ratna dengan ramah.Rayhan yang baru keluar rumah ikut menyapa. “Wah, terima kasih banyak,
Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kecil rumah dinas, menyebarkan kehangatan ke seluruh ruangan. Dinda sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai dengan bayi yang masih setengah tertidur dalam gendongannya. Senyum lembut menghiasi wajahnya, meski tubuh terasa lelah setelah perjalanan panjang kemarin.Rayhan keluar dari kamar dengan rambut masih berantakan. “Selamat pagi, Din,” ucapnya sambil menguap lebar. “Gimana tidurnya semalam? Nyaman nggak?”Dinda terkekeh. “Nyaman sih nggak, Han. Tapi aku bahagia. Rumah ini mungkin kecil dan sederhana, tapi rasanya hangat.”Rayhan menatap sekeliling rumah, lalu tersenyum tipis. “Hari ini kita mulai petualangan baru, ya. Bersih-bersih dulu biar makin nyaman.”Setelah sarapan sederhana dengan gorengan pemberian Bu Ratna dan secangkir teh hangat, mereka mulai mengeluarkan barang-barang dari kardus. Dinda mengatur perlengkapan bayi di pojok kamar, sementara Rayhan sibuk menyapu halaman belakang yang penuh rumput liar.Sesekali, Rayhan mengint
Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dinas sederhana di kawasan perumahan karyawan. Tidak besar, tapi cukup untuk memulai kehidupan baru. Cat temboknya berwarna putih pucat, dengan pagar kecil di depan yang masih kokoh meski terlihat agak tua.Dinda turun dari mobil sambil menggendong bayi. Ia menatap rumah itu lama, berusaha menanamkan perasaan bahwa inilah tempat yang akan menjadi saksi perjalanan mereka ke depan.“Gimana, Din?” tanya Rayhan sambil membuka bagasi. “Memang nggak mewah, tapi menurutku nyaman. Kita bisa pelan-pelan bikin lebih bagus.”Dinda tersenyum tipis. “Aku suka, Han. Yang penting kita bareng-bareng.”Mereka mulai menurunkan barang-barang. Meski tidak banyak, tetap saja membuat halaman depan tampak penuh. Rayhan mengangkat koper besar, sementara Dinda mengatur kardus berisi perlengkapan bayi.Seorang ibu tetangga yang rumahnya berdampingan datang menghampiri. “Baru pindah ya? Selamat datang, saya Bu Ratna.”Dinda membalas dengan ramah. “Iya, Bu. Ka
Pagi itu udara terasa berbeda. Lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati yang penuh perpisahan. Ayam jantan baru saja berkokok ketika Dinda terbangun lebih awal. Ia memandangi bayi kecilnya yang masih terlelap, lalu menundukkan kepala, mencium keningnya dengan penuh cinta.Rayhan sudah sibuk di luar, memasukkan koper dan kardus ke dalam mobil yang akan membawa mereka menuju Surabaya. Suara pintu mobil dibuka-tutup terdengar berulang kali, menandakan betapa banyaknya barang yang harus dibawa.“Han, ini termos sama kotak susu jangan lupa,” ujar Dinda sambil keluar rumah dengan tangan penuh bawaan kecil.Rayhan menerima dan menaruhnya di kursi belakang. “Udah siap semua, tinggal kamu sama dedeknya aja yang belum masuk mobil.”Saat itu, beberapa tetangga kembali berdatangan. Meski sudah pamitan semalam, mereka masih ingin mengantar sampai di depan rumah. Ada yang membawa sarapan sederhana—nasi bungkus, roti, hingga air minum—untuk bekal di perjalanan.“Biar nggak ribet di ja