“Mama tenang saja. Kalau hanya mau menantu lulusan luar negeri, detik ini pun bisa aku dapatkan. Kalau perlu, seorang dokter, seperti yang dulu mama mau. Jadi berhenti mencampuri lagi kehidupanku!” tegas Prabu dengan suara dingin dan tatapan penuh kemarahan. Renata yang pandai berakting, terlalu sempurna di depan keluarganya.
“Kay, bawa saya ke kamar!” titah Prabu lagi dengan nada dingin.
“Baik, Pak!” Kay langsung memegang kursi roda dan mendorongnya.
“Tunggu, Prabu! Mama ke sini belum selesai bicara!” Gantari, Ibunda Prabu, masih berusaha menahan agar putranya tak meninggalkan dia begitu saja.
“Jangan hiraukan mereka, Kay!” Prabu tetap memerintahkan Kay untuk segera mengantarnya ke kamar.
Kay mendorong kursi roda itu dengan tergesa. Dia juga tak ingin terlibat lebih lama dengan permasalahan keluarga Prabu. Hatinya saja masih sesak dengan semua yang begitu mendadak menimpa dirinya. Tak mau lagi beban hidup Kay menjadi bertambah.
Setibanya di kamar, ponsel Prabu tampak sedang berdering. Dia segera mengambilnya dan mengangkat panggilan. Kay sendiri, merasa risih jika terlalu lama berada di kamar Prabu, dia segera beringsut hendak keluar. Namun, gerakkan tangan Prabu mengisyaratkan untuk menunggu.
“Yah gangguan lagi, kalau aku pingsan, gimana? Sudah laper banget ini,” gerutu Kay sambil duduk dan tanpa terasa dia membuka stereoform dan iseng menyuap potongan ayam bakar.
“Ya, Fred! Bagus kamu menelpon. Gimana yang dokter muda itu, yang lulusan Sydney?” Suara Prabu terdengar berbincang dengan seseorang.
“Ck, pake lupa. Kemarin kamu bilang, salah satu dokter lulusan Sydney yang melamar ke rumah sakit kita, itu ada yang bilang mau kamu kenalkan!” Prabu kembali menimpali. Lalu dia menjeda lagi mendengarkan lawan bicaranya dari seberang sana.
“Yah, ada insiden, ya? Kalau nunggu dia balik dari Surabaya terlalu lama lah. Gila saja mau sampe acara serratus harian dulu. Bisa carikan yang lain. Ada berapa dokter yang melamar ke rumah sakit kita?” Prabu terdengar putus asa.
“Eh, rumah sakit, kita? Jadi dia itu pemilik rumah sakit, ya?” Kay yang mencuri dengar, sibuk mencuri pandang pada lelaki berdada bidang yang tengah serius menelpon itu.
“Oke, carikan lagi! Tapi jangan bilang dulu kalau saya adalah pemilik rumah sakit Ainsley-grup. Saya ingin lihat dulu kepribadian aslinya.” Prabu menjeda lagi.
Kay membeliak, dan tersedak. Ainsley grup? Siapa yang tidak tahu rumah sakit ternama yang memiliki lebih dari empat puluh cabang yang menyebar di seluruh Indonesia itu. Juga ada puluhan klinik yang bernaung di bawah nama grup tersebut. Jadi, lelaki yang sudah dia celakai itu pemilik Ainsley Group, salah satu rumah sakit bonafit di tanah air incarannya selama ini. Setahu Kay, pemilik Ainsley grup juga memiliki perusahaan yang bergerak di alat-alat kesehatan yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia.
Orang tua Kay, orang tua Rey dan Marsha adalah supplier dari perusahaan alkes tersebut. Selama ini ketiga orang tua mereka saling support dan saling mendukung. Dari ketiga supplier yang menyupply Ainsley Grup, dulu, perusahaan ayah Kay yang paling berkembang dibanding perusahaan ayah Rey dan Marsha.
“Minum!” Suara Prabu terdengar. Kay menoleh dan lelaki itu sudah menyodorkan gelas berisi air putih miliknya pada Kay.
Kay tak berpikir panjang, dari pada dia mati tersedak, dia pun segera mengambil gelas itu dan meneguknya segera. Akhirnya, dia bisa bernapas lega. Diletakkannya lagi gelas itu ke atas nakas.
“Sudah nelponnya, Pak? Masih ada yang Bapak butuhkan?” tanya Kay tetap sopan.
“Tolong belikan saya makanan seperti yang punya kamu!” titahnya sambil melirik potongan ayam kay penuh minat.
“Eh, bukannya kata Bapak ART di sini masak, ya?” Kay menautkan alis, bingung.
“Ya, tapi saya sudah lama tak makan ayam bakar seperti itu!” ujar Prabu ketus. Dia seperti tak suka, Kay menentangnya.
“Baper bener jadi cowok!” gerutu Kay dalam dada, tetapi hanya sebatas dalam dada. Dia pun tersenyum dan langsung memesankan ayam bakar seperti miliknya untuk Prabu.
“Saya gak ada cash, bisa sebutkan nomor rekening kamu!” tutur Prabu dingin.
“Eh, gak perlu, Pak! Ini … saya traktir saja buat Bapak. Anggap saja permintaan maaf saya!” Kay menggeleng dan langsung beranjak berdiri.
“Nanti saya anter ke sini kalau sudah datang, ya! Saya makan dulu!” tutur Kay sambil berdiri, lalu berpamitan dan meninggalkan Prabu seorang diri di dalam kamar.
Di ruang tengah, ketiga perempuan itu masih mengobrol. Langkah Kay terhenti ketika Renata memanggilnya.
“Hey, Kay!”
“Ya Tuhaaan, apa lagi ini?”
“Iya, Bu?”
Kay berjalan lunglai, mendekat ke arah tiga perempuan itu.
“Apa kamu tahu sesuatu tentang perempuan yang suami saya sebutkan tadi?” Renata menatap Kay dengan tajam.
Kay menautkan alis dan berpikir, “Perempuan mana ya, Bu?”
“Itu tadi adik saya bilang, dia ada kenalan seorang dokter lulusan luar negeri. Kamu tahu siapa perempuannya?” Prita---kakak Prabu ikut menimpali.
Kay menggeleng dan tersenyum, “Saya baru sehari kerja di sini, Bu. Saya belum melihat seorang perempuan manapun yang bersama Pak Prabu.”
“Kalau kamu lihat perempuan itu, tolong ambil fotonya dan kirim ke saya! Nanti saya kasih kamu bonus!” tutur Renata dengan pasti.
“Dih, seenak hatinya!” gerutu Kay. Hanya saja pada kenyataannya dia hanya mengangguk dan tersenyum saja.
“Baik, Bu.” Kay ingin segera makan. Dia harus segera mengakhiri obrolan itu dengan mengiyakan.
“Tulis nomor ponsel saya!” titah Renata. Meskipun malas, Kay segera mengeluarkan gawainya dan mengetik di sana.
“Eh, ponselmu bagus! Dikasih Mas Prabu, ya?” tanya Renata menyipitkan mata. Dia menatap iphone yang dikeluarkan Kay. Meskipun bukan iphone keluaran terbaru, tetapi tetap saja benda itu memiliki harga lumayan.
“Tidak, Bu. Ini dibelikan orang tua saya. Masih cicilan.” Kay berbohong, malas beradu debat lebih lama.
Usai mencatat nomor Renata, Kay tergesa menuju kamar. Dia segera mencuci tangan dan bersiap untuk makan. Baru saja dia memegang sendok, notifikasi di ponselnya bergetar. Rupanya pesanan ayam bakar milik Prabu sudah sampai.
“Ya ampuuun! Tuhaaan dosa apa aku?!!!!” Kay menjerit tanpa suara. Dia segera keluar. Beruntung para perempuan itu sudah bubar. Dia berjalan tergesa ke pekarangan yang luas itu, lalu mengambil pesanan Prabu dan berjalan kembali, menuju kamar Prabu.
Kay mengetuk pintu kamar itu pelan, lalu mendorongnya. Hanya saja, Kay terperanjat ketika melihat apa yang ada di depan mata.