Kay tak lagi memikirkan sang majikan baru dan calon mantan istrinya yang entah masih ada di dalam kamar sebelah, entah tidak. Dia lekas membersihkan diri dan berganti pakaian. Tubuh dan jiwanya benar-benar terasa lelah sekarang. Semua kejadian yang berjalan hari ini begitu cepat, bahkan Kay sendiri tak bisa memprediksi jika kepulangannya ke Indonesia, membuat dunianya jungkir balik seperti ini.
Usai mandi, Kay merasa lebih baik. Meskipun rasa sesak tak sepenuhnya pergi dari hatinya. Namun, setidaknya, Kay merasa sedikit bisa menguasai diri sekarang. Rasa lapar pun mulai terasa. Kay baru sadar, sejak mendarat di Bandara Soekarno Hatta sampai sesore ini, perutnya belum tersentuh makanan.
Dia pun segera memesan makanan online. Sambil menunggu paket makanan onlinenya datang, Kay merebahkan tubuhnya sejenak. Membiarkan tubuh lelahnya beristirahat. Hanya saja, lagi-lagi Kay tak bisa mengendalikan, pikirannya kembali berlarian pada saat-saat indah ketika Rey menghadiri acara wisudanya dua tahun lalu. Rey datang menemani Ibu dan ayah Kay.
“Congrats, Sayang! Akhirnya mimpimu jadi dokter, kesampaian juga. Kakak bangga!” Rey memeluknya dan memberikan satu buket bunga. Satu kecupan mendarat pada dahi Kay yang memakai pakaian wisudanya.
“Makasih, Kak! Cuma maaf, ya, Kak. Aku masih belum bisa balik. Di sini beda sama di Indo. Masih harus ikut foundation training, Kak. Mau ‘kan nunggu aku dua tahun, lagi?” Kay merasa menjadi wanita paling bahagia saat itu. Akhirnya hari ini dia resmi menjadi seorang dokter setelah menyelesaikan lima tahun pendidikan undergraduate medicine-nya. Sebuah anggukkan kepala dari Rey, membuat Kay percaya, dua tahun terakhir ini, semua akan baik-baik saja.
Di sana program kedokterannya sedikit berbeda dengan di Indonesia. Di universitas of Edinburgh tempat Kay menimba ilmu, Kay harus mengikuti kurang lebih lima tahun dari program kedokteran yang berupa program gabungan sarjana dan profesi yang disebut MBChB (Bachelor of Medicine, Bachelor of Surgery) dan berakhir dengan wisuda.
Selama 5 tahun meraih MBChB Kay sudah mengikuti pembelajaran teori dan klinis sejak awal. Tidak ada pembagian preklinik dan profesi seperti di Indonesia. Setelah itu, Kay masih harus mengikuti foundation training atau mirip internship jika di Indonesia selama dua tahun lagi.
“Jaga diri, jaga hati! Dua tahun tak lama! Kakak akan jemput kamu kembali!” Rey mengusap lembut pipi Kay, membuat rona merah jambu mendominasi wajah putihnya.
Suara dering ponsel membuat Kay terlonjak kaget. Semua bayangan indah dengan Rey berhamburan tak karuan. Di layar ponsel, tampil nomor ojol yang menelponnya, pesanannya sudah datang. Kay beranjak bangun dan lekas berjalan keluar dengan tergesa.
Tubuh mungil Kay sudah dibalut celana di atas lutut dan kaos pas badan, berjalan lincah melewati ruang tengah yang lengang. Rambutnya diikat asal ke atas bergerak-gerak karena Kay berjalan cukup cepat. Wajah Kay yang tadi siang tampak lusuh dan kumal, tampak sekarang terlihat lebih segar. Wajah tanpa make up dengan kulit seputih pualam itu, benar-benar menyembunyikan usia Kay. Tak salah jika Prabu mengira, dia hanyalah gadis lulusan SMA yang sedang mencari pekerjaan.
Kay baru saja memberikan tips pada ojol yang mengantar makanannya, ketika sebuah mobil masuk dan melewatinya begitu saja. Kay berjalan cepat setelah menutup gerbang. Dua orang perempuan yang baru keluar dari mobil itu berdiri di teras sejenak dan menatapnya heran.
“Eh, kamu siapa?” tanya perempuan paruh baya itu dengan pandangan menilai.
“Saya, Kay!” Kay mengangguk dan memperkenalkan diri. Dia merasa seperti menjadi kurcaci dengan tubuh yang hanya setinggi serratus lima puluh senti meter itu. Dua orang perempuan yang baru datang pun posturnya tinggi-tinggi, seperti Prabu.
“Kay, siapa ya, Ma?” Salah satu yang wajahnya terlihat lebih muda melirik perempuan paruh baya yang tampak sedang memperhatikan Kay.
“Mana mama tahu. ART barunya Prabu kali.” Wajahnya terlihat tak peduli. Bahkan dia tak membalas senyum Kay sama sekali.
“Eh, Mama! Kak Prita!” Kay masih mematung ketika melihat melihat Renata datang memeluk dua orang perempuan itu bergantian. Mereka tampak berbincang akrab. Kay sendiri, memutuskan berjalan cepat menuju kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Renata itu memanggilnya.
“Kay! Tolong bawa suamiku keluar! Ada mama sama kakaknya!” titah Renata. Kalimat itu membuat kaki Kay berhenti melangkah.
“Iya, Bu!” Kay menoleh dan mengangguk saja. Dia mengurungkan untuk kembali ke kamar dan langsung menuju kamar Prabu. Dia masuk setelah dipersilakan sang empunya.
“Pak, istri Pak Prabu minta saya bawa bapak keluar! Ada mama sama kakaknya bapak, katanya.” Kay meletakkan plastik berisi ayam bakar di atas nakas.
Prabu yang sedang berbaring melirik malas. Namun alisnya bertaut melihat makanan yang Kay bawa.
“Kenapa kamu beli makan?” tanyanya dingin.
“Eh, ini, Pak. Dari siang saya belum makan, Pak. Saya lapar.” Kay menjawab santai.
Prabu mendengus sambil beringsut duduk.
“Di rumah ini ada ART. Setiap hari dia masak. Selama kamu tinggal di sini, kamu mendapat jatah makan gratis berapa kali pun kamu mau.” Dia menjelaskan dengan wajah yang tetap masam.
“Sumpek banget lihat wajahnya,” batin Kay. Namun bibirnya tetap tersenyum dan membantu Prabu beralih ke kursi roda dengan susah payah.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Kay menjawab diplomatis.
“Saya gak lama. Nanti kamu jangan pergi dulu. Bawa saya ke kamar lagi.” Prabu bicara pada Kay ketika tangan mungil Kay mulai mendorong kursi rodanya.
“Baik, Pak.” Kay mengangguk saja.
Obrolan ketiga perempuan yang ada di ruang tengah terhenti ketika Prabu datang. Wajah perempuan paruh baya itu menatap Prabu dengan tajam.
“Lihat, Prabu! Apa mama bilang. Renata itu keberuntungan kamu. Baru seminggu akta ceria kalian keluar, kamu sudah celaka! Karena itu, tolong pikirkan lagi perpisahan kalian. Mama gak mau kehilangan menantu sebaik Renata.”
Prabu bergeming, Kay melihat tak ada sedikitpun senyum pada bibir Prabu saat ini.
“Iya, Prabu! Renata itu berkelas, model papan atas, lulusan luar negeri, beretika tinggi dan pergaulannya luas. Kamu mau nyari istri yang kayak gimana lagi?” Kakak perempuan Prabu ikut menimpali.
Kay melihat, Renata tersenyum penuh kebahagiaan. Terlihat sekali ibunya Prabu dan kakak perempuannya berpihak padanya.
“Kakak kamu betul, Prabu! Mama harap, kalian bisa rujuk kembali!” Suara perempuan itu tegas dan terlihat mengintimidasi. Kay meringis, mengumpat dalam hati.
“Duh, mau makan, malah nonton drama. Pak Prabu juga diem aja, katanya sebentar,” gerutu Kay dalam hati.
“Kalau mama dan mbak Prita cuma mau bahas itu, sebaiknya kalian pulang! Dokter minta aku istirahat total. Kay, bawa saya kembali ke kamar!” Akhirnya, Kay merasa lega ketika Prabu membuka suara. Setitik senyum cerah terbit di bibir Kay. Dia bisa makan segera.
Namun, senyum itu tak berlangsung lama ketika perempuan paruh baya itu menahannya, “Tunggu! Mama belum kelar bicara. Mama gak mau tahu. Tak akan ada perceraian antara kamu dan Renata, titik. Dia perempuan paling sepadan buat kamu, Prabu!” Bahu Kay melorot lagi. Sepertinya dia harus menunggu hingga drama keluarga itu berhenti.
“Mama tenang saja. Kalau hanya mau menantu lulusan luar negeri, detik ini pun bisa aku dapatkan. Kalau perlu, seorang dokter, seperti yang dulu mama mau. Jadi berhenti mencampuri lagi kehidupanku!” tegas Prabu dengan suara dingin dan tatapan penuh kemarahan. Renata yang pandai berakting, terlalu sempurna di depan keluarganya.
Kay melirik ke arah sofa, memang tak nyaman tidur di sana. Lalu melirik ke arah tempat tidur, tampak Prabu sedang menata guling sebagai pembatas. “Ingat dalam perjanjian kita, tak ada kalimat harus tidur terpisah! Kita suami istri betulan secara negara dan agama, Kay!” jelas Prabu panjang lebar. Kay tampak berpikir, dia menatap kaki Prabu yang tertutup selimut. Jika dicerna secara logika, memang benar. Untuk berpindah dari kursi roda saja Prabu kepayahan. “Jadi gak usah berlebihan, nanti kalau tulangmu bengkok, siapa susah? Saya juga ‘kan?” Prabu bicara sambil mengedik santai.“Ngadi-ngadi banget alasannya, pake bawa-bawa tulang bengkok segala!” gerutu Kay dalam dada. Namun, dia pun membenarkan jika tidur di sofa itu tak nyaman.“Baiklah, saya coba malam ini! Kalau hmmm mas macam-macam, saya pindah lagi ke sofa.” Kay akhirnya setuju. Dia pun memang cukup pegal meringkuk di sofa dan merasa tak nyaman.“Yes!” Prabu bersorak riang di dalam hatinya. Sepertinya kepura-puraannya memang s
“Awas, ya! Aku akan kasih tahu mama! Kamu gak bisa lakuin ini ke aku seenaknya, Mas!” Renata menggeleng dan memutar tubuhnya. Lalu debuman pintu mengakhiri perdebatan mereka. Kay membuang napas kasar. Pikirannya yang masih terfokus pada Renata membuatnya lupa, jika Prabu masih merengkuhnya. Hingga suara bariton yang berbisik begitu dekat, membuatnya terperanjat.“Sekarang pengganggu itu sudah pergi, apa kita jadi beristirahat istriku, pas sekali diluar sedang hujan hmmm?” bisik Prabu dengan seringai jahilnya. Hanya saja romantisme mereka tak bertahan lama, suara tangisan Jehan membuat keduanya terhenyak. Hampir Prabu lupa kalau dia masih berpura-pura lumpuh. Kay yang panik langsung berlari memburu pintu, tetapi terlambat, debuman pintu luar sudah menenggelamkan tangisan Jehan berbaur dengan suara hujan. Kay berlari mengejarnya, tetapi kalah cepat, Renata sudah membawa Jehan masuk ke dalam mobilnya dan meluncur begitu saja. “Jehan!” Kay berteriak, reflek dia berlari mengejar, menemb
“Pak, awasss!” Kay panik, setengah berlari memburu Prabu, membiarkan pintu tertutup dengan sendirinya dengan menyisakkan celah kecil.“Kalau mau apa-apa, kan bisa minta bantu ke saya, Pak!” tutur Kay sambil susah payah membangunkan Prabu. “Kamunya ‘kan dari tadi masih cemberut, Kay!” tutur Prabu ringan. Dia sengaja tak membantu meringankan beban Kay, tetapi dia berusaha kembali terjatuh dan kali ini usahanya berhasil. Tubuh mungil Kay terjatuh tepat di tubuhnya. “Ya ampuuun, Kay! Kamu mau bunuh saya, ya! Kamu berat juga, ya!” oceh Prabu dengan ketus, padahal hatinya berbunga senang. Aroma tubuh Kay yang wangi tercium menenangkan. Wajah Kay memerah, dada bidang itu kini terpangkas tanpa jarak. Jarak wajahnya dengan Prabu hanya tersisa beberapa senti saja, sepasang iris biru itu seperti menghipnotisnya dan membuat Kay seperti kehilangan akal sehat. Dia seolah tertarik ke dalam pesona yang memukau hingga tak sadar ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dari luar. “Perempuan lont*! Enya
Kay menghela napas panjang sambil berdiri di depan kamar Prabu, yang kini akan ditempatinya. Meskipun memang hanya kamar tamu, tetapi cukup luas dan nyaman. Di tangan kirinya ada koper berisi pakaian, sedangkan tangan kanannya menenteng tas berisi make up dan perlengkapan hariannya. Tas laptop disampirkan di bahunya.“Duh, ribet banget …,” gerutu Kay sambil mendorong daun pintu, lalu melengkah masuk melewati Prabu yang sedang duduk santai di atas kursi rodanya sambil menikmati secangkir kopi, sesekali dia melirik layar gawainya yang terbuka. Kay meletakkan semua barang-barang itu di pojok ruangan, lalu kembali ke kamarnya yang terletak bersebelahan. Begitulah sore itu menghiasi kesibukkan Kay. Sepulangnya dari rumah Gantari, Prabu memintanya untuk segera berpindah kamar. Jehan, berdiri di pintu kamar dengan mata berbinar penuh semangat. Seorang mami baru yang bisa mengajaknya bermain kapan saja, akan segera menjadi miliknya, itu yang ada dalam pikiran Jehan. Gadis kecil itu tampak
Hening kembali memenuhi ruangan, Gantari sibuk dengan pikirannya dan segumpal rasa kecewa yang hebat untuk Renata. Meskipun, dia memang akan mengecek secara langsung dengan orang IT kepercayaanya. Sementara itu, Prabu dibantu oleh ART di sana, menaiki lift menuju ke lantai dua, di mana Jehan dan Kay sedang bermain bersama. **** Menjelang sore, Renata baru saja pulang dari syuting ketika mobilnya berhenti di depan rumah sang mantan mertua. Sepasang netranya melebar ketika melihat mobil Prabu terparkir di sana. Sejak dirinya merasa, Prabu akan merujuknya, Renata kerap sekali menginap di kediaman Gantari. Tentunya hal itu untuk menumbuhkan ikatan batin mereka agar makin kuat. “Mas Prabu, jangan-jangan dia kangen aku.”Senyum secerah mentari pagi terbit dari bibir Renata. Dia segera membuka pintu setelah menekan kode akses digital pada pintu utama. Pintu itu pun terbuka. Ruang tengah sepi, tak terlihat satu orang pun yang ada di sana. Lekas Renata menaiki lift yang ada di pojok ruangan
“Mama lihatlah file yang aku kirim. Setelah itu, mungkin sudut pandang Mama tentang Renata akan berubah.”“File?”Gantari mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia menggulir layar dan mencari pesan masuk dari Prabu. File apa sebenarnya yang Prabu kirimkan?Dengan gerakan hati-hati, ia membuka pesan dari Prabu. Jarinya menggulir layar, mencari tahu apa yang dimaksud anaknya. Ketika ia menemukan lampiran video, jari-jarinya berhenti sejenak, ragu untuk membuka.“Video apa ini?” gumamnya lirih. Perlahan jemarinya mengetuk video tersebut dengan pikiran penuh tanya.Video pertama dimulai. Gambar dari CCTV menampilkan lobi hotel mewah dengan karpet merah tua dan chandelier besar menggantung di tengah ruangan. Di sana terlihat Renata, wanita muda yang selama ini ia anggap menantu berkelas dan terbaiknya, menggandeng seorang lelaki muda. Mereka berbicara singkat dan terlihat akrab, lalu berjalan bersama menuju lift. Gantari tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar. Napasnya mul