Malam menjelang dan entah kenapa hari itu mati lampu di komplek rumah kami. Tetangga belum menyadari bahwa suamiku sudah membawa istri barunya, ditambah si jalang itu tidak keluar dari rumah.
Aku duduk dalam kegelapan, meratapi hati yang kian mengkerut, cintabyang dulu berkembang makin menyusut, dan bayi yang kini ada dalam kandunganku masa depannya belum pasti. Haruskah dia lahir di tengah konflik pernikahanku dengan Mas Akbar? Haruskah dia memiliki dua ibu dalam satu rumah? Kulirik ke arah ruang tamu, sementara pintu kamar sedikit terbuka suasana hening, meski dua manusia tak tahu malu itu duduk berdekatan. Mungkin, sepanjang hari mereka tidak memakan apapun, sementara aku sudah memesan makanan dari go-jek dan melahapnya di kamar sendirian. Nampak mereka hanya duduk diam di sofa ruang tengah. Sebenarnya aku tidak akan marah namun karena lama kelamaan posisi mereka nampak dekat dan wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu mas Akbar, hatiku menjadi panas. "Aku ingin bicara!" Mereka terkesan tak kaget dan langsung menjaga posisinya. "Iya, ada apa?" "Dengar Lisa, uang yang dipakai untuk melaksanakan acara pernikahan denganmu adalah uang tabungan untuk bayiku, jadi aku tidak mau tahu, kau harus menggantinya dalam 2 hari kedepan, atau aku akan membawa masalah ini ke ranah hukum." "Ya ampun, sabar dong jangan kayak gitu," ujar Mas Akbar. "Kita lagi gelap-gelapan dan masih bingung." "Tak akan bingung jika kau memutuskan untuk tidak menikahinya, dasar sok tampan, hidung belang!" "Aku tahu, aku salah, tapi karena ini sudah terjadi, tolong biarkan aku berfikir dan mengatur jalan terbaik." "Caranya bagaimana? Apa kau ingin menggilir kami, atau kau ingin kami bergabung denganmu di ranjang yang sama?" "Bukan tentang itu, ada dua wanita di rumah ini dan kedua-duanya butuh perhatian, ada dua kasur yang harus dibagi, ada 2 kursi yang harus diberi makan, menurutmu bagaimana? Aku juga harus kerja untuk mencukupi kalian, dan jika kau bersikap seperti ini, aku tak akan aman meninggalkan Lisa berdua denganmu." "Lalu, kalo sudah tahu ada dua wanita, Kenapa sikapmu seolah-olah bahwa kau adalah pemilik rumah, dan hanya ada kalian saja di sini? Kalian berduaan dan aku sendiri?!" "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, di sisi lain, aku harus menenangkan perasaanku sendiri, sementara sepanjang waktu kau hanya bisa marah dan berteriak. Aku sudah menikah dan harusnya terima saja apa yang terjadi, dalam arti kita akan baik baik saja tanpa konflik," ujarnya pelan sambil menghela napas, dia mengacak rambut dan menyandarkan kepalanya di kursi. "Begini saja, kalo Mas memang merasa jengah, Mas bisa ceraikan aku," jawabku bangkit dan masuk ke dalam kamar, selagi melangkah, aku melihat Lisa tersenyum sambil menutup mulutnya. "Tapi, tentu saja aku bohong, aku tak akan kalah dengan lon** tak berpengalaman macam dia!" Aku berlalu sambil tersenyum sinis, tunggu saja, aku akan memberinya pelajaran. "Astaghfirullah, ucapanmu!" "Kau juga lelaki murahan yang tak bisa mengendalikan diri, apa ini karena aku terlambat punya anak hingga kau kawin lagi? Sekarang lihat, aku hamil, kau akan apa?" Aku berkacak pinggang dan hendak masuk ke kamar lagi. "Oh,ya, pergilah besok bekerja, kau harus itu punya banyak uang untuk menerima kenyataan. Aku sedang hamil, butuh perawatan dan vitamin, selirmu yang itu butuh skincare, atau mungkin orang tuanya ingin mengadakan pesta lagi, kau harus siap! Kasihan sekali kamu," ejekku menutup pintu. Tak sudi kusebut nama wanita itu di bibirku. Aku tahu mas Akbar murka tapi tak akan kubiarkan mereka tenang berada di tempat ini hingga memutuskan angkat kaki. Aku adalah ratu di rumah sendiri tak akan kubiarkan mereka bertahta dan menginjak kepalaku. ** Esok hari, Suasana rumah hening sekali. Aku yang baru bangun lantas menyusuri tiap sudut tempat ini namun tak menemukan siapapun. Adalah hal yang membuatku kesal karena rumah ditinggal begitu saja dalam keadaan berantakan, bekas mereka tertidur di sofa semalaman masih tertinggal dan tidak dibereskan. Ada bekas bungkus makanan dan baju berserakan. "Mengapa sikap mereka seolah aku akan membereskannya? Mengapa mereka merasa bahwa aku akan turun tangan membersikan seakan aku adalah pembantu dalam rumah sendiri? Baiklah?!" Kupungut semua itu lalu memasukkannya ke dalam satu plastik besar, semua pakaian wanita yang berserakan di kamar mandi juga kumasukkan. Kubawa plastik itu ke belakang dan kusiram minyak tanah lalu kubakar. Mas Akbar yang baru kembali kaget menyaksikan ada api membumbung tinggi sementara ada aku bediri di dekatnya. Mas akbar syok dan datang berlari padaku. "Apa yang kamu lakukan, jangan bertindak bodoh?" ucapnya terengah-engah. "Apa yang akan aku lakukan emangnya?" Aku mengernyit padanya. "Aku hanya bakar sampah." "Oh, kupikir kau akan bunuh diri," balasnya lirih. "Bunuh diri demi apa? demi kamu? sehebat apa kamu hingga aku mau mengorbankan nyawa?" "Ah, sudahlah, ayo masuk." Pria itu menggandeng tanganku. Mendapati pakaiannya kubakar wanita itu histeris dan panik, dia memanggil Mas Akbar dan menanyai namun Mas Akbar tak tahu apa apa. Dia terus berputar-putar mencari piyama dan boneka kesayangannya. Dasar kekanak-kanakan! Wanita itu langsung menjerit ketika melihat potingan pakaian dan benda benda kesayangannya ada di dalam kobaran api. "Bajuku, headsetku, novel favoritku, ya ampun .. Sayang ... Tolong aku ..." Dia berteriak mengais menggunakan batang kayu, berharap barangnya belum sepenuhnya hangus tapi sayang, terlambat sudah. "Kamu lancang ya Mbak!" tudingnya menangis. "Aku masih membakar baju dan benda bawaanmu, belum menyulut api ke rambutmu dan membuatmu hangus juga. Kau ingin aku mencobanya!?" "Kamu pikir bisa melakukannya, kau pikir tidak ada hukum?!" Balasnya sengit. "Persetan dengan hukum asal puas hatiku, kau mau beritahu ibumu, pergi beritahu sana, aku tak takut!" sentakku sambil tertawa jahat. Dia langsung menelan ludah mendengarnya. Sementara Mas Akbar langsung jatuh terduduk sambil meremas rambutnya.Sekembalinya Mas Azlam dari kantor polisi, dia menemuiku, membawakan makanan dan mendaratkan kecupan hangat di kening."Gimana Sofi, masih sakit?""Iya, Mas, tapi aku udah dikasih penghilang nyeri," balasku cepat."Sekarang makan ya," bujuknya."Udah makan sih tadi, btw, gimana di kantor polisi tadi?""Lancar. Aku udah kasih keterangan lengkap, dan pastikan Akbar dihukum karena perbuatannya.""Dia memang bersalah, tapi aku berniat tidak memperpanjang masalah, Mas. Kita baru saja menikah, Aku punya bayi yang masih kecil di mana dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian, kamu juga sibuk dengan kerjaanmu, kita tak akan punya waktu untuk bolak balik mengurusi perkara," ucapku pelan."Jadi kau tidak setuju pria itu ditahan?" Mas Azlam terbelalak padaku "Bukan begitu ...""Jadi, kau mau bebaskan dia, penjahat yang sudah menusukmu disamping memberi luka berkepanjangan sejak dulu?""Aku setuju dia dihukum, tapi ada baiknya serahkan kasusnya ke polisi, biar mereka yang tangani.""Bagaimana
Ada apa dengan Mantan suamiku, aku tak paham mengapa dia menusuk bahu ini dengan pusat apa dia ingin membunuh atau bagaimana? aku sungguh tak mengerti mengapa dia melakukannya. Acara pernikahan yang tadinya akan bahagia dan sakral menjadi gaduh dan penuh teriakan panik. Mas Azlam datang setelah diteriaki banyak orang untuk menyelamatkanku, tentu ekspresinya langsung histeris melihatku bersimbah darah. Tak peduli seberapa indah pakaian yang dikenakannya, pria itu langsung menghampiriku dan menggendong diri ini ke mobilnya."Siapa saja, panggilkan polisi! Sofia, siapa yang lakukan ini," ucapnya panik sambil menggotong tubuhku.Kembang goyang dan melati berguguran satu persatu dari sanggulku, benda itu terlepas dan siapa yang peduli ... nyawa lebih penting sekarang. "Baik, Mas," ucap adik dari calon suamiku itu dengan panik dan gerakan cepat."Suruh polisi untuk menemukan mantan suami Sofia, dasar biadab pria itu," ujar Mas Azlam dengan napas terengah-engah karena marah." ... bertahan
Rasanya ada sedikit rasa tak percaya bahwa hari ini adalah hari bahagia. Aku tak menyangka, bahwa pada pernikahan kedua justru momennya terasa sangat berbeda, aku merasakan energi baik dan optimisme yang cerah akan masa depanku.Sejak subuh, tim make up artist datang dan meriasku di depan kaca yang diberi lampu, rasanya tak percaya bahwa waita yang sudah disulap begitu cantik dalam balutan kebaya ungu itu adalah aku."Bagaimana riasannya, Mbak, Mbak suka?" tanya periasnya dengan ramah."Iya, saya puas sekali, saya seolah telah menjadi orang dan kepribadian yang baru," jawabku tersenyum puas."Saya yakin calon suami Mbak akan terpesona, hingga lupa bagaimana cara mengucapkan kabul," candanya sambil meletakkan kerudung pengantin di atas kembang goyang yang menghiasi sanggul."Selalu ada keharuan dan semangat ketika melihat mata calon mempela berbinar bahagia," ucap wanita yang sudah cukup terkenal dengan riasannya di kota ini."Terima kasih ya, sudah mau datang dan membantu saya," b
Kata orang, siapa saja yang akan menghadapi hari bahagia, mereka pasti akan diliputi banyak halangan dan rintangan. Jujur aku berdebar, sedikit gelisah dan takut, bahwa melepas status janda ini akan kembali membawa luka yang sama seperti saat aku bersama Mas Akbar.Kupeluk bayi yang ada di dalam gendonganku, sejak kehadirannya aku sering mencurahkan isi hati dan berbicara dengan putriku Sabrina. Bayi cantik yang seakan mengerti kegelisahan ibunya kadang memberikan respon dengan sentuhan tangan kadang juga serupa senyuman yang menguatkan."Mama mau membuka hati dan mencoba menikah kembali apakah Sabrina membolehkan itu terjadi?" tanyaku sambil memeluk bayi itu dan mencoba menidurkannya."Anakmu pasti setuju, Ibu yakin bahwa dia bahagia melihat mamanya bahagia," timpal ibu yang tiba-tiba datang membawakan segelas susu dan meletakkannya di meja kamarku."Aku gundah Bu...""Yang membuat dirimu gundah adalah pendekatanmu dengan Azlam atau masa lalumu yang terus menakut-nakuti?""Sebenarnya
Dari kejauhan matahari mulai menunjukkan sinarnya. Kupandangi cahaya jingga cantik di ufuk timur dari jendela kamar sambil merenungi kejadian selama beberapa hari belakangan.Semua itu hanya tentang satu orang.Mungkin aku wanita terkejam karena hanya memikirkan diri sendiri dan tidak berusaha untuk menunjukkan betapa aku ingin bersama dengan Irfan. Perasaan ini merasa bersalah dan sejauh yang kupahami, selama ini akulah yang tidak memperjuangkan cinta. Kalimat di bibir ingin bersama, namun aku hanya pasrah terhadap penolakan keluarganya. Aku hanya duduk berpangku tangan sementara hanya dia sendiri yang berusaha untuk segalanya. Ya, hanya dia. Rasanya ini tidak adil, tiba-tiba aku memilih pria lain yang ternyata lebih mapan darinya tapi beginilah dunia wanita, meski kadang kami mementingkan perasaan, wanita juga harus realistis sewaktu-waktu. Aku memilih Mas Azlam dengan segala pertimbangan yang sudah ku pikirkan matang-matang. Aku tahu Irfan terluka, dia sedih dan kecewa karena
"Assalamualaikum ..." Keluarga Budhe Mega sudah sampai, mereka turun dari mobil, mengucapkan salam dan kedua orang tuaku menyambut dengan wajah berbinar. "Assalamualaikum, Sofia," ucap Mas Azlam mengulurkan tangan, agak ragu diri ini menyambut, gemetar telapak tanganku dan berdebar perasaan di dalam dada. Entah kenapa aku sangat malu padanya."Walaikum salam Mas," balasku. Hati ini sudah tak karuan canggungnya. Sempat kumarahi diri sendiri mengapa aku harus bersikap sekaku ini, aku menyambut tangan ibu dan adik Mas azlam dengan ramah tapi tatapan mataku terus terarah padanya.Kuperhatikan kali ini penampilannya baru, rambutnya lebih rapi, wajahnya bersih dari bulu-bulu halus, dia terlihat makin tampan dan jujur mungkin, aku terpesona."Mana bayinya, Tante?" tanya Mas Azlam pada ibu."Sebentar, Tante ambil ya," ucap ibu sambil bersemangat menuju kamarku. Tak lama kemudian ibu datang membawa anakku dengan kebanggaan yang terpancar jelas di roman wajahnya."Ini dia, Sabrina, dia cucuku