Share

6. uang

Penulis: Ria Abdullah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-31 07:53:35

"Uangku ... Mana uangku ...."

Aku seolah mendengar kembali suara sendiri, tapi lamat-lamat suara itu samar dan tenggelam.

Kucoba membuka mata, meski masih berat, kulirik di sisi pembaringan, di mana aku terbaring lemah. Ada Mas Akbar terlihat menatapku dengan penuh cemas.

"Kamu udah baikan?"

Aku tak menjawab, andai bisa aku tak mau berjumpa dengannya. Hanya kuhela napas pelan lalu membuang muka darinya.

"Dengar Sayang, aku akan mengembalikan uangmu, dalam waktu dekat," bisiknya pelan.

"Kapan, kau berbohong lagi, Mas," desisku.

"Secepatnya, Sayang."

"Menjauhlah!" Aku menepis dia yang ingin menyentuhku, Sakit hatiku belum terobati terlebih ketika mengingat bagaimanakah caranya dia di tenda kemarin. Aku ingin kabur tapi aku malu pada kedua orang tuaku karena sudah mati matian mempertahankan dan meyakinkan mereka untuk merestui pernikahan kami.

"Ini tidak akan lama aku berjanji padamu akan membawa pergi Lisa dari rumah ini."

"Lalu, apa yang kau tunggu, Mas?"

"Aku menunggu semua masalah yang bisa mereda, jangan khawatir aku akan menjamin kebahagiaan untuk kalian berdua."

"Hah, aku justru berpikir untuk menyerah, berpisah untuk selamanya sehingga kita tidak perlu saling menyakiti lagi."

"Jangan berkata begitu," ucapnya pelan.

"Lalu, apa yang harus aku katakan? Kamu sudah terlanjur menikahi perempuan itu, apa harus aku lakukan, Mas? Hatiku jadi kehilangan rasa, ditingkahi oleh sakit yang menusuk. Sudahlah, ganti uangku dan pergilah dari sini," ucapku membuang muka.

"Aku ingin kita ...."

"Stop, Mas! Menjauhlah dariku!"

Akhirnya, karena tak memiliki kesempatan untuk bicara dia pun menjauh.

Tak lama kemudian kudengar panggilan wanita itu menggema. Andai memanggik biasa saja mungkin aku tak akan terlalu marah, tapi gaya bicara dan nadanya membuatku seolah diolok-olok.

"Mas ... Berasnya di mana ya sayang. Aku mau masak nasi," ucapnya.

"Ada di dalam lemari, Lis," jawab Mas Akbar yang mungkin sedang sibuk di meja kerjanya. Mas Akbar adalah pengusaha percetakan dan penerima design grafis sehingga pekerjaannya fleksibel, bisa dilakukan di mana saja.

"Aku gak ketemu, Sayang, cariin dong ...."

"Ya ampun kamu, bentar ya," ucap suamiku yang terdengar beranjak.

Rasanya aku ingin bangun dan mencegah wanita itu menyentuh peralatan dapurku, tapi aku lelah, konflik ini akan semakin berkepanjangan. Khawatir bayiku akan stress hingga aku akan mengalami keguguran maka aku memutuskan untuk coba memenangkan diri saja.

Kembali, ketika mataku hendak terpejam tiba-tiba suara wanita itu bergema memanggil dan memanggil. Lama-lama Aku bisa gila karena perbuatannya, ditambah sulit sekali untuk membiasakan diri pada suasana baru.

Ketenanganku telah direnggut oleh suara wanita yang sudah resmi menjadi maduku itu, dia mengganggu waktu istirahatku.

"Mas ...."

"Hei, wanita obralan, kau bisa tidak bicara pelan-pelan, ada orang lain di rumah ini yang butuh istirahat, kau pikir ini rumah pribadi ayahmu? Dasar bar-bar!"

Aku keluar ke dapur dan mengambil beras lalu menghempaskan karungnya ke atas meja.

"Makanlah, dasar tidak tahu malu," desisku berlalu sembari menabrak tubuhnya.

"Ya, ampun, mulut apa sepedas itu," gumamnya pelan.

"Mas Akbar!" Aku langsung saja memanggil suaminya. Ya, dia yang berstatus suamiku juga.

"Iya," jawab Mas Akbar ragu.

"Katakan padanya, jika tidak bisa mengendalikan lidah, maka aku akan melumuri cabai di wajahnya," balasku sambil masuk ke dalam kamar dan membanting pintu.

Dari itu suasana rumah mendadak hening, tidak ada panggilan atau pertanyaan lagi.

Bagus!

Bagus untuk sementara, namun tidak bisa dibiarkan terjadi begitu lama karena aku harus mencari cara untuk mengusirnya. Aku harus mencari cara memastikan dia berinisiatif untuk angkat kaki sendiri dari tempat ini.

**

"Mas Akbar makan yuk," ucap Lisa.

"Bentar aku panggil Sofia dulu," balas Mas Akbar.

Suamiku mengetuk pintu kamar dan bersiap membuka mulutnya untuk mengajak makan tapi aku langsung mencegahnya.

"Kamu tahu sendiri bahwa aku tidak berminat Satu meja dengan kalian, habiskan saja makanannya karena aku akan memesan makanan di luar."

"Ah, jangan begitu, aku minta tolong."

"Kamu pikir aku adalah orang yang paling tidak sabar menunggu untuk satu meja dengan madu, kamu pikir aku bisa pura pura bahagia?"

Dia membisu, membungkam lalu menutup pintu lagi. Perlahan aku berjingkat untuk negintip sejauh mana perasaan Mas Akbar, apa dia akan makan tanpaku atau malah menunggu. Dari balik celah pintu dia terlihat menggeleng pada istrinya.

"Ya udah, kalo Mas belum mau makan, aku juga tak akan makan," jawabnya setengah kecewa.

Dalam hati aku merutuk pada dua manusia bodoh itu.

**

Sore menjelang, aku merasa lapar dan haus, mungkin bayiku juga merasakan hal yang sama, oleh karena itulah aku keluar dari kamar dan pergi ke dapur.

Di atas meja makan, ada telur dadar dan mie kuah yang sudah bengkak karena tidak dimakan, aku tertawa jijik melihatnya karena dari rangkaian sikap berlebihan Lisa di pagi tadi, ternyata masakannya hanya mie kuah.

Kubuka lemari dan tak menemukan sisa makanan di sana, begitu pun kulkas. Ya, aku lupa berbelanja sejak kemarin.

"Apa-apaan ini, kenapa menghamburkan makanan sebanyak ini!" Aku meradang pura pura marah.

"Kami belum makan," ucap Mas Akbar.

"Apa yang kau tunggu, lagipula, bagaimana mungkin seorang pria yang sudah menyakiti istrinya yang hamil bisa menelan makanan dengan santainya," ucapku. Sengaja kukatakan itu agar mereka berdua semakin malu untuk makan.

"Apa-apaan kamu Mbak, kok kamu terus menyinggung kami sih?"

Wanita itu protes.

"Oh jadi kau tersinggung? kalau memang kau tersinggung, kenapa harus menjerumuskan diri? Kamu gak tahu apa apa atau memang kegatalan?"

"Sudah, cukup! Kalau kamu memang tidak ridho kami makan di rumah ini maka kami tidak akan makan."

"Kenapa kau begitu lemah, bukankah asyik sekali melayangkan tamparan dihadapan semua orang kepadaku? Kenapa kau seolah ingin menebus kesalahanmu, kalau sudah berdosa, ya berdosa saja sekalian!" Aku melempar mie dan makanan di atas meja ke atas wastafel sedang wanita tadi langsung menangis dan lari ke kamarnya.

Ah, ratu drama.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERPAKSA BERBAGI CINTA   53

    Sekembalinya Mas Azlam dari kantor polisi, dia menemuiku, membawakan makanan dan mendaratkan kecupan hangat di kening."Gimana Sofi, masih sakit?""Iya, Mas, tapi aku udah dikasih penghilang nyeri," balasku cepat."Sekarang makan ya," bujuknya."Udah makan sih tadi, btw, gimana di kantor polisi tadi?""Lancar. Aku udah kasih keterangan lengkap, dan pastikan Akbar dihukum karena perbuatannya.""Dia memang bersalah, tapi aku berniat tidak memperpanjang masalah, Mas. Kita baru saja menikah, Aku punya bayi yang masih kecil di mana dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian, kamu juga sibuk dengan kerjaanmu, kita tak akan punya waktu untuk bolak balik mengurusi perkara," ucapku pelan."Jadi kau tidak setuju pria itu ditahan?" Mas Azlam terbelalak padaku "Bukan begitu ...""Jadi, kau mau bebaskan dia, penjahat yang sudah menusukmu disamping memberi luka berkepanjangan sejak dulu?""Aku setuju dia dihukum, tapi ada baiknya serahkan kasusnya ke polisi, biar mereka yang tangani.""Bagaimana

  • TERPAKSA BERBAGI CINTA   52

    Ada apa dengan Mantan suamiku, aku tak paham mengapa dia menusuk bahu ini dengan pusat apa dia ingin membunuh atau bagaimana? aku sungguh tak mengerti mengapa dia melakukannya. Acara pernikahan yang tadinya akan bahagia dan sakral menjadi gaduh dan penuh teriakan panik. Mas Azlam datang setelah diteriaki banyak orang untuk menyelamatkanku, tentu ekspresinya langsung histeris melihatku bersimbah darah. Tak peduli seberapa indah pakaian yang dikenakannya, pria itu langsung menghampiriku dan menggendong diri ini ke mobilnya."Siapa saja, panggilkan polisi! Sofia, siapa yang lakukan ini," ucapnya panik sambil menggotong tubuhku.Kembang goyang dan melati berguguran satu persatu dari sanggulku, benda itu terlepas dan siapa yang peduli ... nyawa lebih penting sekarang. "Baik, Mas," ucap adik dari calon suamiku itu dengan panik dan gerakan cepat."Suruh polisi untuk menemukan mantan suami Sofia, dasar biadab pria itu," ujar Mas Azlam dengan napas terengah-engah karena marah." ... bertahan

  • TERPAKSA BERBAGI CINTA   51

    Rasanya ada sedikit rasa tak percaya bahwa hari ini adalah hari bahagia. Aku tak menyangka, bahwa pada pernikahan kedua justru momennya terasa sangat berbeda, aku merasakan energi baik dan optimisme yang cerah akan masa depanku.Sejak subuh, tim make up artist datang dan meriasku di depan kaca yang diberi lampu, rasanya tak percaya bahwa waita yang sudah disulap begitu cantik dalam balutan kebaya ungu itu adalah aku."Bagaimana riasannya, Mbak, Mbak suka?" tanya periasnya dengan ramah."Iya, saya puas sekali, saya seolah telah menjadi orang dan kepribadian yang baru," jawabku tersenyum puas."Saya yakin calon suami Mbak akan terpesona, hingga lupa bagaimana cara mengucapkan kabul," candanya sambil meletakkan kerudung pengantin di atas kembang goyang yang menghiasi sanggul."Selalu ada keharuan dan semangat ketika melihat mata calon mempela berbinar bahagia," ucap wanita yang sudah cukup terkenal dengan riasannya di kota ini."Terima kasih ya, sudah mau datang dan membantu saya," b

  • TERPAKSA BERBAGI CINTA   50

    Kata orang, siapa saja yang akan menghadapi hari bahagia, mereka pasti akan diliputi banyak halangan dan rintangan. Jujur aku berdebar, sedikit gelisah dan takut, bahwa melepas status janda ini akan kembali membawa luka yang sama seperti saat aku bersama Mas Akbar.Kupeluk bayi yang ada di dalam gendonganku, sejak kehadirannya aku sering mencurahkan isi hati dan berbicara dengan putriku Sabrina. Bayi cantik yang seakan mengerti kegelisahan ibunya kadang memberikan respon dengan sentuhan tangan kadang juga serupa senyuman yang menguatkan."Mama mau membuka hati dan mencoba menikah kembali apakah Sabrina membolehkan itu terjadi?" tanyaku sambil memeluk bayi itu dan mencoba menidurkannya."Anakmu pasti setuju, Ibu yakin bahwa dia bahagia melihat mamanya bahagia," timpal ibu yang tiba-tiba datang membawakan segelas susu dan meletakkannya di meja kamarku."Aku gundah Bu...""Yang membuat dirimu gundah adalah pendekatanmu dengan Azlam atau masa lalumu yang terus menakut-nakuti?""Sebenarnya

  • TERPAKSA BERBAGI CINTA   49

    Dari kejauhan matahari mulai menunjukkan sinarnya. Kupandangi cahaya jingga cantik di ufuk timur dari jendela kamar sambil merenungi kejadian selama beberapa hari belakangan.Semua itu hanya tentang satu orang.Mungkin aku wanita terkejam karena hanya memikirkan diri sendiri dan tidak berusaha untuk menunjukkan betapa aku ingin bersama dengan Irfan. Perasaan ini merasa bersalah dan sejauh yang kupahami, selama ini akulah yang tidak memperjuangkan cinta. Kalimat di bibir ingin bersama, namun aku hanya pasrah terhadap penolakan keluarganya. Aku hanya duduk berpangku tangan sementara hanya dia sendiri yang berusaha untuk segalanya. Ya, hanya dia. Rasanya ini tidak adil, tiba-tiba aku memilih pria lain yang ternyata lebih mapan darinya tapi beginilah dunia wanita, meski kadang kami mementingkan perasaan, wanita juga harus realistis sewaktu-waktu. Aku memilih Mas Azlam dengan segala pertimbangan yang sudah ku pikirkan matang-matang. Aku tahu Irfan terluka, dia sedih dan kecewa karena

  • TERPAKSA BERBAGI CINTA   48

    "Assalamualaikum ..." Keluarga Budhe Mega sudah sampai, mereka turun dari mobil, mengucapkan salam dan kedua orang tuaku menyambut dengan wajah berbinar. "Assalamualaikum, Sofia," ucap Mas Azlam mengulurkan tangan, agak ragu diri ini menyambut, gemetar telapak tanganku dan berdebar perasaan di dalam dada. Entah kenapa aku sangat malu padanya."Walaikum salam Mas," balasku. Hati ini sudah tak karuan canggungnya. Sempat kumarahi diri sendiri mengapa aku harus bersikap sekaku ini, aku menyambut tangan ibu dan adik Mas azlam dengan ramah tapi tatapan mataku terus terarah padanya.Kuperhatikan kali ini penampilannya baru, rambutnya lebih rapi, wajahnya bersih dari bulu-bulu halus, dia terlihat makin tampan dan jujur mungkin, aku terpesona."Mana bayinya, Tante?" tanya Mas Azlam pada ibu."Sebentar, Tante ambil ya," ucap ibu sambil bersemangat menuju kamarku. Tak lama kemudian ibu datang membawa anakku dengan kebanggaan yang terpancar jelas di roman wajahnya."Ini dia, Sabrina, dia cucuku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status