Brianna Izara, gadis malang yang hidup menderita dari kecil, tiba-tiba dijodohkan dengan Bagas Kavi Waradana, oleh seorang kakek penjual steak yang tak lain adalah kakek Kavi. Anna menyetujui pernikahan itu demi mendapatkan uang untuk melunasi utang sang adik. Tetapi di dalam pernikahannya, Anna harus menghadapi berbagai macam masalah. Mulai dari pergolakan hati Anna menyandang status sebagai istri Kavi, berada dalam pusaran konflik dengan keluarga besar Waradana, serta adanya sebuah rahasia kelam yang tersembunyi di balik nama besar keluarga Waradana.
Lihat lebih banyakAnna jatuh cinta pada suasana restoran ini bahkan sebelum hidangan pertama tersaji. Ia duduk di salah satu kursi, menunggu kedatangan teman-teman divisinya. Pandangan Anna tertuju pada ukiran kayu artistik yang tergantung manis di dinding.
Teras Rumah.
Nama restoran itu terpahat di sana.
Restoran ini memang berada di teras sebuah rumah sederhana. Tidak besar, tidak megah, tapi justru kesederhanaannya memikat hati. Menghadirkan kehangatan dan rasa kekeluargaan yang jarang ditemukan di tempat makan lain.
Di sini hanya ada satu meja makan panjang yang dikelilingi delapan kursi kayu. Tak seperti restoran pada umumnya, tempat ini lebih menyerupai ruang makan di rumah. Terkesan hangat dan penuh cerita.
“Mengesankan sekali,” suara Erianto terdengar. “Kau sampai hafal tingkat kematangan steak yang disukai teman-temanmu. Kalian berenam pasti sangat dekat, ya?”
Suara itu membuyarkan lamunan Anna. Ia menoleh, lalu tersenyum sopan.
“Mereka teman sekantor, Kek. Kami hampir setiap hari bersama. Jadi... ya, lama-lama hafal sendiri.”
Erianto mengangguk pelan dari balik kaca partisi yang memisahkan dapur dengan area makan. Dapur itu mengusung konsep open kitchen, dibiarkan terlihat seperti panggung kecil, tempat ia menunjukkan kepiawaiannya sebagai chef.
Di usia senjanya yang sudah melewati kepala delapan, Erianto masih tampak gagah. Tubuhnya tegap, gerakannya ringan. Ia berpakaian rapi, dengan gaya elegan yang tak mencolok. Meski pakaian dan arlojinya bukan keluaran merek ternama, tapi semua itu memancarkan kesan old money—berkelas tanpa usaha keras.
Dengan cekatan Erianto memanggang enam potong steak sekaligus di atas grill pan besar yang dimodifikasinya sendiri. Aroma daging yang dipanggang perlahan menguar.
Anna tersenyum sumringah mencium aroma steak yang menggoda. Desisan daging yang sedang dipanggang membuat perutnya makin lapar.
“Hmm… harum sekali,” ucapnya sambil memejamkan mata, menikmati aromanya.
“Semoga cocok dengan seleramu, dan teman-temanmu,” jawab Erianto tanpa menoleh, tetap fokus memanggang.
Anna hanya senyum lalu mendekat ke kaca partisi, memperhatikan Erianto mulai plating steak dengan tingkat kematangan medium rare.
“Kek, boleh saya ambil foto? Mau saya upload ke media sosial,” ujarnya penuh antusias.
“Tentu, silakan.”
Anna mengambil beberapa gambar. Pertama secara candid, menangkap momen Erianto yang serius memasak. Lalu selfie dengan Erianto yang berada di belakang kaca sambil tersenyum mengacungkan jempolnya.
“Terima kasih,” ucap Anna ceria. Ia langsung membuka ponsel dan mengunggahnya ke akun media sosial pribadinya dengan caption:
Special Private Dinner by Kakek Erianto yang super ramah 😍🍽
#TerasRumah #HiddenGem #SteakNight
Aroma lezat memenuhi udara saat seluruh hidangan makan malam siap disajikan. Anna bangkit dari kursinya, menawarkan bantuan pada Erianto yang tengah sibuk menata makanan.
“Sekalian saja hidangkan menu utama dan dessert-nya juga, Kek. Jadi nanti Kakek tidak perlu kerepotan keluar masuk dapur,” ujarnya sambil meletakkan mangkuk-mangkuk cream soup ke meja. Sup lembut berisi potongan ayam, jagung manis, wortel, dan jamur, tersaji dalam porsi kecil yang tampak menggoda.
Erianto terkekeh pelan, senyumnya tak lepas dari wajah.
“Tidak begitu, Nona. Melayani tamu yang datang ke sini memang tugas saya. Mana mungkin saya merasa kerepotan?” Ia menatap Anna dengan tulus. “Nanti tetap saya sajikan satu per satu agar esensi fine dining-nya tetap terasa. Meski cuma makan malam di teras rumah saya, saya ingin semua yang datang membawa pulang kenangan menyenangkan.”
Anna terdiam sejenak, terenyuh oleh ketulusan pria tua itu. Ia mengangguk. “Baiklah, saya ikut kata Kakek saja.”
Anna lalu kembali duduk.
Jarum jam terus berdetak, melewati angka-angka dengan lambat. Sudah lebih dari tiga puluh menit sejak waktu janjian makan malam Anna bersama teman-teman divisinya, tapi tak satu pun dari mereka muncul.
Perasaan Anna mulai gelisah. Tatapannya tak lepas dari jalan gang yang sepi di depan restoran. Ia mencoba berpikir positif. Mungkin mereka terjebak macet. Apalagi ini weekend. Tapi waktu terus bergulir. Satu jam... lalu dua jam.
Kegelisahan itu kini tampak jelas di wajah Anna. Berkali-kali Anna melirik jam tangan, berharap ada keajaiban. Appetizer di meja sudah dingin. Sedingin hati Anna saat ini.
Kenapa mereka belum datang juga? Apa yang terjadi? Apa mereka lupa?
Erianto diam-diam mengamati. Ia seolah bisa merasakan keresahan Anna, namun memilih tak bertanya.
Anna nyaris menekan ikon panggilan untuk menelepon Celine, ketika sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya.
Unggahan baru dari Celine.
Dengan jantung berdegup tak karuan, Anna membuka unggahan itu. Sebuah foto—Celine duduk santai di sebuah restoran seafood, tertawa bersama empat rekan satu divisi mereka. Di atas meja hidangan laut tersaji melimpah. Di latarnya, layar karaoke bersinar, menampilkan lirik lagu yang mereka nyanyikan bersama.
Anna terpaku. Matanya membelalak pelan, seperti menolak percaya.
Mereka membuat acara sendiri. Tanpa dirinya. Padahal janji makan malam bersama sudah disepakati sejak awal minggu. Di tempat ini. Di Teras Rumah.
Tangan Anna sedikit gemetar saat akhirnya ia menekan tombol panggil. Suaranya terdengar tenang, tapi nadanya nyaris beku.
“Kalian di mana? Aku sudah menunggu di Teras Rumah sejak dua jam yang lalu.”
Ada jeda di ujung sana. Lalu suara Celine terdengar ragu, seperti menimbang-nimbang.
“Kami... berubah pikiran. Tiba-tiba kepikiran ingin makan seafood. Ya sudah... kami langsung ke sini. Maaf, Anna. Harusnya tadi seseorang memberi tahumu.” Keheningan menggantung di antara mereka. Tapi hati Anna sudah terlanjur dingin.
Anna menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menutup panggilan tanpa berkata apa pun. Bahunya merosot perlahan. Di matanya, kekecewaan tampak jelas meski ia berusaha menahannya.
Mungkin aku terlalu berharap. Tapi... apa sesulit itu mengirim satu pesan saja?
Ia masih ingat jelas bagaimana teman-temannya begitu antusias membicarakan Teras Rumah yang sedang viral. Bahkan harus menunggu lebih dari sebulan untuk bisa dapat reservasi. Ketika akhirnya Anna berhasil mendapatkannya, dan ingin mentraktir mereka—respon semuanya penuh semangat.
Celine, sahabat terdekatnya di kantor, bahkan sempat bilang, “Kamu benar-benar pahlawan divisi ini, Anna! Teras Rumah itu hidden gem!”
Tapi kini semua antusiasme itu terasa palsu. Kenyataan pahit harus ia telan sendiri.
Mata Anna mulai berkaca-kaca. Ia menatap deretan hidangan pembuka yang tersaji rapi di atas meja. Aroma hangat sup ayam-jagung yang tadi mengundang selera, kini hanya menambah sesak di dadanya. Ia mulai menyendok sup perlahan. Diam. Menelan rasa pedih bersama setiap sendok yang masuk ke mulutnya.
Erianto memerhatikannya dari dapur. Wajah tuanya menyiratkan kekhawatiran.
“Harusnya saya buka restorannya di tepi jalan raya,” katanya sambil tersenyum lembut, berusaha mencairkan suasana. “Bukan di gang sempit begini, yang membuat mobil susah masuk. Mungkin teman-temanmu jadi kesulitan mencari tempatnya.”
Anna tak menjawab. Ia hanya menatap mangkuk sup di hadapannya, lalu menghela napas perlahan.
Bukan itu masalahnya, Kek. Mereka memang tidak berniat datang.
Anna menunduk, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
“Saya mau makan steak-nya sekarang, Kek,” ucapnya pelan. “Lainnya... tolong dibungkus saja.” Ia menahan napas setelah bicara, seolah sedang menahan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar air mata.
Erianto tak banyak bertanya. Dengan tenang, ia meletakkan sepiring steak di hadapan Anna, lengkap dengan saus dan pendampingnya. Tak lupa, sepotong puding karamel sebagai hidangan penutup.
“Kau keberatan kalau kakek temani?” tanyanya lembut.
Anna menggeleng. “Silakan, Kek.”
Erianto duduk di dekat Anna, diam, dengan tatapan penuh pengertian.
Perlahan Anna mulai memotong steaknya. Ia memasukkan potongan pertama ke mulut. Lezat. Dagingnya empuk, bumbunya meresap. Persis seperti yang ia bayangkan. Tapi justru karena terlalu sempurna, rasa itu menusuknya.
Perasaan Anna campur aduk. Kecewa, marah, kesal—semuanya bercampur menjadi satu. Dan di balik itu semua, terselip juga rasa bersalah pada Erianto. Ia tahu, kakek itu sudah dengan tulus memasak steak istimewa, namun kini semua berakhir sia-sia.
“Maafkan aku, Kek. Teman-temanku batal datang. Padahal kakek sudah repot-repot memasak steak seenak ini,” ucap Anna dengan suara bergetar.
Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh satu per satu. Ia mencoba mengunyah sambil menunduk, tapi sesak itu tak bisa lagi ditahan. Isakan kecil lolos di sela suapan. Erianto hanya menatapnya lembut dan penuh pengertian.
“Jangan makan sambil menangis,” katanya pelan. “Itu cuma akan membuat dadamu makin sesak. Letakkan saja. Menangislah sampai lega.”
Anna berhenti makan. Ia meletakkan garpunya perlahan, lalu menangis sejadi-jadinya. Erianto tak berkata-kata. Ia hanya duduk di situ, menemani, dan sesekali menepuk punggung tangan Anna. Anna akhirnya mencurahkan segenap perasaannya di hadapan Erianto, selayaknya bercerita pada kakeknya sendiri.
Dari arah belakang, dua sosok pria muncul—Kavi dan Rendy. Mereka melangkah dalam diam. Kavi tampil mencolok dalam balutan setelan jas hitam Armani, kemeja hitam arang, dan sepatu kulit yang mengkilap saat terkena cahaya lampu jalan. Rambutnya ditata rapi, dengan kilau halus seperti sutra mahal. Aura kuasa dan dingin memancar kuat.
Sebelum sempat melangkah lebih jauh, Erianto menoleh. Tatapannya berubah tegas. Tangan tuanya terangkat, memberi isyarat, diam.
Kavi terpaku.
“Apa barusan... kakek mengusirku?” bisiknya tak percaya.
Rendy—sang asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Kavi mendekat, membisikkan sesuatu. “Ikuti saja, Bos. Kalau Tuan Besar sudah begitu, kita tidak bisa melawan.”
Dengan rasa penasaran yang menggerogoti pikirannya, Kavi pun memilih mundur. Tapi sebelum pergi, pandangannya sempat menangkap sosok perempuan muda yang menangis di dekat kakeknya.
“Cari tahu siapa dia. Apa hubungannya dengan kakek,” ucap Kavi dingin.
“Oke, Bos,” jawab Rendy mengiyakan.
Keduanya lalu berjalan menjauh, langkah mereka mantap menuju sedan hitam mewah yang terparkir di ujung gang—mobil yang seolah mencerminkan pemiliknya. Tenang, mahal, dan tak tersentuh. Sementara di belakang sana, Erianto masih fokus menenangkan Anna, seolah dunia luar tak penting lagi baginya. []
Ruang rias itu sunyi, hanya diisi dentingan halus suara sapuan kuas makeup yang terakhir kali menyentuh pipi Anna. Wajahnya kini terlihat sempurna. Seperti calon pengantin di majalah-majalah.Anna sudah tahu saat ini akan datang, saat ia membuat keputusan bersedia menikah dengan Kavi. Pernikahan ini memang hanya kontrak. Tapi tetap saja membuat Anna gugup.Ketukan pelan di pintu membuat Anna menoleh. MUA-nya juga ikut melirik, lalu membungkuk sopan.“Sebentar ya. Sepertinya ada yang mau ketemu.”Sebelum Anna sempat menjawab, pintu terbuka pelan.Devan berdiri di ambang pintu. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang tertahan di sana.“Boleh aku masuk sebentar?” tanyanya pelan.Anna mengangguk, masih terdiam. MUA pun pamit, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang mendadak penuh kecanggungan.Devan berjalan perlahan ke arah Anna. Tak ada suara lain kecuali langkahnya yang bergema lembut di lantai kayu. Ia berdiri di belakang Anna, menatap pantulan perempuan cantik itu di cermin
Deru motor sport Kavi memecah keheningan malam Jayapuri. Mesin menderu ganas, meraung seperti binatang buas yang lapar darah. Helm hitam menutupi wajahnya, tapi api di matanya membara di balik visor.Tujuannya jelas pada satu nama.Steven.Dan malam ini, tidak ada negosiasi.Di parkiran gedung mewah tempat Steven biasa menginap, langkah kaki berat terdengar, memantul di dinding beton. Steven yang sedang merokok menoleh.Ia mengenali sosok itu. Jantungnya mencelos. Tapi bibirnya tetap mencibir. “Kau sudah lihat fotonya, kan? Kasihan. Ternyata kau salah pilih perempuan.”Kavi tak menjawab. Tapi dalam sepersekian detik kemudian... Sebuah pukulan telak mendarat di rahang Steven—keras, cepat, dan brutal.Steven terhuyung, terkapar ke lantai. Tak sempat bernapas, disusul tendangan Kavi menghantam perutnya. Udara keluar dari paru-parunya. Tapi kesadaran Steven belum sepenuhnya hilang.“Apa kau pikir bisa menyentuh Anna dan lolos begitu saja?” suara Kavi nyaris tak terdengar. Tapi dinginnya l
Anna berdiri terpaku di depan deretan gaun pengantin yang berkilau, matanya berbinar-binar seperti anak kecil di toko permen. Hatinya berdebar tak karuan. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Tak sampai seminggu, ia akan resmi menjadi Nyonya Bagas Kavi Waradana.Seorang desainer menghampirinya sambil membawa gaun yang telah mereka pilih bersama beberapa waktu lalu.“Ini gaunnya, Nona. Silakan dicoba dulu, ya. Kalau ada yang kurang pas, nanti akan kami sesuaikan lagi,” ujarnya ramah.Anna mengangguk pelan. Ia mengikuti sang desainer menuju ruang ganti, pikirannya melayang ke berbagai arah. Desainer dan asistennya membantunya mengenakan gaun itu dengan lembut dan terampil.“Calon suaminya tidak ikut, ya?” tanya si asisten sambil tersenyum. “Biasanya pasangan datang berdua.”“Dia sedang bekerja,” jawab Anna cepat, berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya. Ya—Kavi bekerja.Begitu gaun melekat sempurna di tubuhnya, Anna menoleh ke cermin besar di hada
Ballroom Hotel Interlux telah dipenuhi oleh kilatan lampu kamera dan gumaman wartawan dari berbagai media nasional. Deretan kursi yang tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo Waradana Group dan kain hitam elegan.Para investor undangan duduk tenang, sebagian berbicara pelan, menebak-nebak apa yang akan diumumkan siang itu. Di sisi kanan panggung, perwakilan Dewan Komisaris Waradana Group sudah hadir lebih awal. Wajah-wajah serius mereka menyiratkan betapa penting momen ini.Kursi panel di depan panggung masih kosong. Lalu, pintu utama terbuka.Kavi melangkah masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan wibawa. Di belakangnya, Haris menyusul dengan map di tangannya. Mereka mengambil tempat di kursi panel. Sedangkan Rendy berdiri di tepi bawah panggung.Suasana ballroom menegang, mikrofon sudah menyala, kamera sudah mengarah.Harris mengambil napas sejenak, lalu berdiri sejenak, membungkuk kecil ke arah hadirin. Ia mengang
Kavi nyaris menerobos pintu rumah sakit ketika mobilnya bahkan belum benar-benar berhenti. Nafasnya tercekat, dadanya sesak oleh kabar yang baru saja diterimanya dari Rendy.Anna. Sesuatu terjadi pada Anna. Sesuatu yang buruk.Langkahnya tergesa, hampir tak menyentuh lantai. Seluruh pertahanan emosional yang selama ini kokoh, runtuh begitu saja. Tujuannya hanya satu, ingin segera melihat Anna.Pintu kamar VVIP itu terbuka kasar. Kavi terhenti sejenak. Dunia mendadak sunyi.Anna terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Wajahnya pucat seolah tak ada darah mengalir di balik kulitnya yang seputih kapas. Ada luka di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak rapuh, seolah sentuhan sedikit saja bisa membuatnya pecah.Kavi mendidih. Dadanya seperti terbakar, bukan oleh amarah, tapi oleh rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan.Di sudut ruangan, Devan berdiri membatu. Tatapannya tertuju pada Anna, menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ketika matanya bertemu dengan Kavi, hanya ada diam—ketegan
Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen