Istri Dadakan sang Pewaris

Istri Dadakan sang Pewaris

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-06-07
Oleh:  Yulia AngBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
25Bab
813Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Brianna Izara, gadis malang yang hidup menderita dari kecil, tiba-tiba dijodohkan dengan Bagas Kavi Waradana, oleh seorang kakek penjual steak yang tak lain adalah kakek Kavi. Anna menyetujui pernikahan itu demi mendapatkan uang untuk melunasi utang sang adik. Tetapi di dalam pernikahannya, Anna harus menghadapi berbagai macam masalah. Mulai dari pergolakan hati Anna menyandang status sebagai istri Kavi, berada dalam pusaran konflik dengan keluarga besar Waradana, serta adanya sebuah rahasia kelam yang tersembunyi di balik nama besar keluarga Waradana.

Lihat lebih banyak

Bab 1

BAB 1 | Teras Rumah

Anna jatuh cinta pada suasana restoran ini bahkan sebelum hidangan pertama tersaji. Ia duduk di salah satu kursi, menunggu kedatangan teman-teman divisinya. Pandangan Anna tertuju pada ukiran kayu artistik yang tergantung manis di dinding.

Teras Rumah.

Nama restoran itu terpahat di sana.

Restoran ini memang berada di teras sebuah rumah sederhana. Tidak besar, tidak megah, tapi justru kesederhanaannya memikat hati. Menghadirkan kehangatan dan rasa kekeluargaan yang jarang ditemukan di tempat makan lain.

Di sini hanya ada satu meja makan panjang yang dikelilingi delapan kursi kayu. Tak seperti restoran pada umumnya, tempat ini lebih menyerupai ruang makan di rumah. Terkesan hangat dan penuh cerita.

“Mengesankan sekali,” suara Erianto terdengar. “Kau sampai hafal tingkat kematangan steak yang disukai teman-temanmu. Kalian berenam pasti sangat dekat, ya?”

Suara itu membuyarkan lamunan Anna. Ia menoleh, lalu tersenyum sopan.

“Mereka teman sekantor, Kek. Kami hampir setiap hari bersama. Jadi... ya, lama-lama hafal sendiri.”

Erianto mengangguk pelan dari balik kaca partisi yang memisahkan dapur dengan area makan. Dapur itu mengusung konsep open kitchen, dibiarkan terlihat seperti panggung kecil, tempat ia menunjukkan kepiawaiannya sebagai chef.

Di usia senjanya yang sudah melewati kepala delapan, Erianto masih tampak gagah. Tubuhnya tegap, gerakannya ringan. Ia berpakaian rapi, dengan gaya elegan yang tak mencolok. Meski pakaian dan arlojinya bukan keluaran merek ternama, tapi semua itu memancarkan kesan old money—berkelas tanpa usaha keras.

Dengan cekatan Erianto memanggang enam potong steak sekaligus di atas grill pan besar yang dimodifikasinya sendiri. Aroma daging yang dipanggang perlahan menguar.

Anna tersenyum sumringah mencium aroma steak yang menggoda. Desisan daging yang sedang dipanggang membuat perutnya makin lapar.

“Hmm… harum sekali,” ucapnya sambil memejamkan mata, menikmati aromanya.

“Semoga cocok dengan seleramu, dan teman-temanmu,” jawab Erianto tanpa menoleh, tetap fokus memanggang.

Anna hanya senyum lalu mendekat ke kaca partisi, memperhatikan Erianto mulai plating steak dengan tingkat kematangan medium rare.

“Kek, boleh saya ambil foto? Mau saya upload ke media sosial,” ujarnya penuh antusias.

“Tentu, silakan.”

Anna mengambil beberapa gambar. Pertama secara candid, menangkap momen Erianto yang serius memasak. Lalu selfie dengan Erianto yang berada di belakang kaca sambil tersenyum mengacungkan jempolnya.

“Terima kasih,” ucap Anna ceria. Ia langsung membuka ponsel dan mengunggahnya ke akun media sosial pribadinya dengan caption:

Special Private Dinner by Kakek Erianto yang super ramah 😍🍽

#TerasRumah #HiddenGem #SteakNight

Aroma lezat memenuhi udara saat seluruh hidangan makan malam siap disajikan. Anna bangkit dari kursinya, menawarkan bantuan pada Erianto yang tengah sibuk menata makanan.

“Sekalian saja hidangkan menu utama dan dessert-nya juga, Kek. Jadi nanti Kakek tidak perlu kerepotan keluar masuk dapur,” ujarnya sambil meletakkan mangkuk-mangkuk cream soup ke meja. Sup lembut berisi potongan ayam, jagung manis, wortel, dan jamur, tersaji dalam porsi kecil yang tampak menggoda.

Erianto terkekeh pelan, senyumnya tak lepas dari wajah.

“Tidak begitu, Nona. Melayani tamu yang datang ke sini memang tugas saya. Mana mungkin saya merasa kerepotan?” Ia menatap Anna dengan tulus. “Nanti tetap saya sajikan satu per satu agar esensi fine dining-nya tetap terasa. Meski cuma makan malam di teras rumah saya, saya ingin semua yang datang membawa pulang kenangan menyenangkan.”

Anna terdiam sejenak, terenyuh oleh ketulusan pria tua itu. Ia mengangguk. “Baiklah, saya ikut kata Kakek saja.”

Anna lalu kembali duduk.

Jarum jam terus berdetak, melewati angka-angka dengan lambat. Sudah lebih dari tiga puluh menit sejak waktu janjian makan malam Anna bersama teman-teman divisinya, tapi tak satu pun dari mereka muncul.

Perasaan Anna mulai gelisah. Tatapannya tak lepas dari jalan gang yang sepi di depan restoran. Ia mencoba berpikir positif. Mungkin mereka terjebak macet. Apalagi ini weekend. Tapi waktu terus bergulir. Satu jam... lalu dua jam.

Kegelisahan itu kini tampak jelas di wajah Anna. Berkali-kali Anna melirik jam tangan, berharap ada keajaiban. Appetizer di meja sudah dingin. Sedingin hati Anna saat ini.

Kenapa mereka belum datang juga? Apa yang terjadi? Apa mereka lupa?

Erianto diam-diam mengamati. Ia seolah bisa merasakan keresahan Anna, namun memilih tak bertanya.

Anna nyaris menekan ikon panggilan untuk menelepon Celine, ketika sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya.

Unggahan baru dari Celine.

Dengan jantung berdegup tak karuan, Anna membuka unggahan itu. Sebuah foto—Celine duduk santai di sebuah restoran seafood, tertawa bersama empat rekan satu divisi mereka. Di atas meja hidangan laut tersaji melimpah. Di latarnya, layar karaoke bersinar, menampilkan lirik lagu yang mereka nyanyikan bersama.

Anna terpaku. Matanya membelalak pelan, seperti menolak percaya.

Mereka membuat acara sendiri. Tanpa dirinya. Padahal janji makan malam bersama sudah disepakati sejak awal minggu. Di tempat ini. Di Teras Rumah.

Tangan Anna sedikit gemetar saat akhirnya ia menekan tombol panggil. Suaranya terdengar tenang, tapi nadanya nyaris beku.

“Kalian di mana? Aku sudah menunggu di Teras Rumah sejak dua jam yang lalu.”

Ada jeda di ujung sana. Lalu suara Celine terdengar ragu, seperti menimbang-nimbang.

“Kami... berubah pikiran. Tiba-tiba kepikiran ingin makan seafood. Ya sudah... kami langsung ke sini. Maaf, Anna. Harusnya tadi seseorang memberi tahumu.” Keheningan menggantung di antara mereka. Tapi hati Anna sudah terlanjur dingin.

Anna menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menutup panggilan tanpa berkata apa pun. Bahunya merosot perlahan. Di matanya, kekecewaan tampak jelas meski ia berusaha menahannya.

Mungkin aku terlalu berharap. Tapi... apa sesulit itu mengirim satu pesan saja?

Ia masih ingat jelas bagaimana teman-temannya begitu antusias membicarakan Teras Rumah yang sedang viral. Bahkan harus menunggu lebih dari sebulan untuk bisa dapat reservasi. Ketika akhirnya Anna berhasil mendapatkannya, dan ingin mentraktir mereka—respon semuanya penuh semangat.

Celine, sahabat terdekatnya di kantor, bahkan sempat bilang, “Kamu benar-benar pahlawan divisi ini, Anna! Teras Rumah itu hidden gem!”

Tapi kini semua antusiasme itu terasa palsu. Kenyataan pahit harus ia telan sendiri.

Mata Anna mulai berkaca-kaca. Ia menatap deretan hidangan pembuka yang tersaji rapi di atas meja. Aroma hangat sup ayam-jagung yang tadi mengundang selera, kini hanya menambah sesak di dadanya. Ia mulai menyendok sup perlahan. Diam. Menelan rasa pedih bersama setiap sendok yang masuk ke mulutnya.

Erianto memerhatikannya dari dapur. Wajah tuanya menyiratkan kekhawatiran.

“Harusnya saya buka restorannya di tepi jalan raya,” katanya sambil tersenyum lembut, berusaha mencairkan suasana. “Bukan di gang sempit begini, yang membuat mobil susah masuk. Mungkin teman-temanmu jadi kesulitan mencari tempatnya.”

Anna tak menjawab. Ia hanya menatap mangkuk sup di hadapannya, lalu menghela napas perlahan.

Bukan itu masalahnya, Kek. Mereka memang tidak berniat datang.

Anna menunduk, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.

“Saya mau makan steak-nya sekarang, Kek,” ucapnya pelan. “Lainnya... tolong dibungkus saja.” Ia menahan napas setelah bicara, seolah sedang menahan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar air mata.

Erianto tak banyak bertanya. Dengan tenang, ia meletakkan sepiring steak di hadapan Anna, lengkap dengan saus dan pendampingnya. Tak lupa, sepotong puding karamel sebagai hidangan penutup.

“Kau keberatan kalau kakek temani?” tanyanya lembut.

Anna menggeleng. “Silakan, Kek.”

Erianto duduk di dekat Anna, diam, dengan tatapan penuh pengertian.

Perlahan Anna mulai memotong steaknya. Ia memasukkan potongan pertama ke mulut. Lezat. Dagingnya empuk, bumbunya meresap. Persis seperti yang ia bayangkan. Tapi justru karena terlalu sempurna, rasa itu menusuknya.

Perasaan Anna campur aduk. Kecewa, marah, kesal—semuanya bercampur menjadi satu. Dan di balik itu semua, terselip juga rasa bersalah pada Erianto. Ia tahu, kakek itu sudah dengan tulus memasak steak istimewa, namun kini semua berakhir sia-sia.

“Maafkan aku, Kek. Teman-temanku batal datang. Padahal kakek sudah repot-repot memasak steak seenak ini,” ucap Anna dengan suara bergetar.

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh satu per satu. Ia mencoba mengunyah sambil menunduk, tapi sesak itu tak bisa lagi ditahan. Isakan kecil lolos di sela suapan. Erianto hanya menatapnya lembut dan penuh pengertian.

“Jangan makan sambil menangis,” katanya pelan. “Itu cuma akan membuat dadamu makin sesak. Letakkan saja. Menangislah sampai lega.”

Anna berhenti makan. Ia meletakkan garpunya perlahan, lalu menangis sejadi-jadinya. Erianto tak berkata-kata. Ia hanya duduk di situ, menemani, dan sesekali menepuk punggung tangan Anna. Anna akhirnya mencurahkan segenap perasaannya di hadapan Erianto, selayaknya bercerita pada kakeknya sendiri.

Dari arah belakang, dua sosok pria muncul—Kavi dan Rendy. Mereka melangkah dalam diam. Kavi tampil mencolok dalam balutan setelan jas hitam Armani, kemeja hitam arang, dan sepatu kulit yang mengkilap saat terkena cahaya lampu jalan. Rambutnya ditata rapi, dengan kilau halus seperti sutra mahal. Aura kuasa dan dingin memancar kuat.

Sebelum sempat melangkah lebih jauh, Erianto menoleh. Tatapannya berubah tegas. Tangan tuanya terangkat, memberi isyarat, diam.

Kavi terpaku.

“Apa barusan... kakek mengusirku?” bisiknya tak percaya.

Rendy—sang asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Kavi mendekat, membisikkan sesuatu. “Ikuti saja, Bos. Kalau Tuan Besar sudah begitu, kita tidak bisa melawan.”

Dengan rasa penasaran yang menggerogoti pikirannya, Kavi pun memilih mundur. Tapi sebelum pergi, pandangannya sempat menangkap sosok perempuan muda yang menangis di dekat kakeknya.

“Cari tahu siapa dia. Apa hubungannya dengan kakek,” ucap Kavi dingin.

“Oke, Bos,” jawab Rendy mengiyakan.

Keduanya lalu berjalan menjauh, langkah mereka mantap menuju sedan hitam mewah yang terparkir di ujung gang—mobil yang seolah mencerminkan pemiliknya. Tenang, mahal, dan tak tersentuh. Sementara di belakang sana, Erianto masih fokus menenangkan Anna, seolah dunia luar tak penting lagi baginya. []

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
25 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status