Malam ini terasa sejuk saat aku melaju pulang dari apartemen orangtuaku, pikiranku penuh haru setelah perpisahan dengan Ayah, Ibu, dan Lila. Kalung Dupont di leherku terasa hangat, simbol keluarga yang kini jadi bagianku. Tapi saat berhenti di lampu merah, mataku menangkap sosok familiar di trotoar—Liana? Rambutnya terurai, wajahnya tampak bingung, seolah menunggu seseorang. Bukankah dia masih di kampung karena ayahnya meninggal? Aku mengerutkan dahi, hati ini terbelah.
Akhir-akhir ini, aku sengaja menjauhi Liana, merasa tidak enak dengan Reza, yang kini justru acuh padanya. Tapi Liana, tetap saja tidak berubah walaupun aku acuh padanya. Dia memang keras kepala, tapi aku tidak bisa membalas perasaannya. Menerima perhatiannya hanya akan membuatnya semakin berharap, dan aku tidak ingin menyakitinya lebih jauh.
Tapi melihatnya begitu kebingungan, hati ini tergelitik—meski aku tersakiti oleh Tiara, aku masih punya empati. Aku hampir turun dari motor untuk mendekatinya, tapi ojek online t