Raka (27) baru menikahi Tiara, wanita yang ia cintai. Saat Tiara dinas ke luar kota, Raka tinggal di rumah mertuanya untuk sementara. Di sana, ia mulai merasakan ketertarikan tak terduga pada Mama Siska, ibu tiri Tiara yang mempesona di usianya yang ke-42. Awalnya, hanya perhatian wajar seorang mertua, tetapi perlahan, tatapan, senyuman, dan sentuhan kecil mulai menggoyahkan batas. Apakah ini sekadar permainan seorang wanita kesepian, atau ada sesuatu yang lebih berbahaya di baliknya?
View MoreAku tidak percaya, ternyata apem mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri.
"Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya. Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya bisa memeluk guling. Aku sudah membayangkan bisa bercinta semalaman dengan istriku, padahal baru beberapa hari saja kita resmi menjadi suami-istri. Memang di saat malam pertama pernikahan kita, aku sudah bercinta dengannya semalaman suntuk tanpa henti. Sekarang benda pusaka ku ingin memuntahkan lahar panas nya, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Aku punya nafsu yang tinggi, apalagi cuaca dingin begini, semakin besar keinginanku untuk bercinta. Ponsel di tanganku masih menyala, menampilkan pesan suara dari Tiara. "Sayang, jangan lupa makan ya. Mama pasti bakal perhatian sama kamu, jadi gak usah khawatir." Suara Tiara terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang terasa jauh. Aku menarik napas panjang sebelum membalas. "Iya, hati-hati di sana." Setelah hampir seminggu Tiara pergi dinas ke luar kota. Awalnya, aku pikir tidak masalah tinggal sendiri di apartemen. Tapi dia bersikeras agar aku tinggal di rumah orang tuanya. "Biar Mama bisa nemenin kamu. Lagian, kamu belum terlalu akrab sama Mama, kan?" Dan di sinilah aku sekarang. Di rumah yang bukan rumahku, di bawah atap yang sama dengan seorang wanita yang… semakin sulit untuk tidak kupikirkan. Bu Siska. Bukan ibu kandung Tiara, tapi ibu tirinya—dan itu seharusnya tidak membuat perbedaan. Tapi, entah kenapa, aku mulai melihatnya dengan cara yang tidak seharusnya. Ibu Siska terlihat sangat cantik, badannya seperti gitar spanyol, kulitnya putih mulus dan senyumnya itu rasanya mengajak untuk berbuat maksiat. Aku menggeliat di tempat tidur, mencoba mengabaikan kegelisahan pikiran kotor yang mulai merayapi pikiranku. Tapi rasa lapar memaksa aku keluar kamar. Langkahku di lorong terasa lebih berat dari biasanya, mungkin karena pikiranku yang tidak tenang. Begitu tiba di dapur, aku langsung melihatnya. Bu Siska. Ia berdiri di dekat meja makan, hanya mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda. Kain halus itu membalut tubuhnya dengan pas, menyoroti lekukan yang masih terjaga di usianya yang menginjak 42 tahun. Bahunya terbuka sedikit, memperlihatkan kulitnya yang masih kencang dan mulus, seperti wanita yang jauh lebih muda dari usianya. Rambut hitamnya tergerai santai, memberi kesan liar namun tetap elegan. Mataku tertuju pada buah dadanya yang lumayan montok, saat dia menata piring rasanya buah dadanya akan tumpah. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, tapi terlambat. Ada sesuatu yang menancap di benakku. Sesuatu yang mengusik. Astaga, ini ibu mertuamu sendiri, Raka. Fokus. Namun sebelum aku bisa merapikan pikiranku, ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang lembut, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. "Raka, ayo makan dulu," ajaknya dengan suara yang hampir seperti bisikan. Aku mengangguk dan duduk di meja makan. Dia menuangkan sup hangat ke dalam mangkukku, aroma rempah dan jahe menguar, menyebarkan kehangatan di ruangan yang terasa semakin sempit. Entah kenapa rasanya Bu Siska, seperti sengaja menempelkan buah dadanya pada wajahku. Hingga tercium aroma parfum dan body lotion nya, yang membuat pedang pusaka ku berdenyut-denyut. "Tiara pasti sering masakin kamu, ya?" tanyanya, matanya menatapku lebih lama dari seharusnya dan dia meremas buah dadanya sendiri seperti sengaja. Aku menelan ludah. Senyum itu… tidak seperti senyum ibu mertua pada menantunya. Kenapa juga dia harus meremas buah dadanya sendiri di depanku. "Iya, Ma—eh, Bu," jawabku, buru-buru memperbaiki panggilan. Mama Siska terkekeh pelan, suara tawanya renyah, hampir seperti godaan. "Mama aja nggak apa-apa. Toh, kamu memang anak Mama sekarang." Aku ikut tertawa kecil, mencoba tetap tenang. Tapi saat aku hendak mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tanganku lagi. Sekilas, itu mungkin hanya kebetulan. Tapi kehangatan yang tertinggal di kulitku bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Aku meneguk air putih, mencoba menenangkan diri. Setelah makan, aku beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Saat aku hendak kembali ke kamar, suara Mama Siska menghentikan langkahku. "Raka," panggilnya pelan. Aku menoleh. Ia berdiri di lorong, bersandar di kusen pintu kamarnya, satu tangan terangkat menyentuh kayu, tubuhnya sedikit miring. Gaun tidurnya tampak lebih pendek daripada tadi, memperlihatkan pahanya yang mulus di bawah cahaya redup. Aku menahan napas. "Kalau butuh sesuatu… jangan ragu panggil Mama, ya?" Dia mengedipkan mata sambil mengigit bibirnya. Suaranya begitu lembut, hampir seperti bisikan di telinga. Seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dari sekadar kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk. "I-iya, Ma." Ia tersenyum tipis, sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Aku diam di tempat, jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Tidak. Ini pasti cuma pikiranku saja. Tapi saat aku berbalik, mataku tak sengaja menangkap pantulan di kaca jendela ruang tamu. Pintu kamar Mama Siska belum benar-benar tertutup. Masih sedikit terbuka… cukup untuk kulihat sepasang mata yang mengawasiku dari celah itu. Aku merinding. Aku segera berbaring di kasur, menarik selimut dan berharap segera pagi. Tapi ternyata aku tidak bisa tidur, pikiranku terbayang wajah Mama Siska apalagi saat dia meremas buah dadanya. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuat gairahku naik. Seketika benda pusaka ku langsung mengeras, sampai terlihat jelas di dalam celanaku. "Ssshhh aaahhhh...." Tiba-tiba terdengar suara aneh, aku turun dari ranjang dan mencari sumber suara itu. Aku membuka pintu dan ternyata pintu kamar Mama Siska masih terbuka, suara itu semakin terdengar jelas. Sekarang aku tau jika itu suara Mama Siska, dia sedang mendesah membuat kerongkonganku mendadak kering. Aku berjalan secara perlahan, sampai berada di depan kamar Mama Siska. Aku mengintip di balik tembok melihat ke dalam kamarnya dan betapa terkejutnya aku, melihat Mama Siska berbaring tanpa sehelai benangpun. Tangan kirinya membelai lembah terlarang nya, dan tangan kanannya meremas buah dadanya. "Ahhh enak Raka, terus sayang.... !" Nafasku terasa sesak, mungkin aku salah dengar. Jantungku berdebar kencang, rasanya udara semakin panas dan keringat menetes di dahi ku. Di tambah lagi benda pusaka ku malah makin keras, apalagi melihat tubuh Mama Siska yang aduhai. "Masuk Raka, jangan ngintip!" Aku semakin terkejut, rupanya Mama Siska tau jika aku sedang ngintip. Akhirnya aku menampakan diri, aku berdiri sambil menatap Mama Siska yang masih berbaring telentang dengan begitu menggoda. "Kamu gak bisa tidur ya? Ayo sini tidur sama Mama!" Aku harus melawan antara nafsu dan status. Dia mertua ku, tidak mungkin jika aku mengkhianati istriku sendiri. Tapi nafsu mengalahkan segalanya, aku tidak peduli yang jelas malam ini harus di lampiaskan. Aku sudah tidak kuat menahannya, dalam beberapa hari ini. Sedangkan di depan mataku, terdapat kenikmatan surgawi yang sudah menantang ku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku butuh pelampiasan. "Raka...... Raka.... Raka.... !" Suara itu semakin terdengar jelas, hingga aku membuka mataku. "Tokkk.... Tokkkk.... Tokkkk... Raka... Raka... Bangun!" Itu suara Mama Siska, ternyata semuanya hanya mimpi. "I-iya Ma, aku sudah bangun." Jawabku gelagapan. "Mama tunggu di meja makan ya?" "Iya Ma," Aku segera berlari ke kamar mandi. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuatku bangun kesiangan.Nayla menatapku dengan mata berbinar, lalu memelukku lagi. “Nayla pengen banget Abang cepet jadi ayahnya Nayla, biar kita terus bareng!”“Doain aja, ya. Sekarang makan lagi, katanya mau ke kampus pagi-pagi,” ujarku sambil mengusap kepalanya.“Oh, iya, aku lupa!” seru Nayla, kembali melahap sarapannya.Suasana kembali hangat berkat tingkah lucu Nayla. Aku menawarkan, “Nay, ke kampus bareng Abang aja, ya. Abang juga mau berangkat sekarang.”“Iya, Bang!” jawabnya antusias.Kami pamit pada Mama Siska, tak lupa membawa bekal darinya. Aku mengendarai motor, dan di kaca spion, aku melihat Nayla melamun. Hatiku berat, tidak tega meninggalkan dia dan Mama Siska. Sesampainya di kampus, Nayla bersalaman denganku, sopan seperti biasa, seolah aku ayahnya sendiri.“Aku masuk, ya, Bang. Abang hati-hati di jalan,” ucapnya.“Iya, Nay. Semangat, ya,” balasku.Aku melanjutkan perjalanan ke kantor. Aku senang akan segera bertemu keluargaku, tapi aku juga merasa sedih harus berpisah dengan Mama Siska dan
Mereka menemaniku makan malam, meskipun mereka sudah makan lebih dulu. Aku membayangkan bagaimana rasanya jika aku tak lagi tinggal bersama mereka. Pasti aku akan merindukan momen sederhana seperti ini. Kami mengobrol ringan. Nayla menceritakan tentang kuliahnya, dan katanya dia akan segera masuk libur panjang sambil menunggu hasil ujian. Aku sudah berjanji akan mengajak mereka liburan jika nilainya bagus.Setelah makan, rasa kantuk mulai menyerang. Mungkin karena hari ini penuh aktivitas, tubuhku terasa lelah.“Raka, mending tidur aja. Mata kamu udah sayu,” ujar Mama Siska.“Nanti dulu, Ma. Baru selesai makan, gak bagus langsung tidur,” jawabku.“Aku juga udah ngantuk banget, nih,” ujar Nayla sambil menguap. “Semalam tidur larut.”“Nah, Mama kan bilang, jangan begadang. Gak bagus buat kesehatan,” ujar Mama Siska.“Iya, Ma, maaf. Soalnya tugas belum selesai, tugasnya banyak banget. Ya udah, Aku duluan, ya, Ma, Bang,” pamit Nayla.“Iya, Nay, selamat tidur,” jawabku.“Jangan lupa berdoa
Kasirnya malah lambat. Aku mengamati pria itu menaiki mobilnya dan melaju pergi. Setelah selesaikan pembayaran, aku segera menyusul dengan motor. Aku kehilangan jejaknya sebentar, tapi kemudian melihat mobilnya masuk ke sebuah gang besar. Aku mengikutinya dari kejauhan, memakai helm agar tidak terlihat mencurigakan. Karena sudah malam, jadi mungkin dia tidak akan tahu dan melihatku Pria itu berhenti di sebuah showroom mobil. Aku mengamati dari balik rumah warga. Seorang pria berpakaian rapi menghampirinya dan berkata, “Lu kemana aja? Lama banget, katanya cuma sebentar.”“Maaf, bro, tadi jalannya macet. Nih, gua beliin rokok buat lu,” jawab pria itu.Pria di showroom itu terkekeh. “Ah, lu.”“Eh ya, makasih, bro. Gua balik dulu,” ujar pria itu, lalu berjalan kaki pergi.Aku turun dari motor dan mendekati showroom itu. Pria berpakaian rapi tadi menghampiri.“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanyanya ramah.Aku berpura-pura tertarik. “Tadi aku lihat ada seorang pria naik mobil ke sini, mo
Jam makan siang tiba, dan Reza mengajakku makan bersama di kantin. Aku membawa bekal dari Mama Siska, sementara Reza memesan makanan di kantin.“Gimana, bro, rasanya jadi bos?” tanya Reza sambil menyendok nasi.Aku menggeleng sambil membuka kotak bekalku. “Biasa aja. Besok juga balik jadi karyawan biasa. Tapi kerjaan jadi double, kerjaanku sama kerjaan Bu Alicia digabung, jadinya numpuk.”Reza terkekeh. “Hehe, nggak enak juga, ya, jadi bos. Tapi kalau kerjaannya nggak digabung, lu jadi bos beneran, pasti enak.”“Kerjaan itu nggak ada yang enak, Za. Semuanya sama aja,” jawabku santai sambil menggigit ayam goreng dari bekalku.Saat kami sedang makan, Liana dan Sarah datang menghampiri meja kami. Mereka duduk bergabung, tapi terlihat ragu-ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak yakin bagaimana memulainya.Aku memperhatikan ekspresi mereka. “Ada apa? Kalau mau ngomong, katakan aja.”Liana menatapku hati-hati, lalu berkata, “Raka, apa bener kamu sama Bu Alicia ada hubungan?”Aku m
Di kamar mandi, air segar membasahi tubuhku, membuatku lebih terjaga. Tiba-tiba, aku teringat rencana pindah rumah hari ini. Aku belum siap, baik secara fisik maupun mental. Aku juga belum berani mengatakan hal ini kepada Mama Siska, apalagi Nayla sedang tidak ada di rumah. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di tepi kasur, memikirkan langkah selanjutnya.Aku memutuskan untuk menunda kepindahan. Hari ini jadwalku terlalu padat, dan mungkin aku harus lembur. Barang-barangku memang tidak banyak, jadi Pak Herdi bisa membantu mengangkutnya nanti. Tapi aku merasa hari Minggu adalah waktu yang lebih tepat, saat aku libur dan punya waktu untuk mempersiapkan diri, terutama untuk mengumpulkan keberanian memberitahu Mama Siska.Aku mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk Ibu,[Bu, sepertinya aku belum bisa pindah ke penthouse hari ini. Jadwal kerja lumayan padat, mungkin aku juga akan lembur. Aku rencanain hari Minggu aja, biar libur dan punya waktu lebih banyak.]Karena perbedaan
Mama Siska menatapku dengan penuh perhatian. “Raka, kenapa kamu diam saja?”Aku tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Ma.”Sebenarnya, ada banyak hal yang berkecamuk di dalam pikiranku, tapi aku tidak sanggup mengatakannya. Aku tahu, Mama Siska pasti akan sedih jika mendengar apa yang aku pikirkan.Mama Siska masih menatapku, alisnya sedikit berkerut. “Raka, apa yang sedang kamu pikirkan?”“Nggak ada, kok,” jawabku cepat.Mama Siska menggeleng pelan. “Kamu nggak bisa bohongi aku. Aku tahu pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan.”Aku menghela napas, mencoba mencari alasan yang masuk akal. “Nggak ada, Ma. Aku cuma mikirin kerjaan besok. Bu Alicia nggak masuk, jadi aku yang harus handle semua.”Mama Siska mengangguk, wajahnya sedikit rileks. “Semangat, Raka. Pasti besok kamu sibuk, ya. Tapi, bukannya kamu sebentar lagi akan menjalankan bisnis ayahmu? Berarti kamu akan berhenti dari kantor Bu Alicia, ya?”“Iya, mungkin,” jawabku singkat.Suasana tiba-tiba hening. Kami masih duduk berhadapan di r
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments