Udara di ruang operasi bawah tanah itu tegang dan padat. Lampu sorot menggantung di atas meja operasi, menyinari tubuh Leon Santiago yang terbaring tak sadarkan diri—penuh luka, darah, dan bekas siksaan yang terlalu kejam untuk dibiarkan hanya sebagai masa lalu.
Kai berdiri di sisi kanan meja operasi, jasnya sudah basah oleh darah—sebagian milik Leon, sebagian lagi miliknya sendiri. Tak ada yang tahu. Tak satu pun dari tim elite pasukan medis ini sadar bahwa Kai sendiri terluka cukup parah, sobek di sisi perutnya akibat tusukan tajam dari saat penyelamatan tadi.
Tapi dia tidak peduli.
Dia tidak akan meninggalkan Leon.
Bukan setelah semua yang mereka lalui bersama.
“Luka di toraks kanan—terlalu dalam. Siapkan dua kantong darah lagi! Gunting, pinset! Hati-hati, pembuluh arteri besar di sini,” perintah Kai tajam.
Tangannya masih lincah, bergerak cepat menjahit pembuluh yang sobek, menyambung jaringan otot, menstabilkan organ dalam. Meski keringat dingin mengucur dari pelipis, dan pandang